Tubuh Pak Revan perlahan beringsut turun hingga wajahnya kini berada tepat di liang senggamaku. Tanpa menunggu dua detik, dia langsung memainkan lidahnya di organ intimku itu hingga satu desahanku lolos begitu saja tanpa bisa aku cegah.

"Pak Revan ...."

Aku meremas kepalanya sembari menyampirkan kaki kiriku ke pundaknya agar dia bisa lebih leluasa mencumbu liang senggamaku. Napasku memburu kencang saat dia memainkan klitorisku, salah satu tempat yang menjadi titik terlemahku saat kami bercinta.

"Saya mau ...."

Aku tak mampu meneruskan kalimatku karena pelepasanku datang menghantam. Aku mengejan dan menjerit saat cairanku tumpah di atas lidah Pak Revan.

Puas bermain dengan pusat tubuhku, Pak Revan lalu bangkit dan mulai menurunkan celana kain dan boxer-nya. Dengan tidak sabar dia langsung membalikkan tubuhku hingga dadaku terimpit kulkas. Tanpa aba-aba, dia segera melesakkan kejantanannya ke dalam liang senggamaku, membuat dadaku semakin menepel dengan kulkas yang ada di depanku.

"Ini kan yang kamu mau?" bisik Pak Revan tepat di telinga kananku, membuatku kegelian. "Kamu mau aku gagahi dengan posisi ini, kan?"

Aku tak bisa menjawab apa pun selain melenguh dan mengangguk. Melihatku tak berdaya sepertinya berhasil membuat semangat Pak Revan berkobar. Pinggulnya dengan cepat bergerak menghantamkan kejantanannya ke dalam lubang kenikmatanku hingga aku semakin terkungkung di bawah kuasanya.

Aku dan Pak Revan sama-sama sedang berada di puncak kenikmatan saat ponselku tiba-tiba berdering. Pak Revan sepertinya sama sekali tak peduli, tetapi suaranya sangat menggangguku.

"Pak ... hape saya ...."

"Nanti."

Pak Revan masih menggagahiku, begitu pula dengan ponselku yang masih saja berdering. Dengan susah payah aku merentangkan tangan, berusaha meraih benda pipih yang sengaja aku letakkan tak jauh dari kulkas tersebut. Setelah mengecek layar, mataku seketika membola.

"Pak ... Bu Vanka telepon."

"Angkat nanti," katanya setengah mengerang. Sepertinya pelepasannya hampir datang.

Aku hampir bersuara lagi, tapi hunjaman Pak Revan yang mantap dan kuat membuatku tak bisa melakukan apa pun selain menjerit dan berorgasme. Aku kembali klimaks, disusul Pak Revan setelahnya.

Napas kami memburu kencang saat aku memutuskan untuk memutar tubuh hingga tatapan kami kembali bertemu.

Ponselku kembali berdering. Bu Vanka masih berusaha menghubungiku.

"Hape Bapak mati ya sampai Bu Vanka telepon saya?" tanyaku.

"Nggak tau. Nggak peduli juga," jawabnya cuek.

Aku hanya bisa geleng-geleng tak percaya. "Bapak diem dulu, biar saya angkat telepon Bu Vanka."

Aku lantas menekan tombol hijau pada layar. Sebelum mengucapkan halo, Bu Vanka sudah lebih dulu merapalkan rentetan kalimat yang membuatku refleks menjauhkan ponselku dari telinga.

"Mana Revan?" tanya Bu Vanka setelah puas ngomong ngalor-ngidul yang intinya memarahiku karena terlalu lama menjawab teleponnya.

"Pak Revㅡhmm ...."

Desahanku nyaris lolos saat Pak Revan tanpa tedeng aling-aling meremas dadaku kencang. Aku melotot ke arahnya, tapi dia tak peduli.

Ralat. Sepertinya dia memang sengaja menggodaku.

"Mirna!"

"P-Pak Revan ... lembur," jawabku susah payah. Tak hanya tangan, sekarang mulut dan lidah panas Pak Revan juga ikut-ikut bermain di putingku.

"Bilang ke dia kalau aku besok pulang. Suruh dia jemput aku ke bandara."

Aku mengangguk meski tahu Bu Vanka tahu. Setelah mengucapkan "baik", Bu Vanka langsung menutup sambungan telepon kami hingga aku bisa dengan bebas mendesah dan menjerit karena ulah Pak Revan.

"Bapak apa-apaan sih?" protesku meski kuakui kalau aku suka dengan sensasi mendebarkan ini.

"Lagian kan aku udah bilang nanti aja jawab teleponnya Vanka. Kamu sih nggak nurut," katanya setelah puas mencumbu dadaku.

Pak Revan membali melumat bibirku lembut sebelum menatapku lekat dan lamat. "Vanka ngomong apa?"

"Katanya besok Bu Vanka mau pulang. Bapak disuruh jemput di bandara."

Pak Revan kontan mendesah kasar, seperti tak senang mendengar kabar istrinya pulang.

"Ngapain sih nyuruh-nyuruh. Biasanya juga pulang sendiri dari bandara," gerutunya yang membuatku refleks tergelak geli.

"Nurut aja, Pak, sama istri," ujarku sambil mengusap rahangnya yang tegas. "Malemnya, saya kasih Bapak hadiah lagi."

Wajah kesal yang Pak Revan tampilkan mendadak berubah jadi cerah setelah mendengar kata "hadiah". Dia jadi mirip bocah. Lucu. Menggemaskan.

Pak Revan lagi-lagi melumat bibirku rakus. Dengan mudah Pak Revan mengangkat tubuhku lalu mendudukkanku di atas kitchen bar hingga tinggi kami sejajar.

"Sebelum Vanka dateng, kita puas-puasin main di dapur ini," katanya yang aku balas dengan anggukan patuh.

Lelaki memang seperti ini. Dia suka wanita yang mau bertekuk lutut di bawah kuasanya. Dan aku rela melakukan itu asal bisa mendapatkan Pak Revan. Agar bisa menggantikan Bu Vanka di hatinya.

***

Semoga dijauhkan dari cowok kayak Revan dan cewek kayak Mirna ya sodara-sodaraaa

Woman & Desire [1st Desire Series]Where stories live. Discover now