"Mommy," adu Daren dengan wajah cemberut.

Alana yang mendengar itu hanya bisa tersenyum tipis. Dari tatapan matanya seolah mengatakan 'Kalau Daddy sudah bilang begitu, Mommy nggak bisa bantu.'

"Kamu itu ngurus diri sendiri aja nggak bisa sosoan mau ngurus Gaia."

Daren mengerang marah, ia tak suka nama gadisnya disebut-sebut. Dasar, mereka itu memang seperti pinang dibelah dua.

"Dimana kamu simpan mie?"

"Daren nggak simpan mie."

"Yakin?"

"Yakin."

Skala melangkah, menarik tempat sampah yang berisi bungkusan mie instan. "Ini siapa yang makan? Elo."

Elo yang namanya dipanggil oleh Skala langsung menggonggong galak, padahal anjing itu tadi tengah tertidur. Benar-benar musuh yang abadi.

"Itu Reano. Tadi dia kesini terus bikin mie."

"Yakin?"

Menghela nafas berat, Daren mengangkat tangannya menyerah. "Itu aku Dad. Tapi serius cuma itu aja, aku nggak simpan lagi."

Skala menatapnya penuh selidik, lalu mengangguk saja. Kembali mengecek tanggal kadaluarsa bahan makanan.

Tidak tau saja dia bahwa mie instannya sudah ia simpan dengan sangat aman. Di bawah tempat tidur Elo.

"Kamu sembunyiin mie di tempat tidur Elo?"

Daren mengacak rambut frustasi. Ia sudah tak kuat jika harus berurusan dengan Skala yang sifat protektifnya seperti ini.

Ngaca bang!

"Daddy pulang aja. Aku sehat lahir batin. Tolong pergi aja."

Skala mendengus kesal, ia lalu meraih keranjang besar. Mereka berjalan menuju ruang tamu, ada yang ingin Skala sampaikan.

"Jangan apa-apain Gaia sampai usia kalian legal buat nikah. Daddy pertaruhkan nyawa Daddy sendiri  buat bolehin Gaia tinggal sama kamu."

"Hilangin sifat kasarmu itu Daren. Jangan terlalu sering membentak."

"Kalian nggak boleh satu kamar. Harus pisah, kalau sampai Daddy mergokin kalian satu kamar, habis kamu Daren. Nggak cuma sama Daddy, sama Om Geo juga."

Daren menelan ludah kasar, ia mengangguk. Setelahnya Skala pamit diikuti dengan Alana di belakangnya.

Sekarang sudah pukul 9 malam. Daren tak sabar untuk bertemu gadisnya. Ia segera menuju kamar milik Gaia. Warna biru pastel, gadis itu menyukai nuansa biru.

Cepat-cepat ia menata boneka yang dibelinya. Menaruhnya di setiap sudut kamar. Gaia suka boneka. Sepertinya? Entahlah, Daren tak pernah tau apa yang disukai gadis itu. Tapi kebanyakan perempuan suka boneka bukan?

✧✧✧


"Kakek," sapa Daren lewat ponsel.

"Siapa ya ini?"

"Daren, Kek."

"Daren siapa?"

"Astaga, cucu kakek."

Brak

Daren menahan napas ketika mendengar suara benda yang terjatuh. Apa ia terlalu pagi menelfon? Daren menatap jam dinding, lalu menelan ludah. Jam 3 pagi.

"K-kakek kenapa?"

"Maaf cucuku. Tadi masih loading dulu. Ada apa pagi-pagi buta menelfon?"

"Aku mau menitipkan Elo."

"Anjingmu yang kemarin mengigit kaki kakek itu?"

Daren menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Aduh bagaimana ini, catatan Elo dimata semua orang buruk sekali.

"Iya."

"Bukan tak boleh. Gara-gara anjingmu itu, kakek jadi tidak bisa jalan. Untung dia tidak rabies. Jujur saja Daren, kakek trauma."

"...."

"Bawa dulu saja ke rumah. Nanti biar Ares yang merawat. Dia juga pandai merawat Elo."

Fyi, kakeknya itu mempunyai hewan peliharaan juga. Namanya pun Elo. Tapi bedanya hewan peliharaan kakeknya itu harimau.

"Terima kasih, kek. Aku berangkat sekarang ya."

"Sekarang?"

"Iya, perjalanannya kan lumayan jauh. Sekalian Daren berangkat sekolah."

"Ya sudah. Hati-hati."

Tut

Setelah panggilan terputus ia segera menuruni tangga. Daren sudah siap dengan seragam OSIS-nya, rambut coklatnya pun sudah ditata dengan rapi, terakhir ditutup dengan hoodie hitam.

"I'm sorry, Elo."

Daren mengelus kepala anjingnya dengan lembut, menatap Elo yang tengah menatapnya juga. Seolah mengerti, Elo menjilati tuan rumahnya sebagai salam perpisahan. Ia menggendong Elo menuju mobil, meletakkan Elo di samping kemudi.

Butuh waktu satu setengah jam untuk sampai dikediaman Arga, kakeknya. Ia langsung dihadapkan dengan mansion mewah dengan gaya royal.

Mansion itu terletak di tengah-tengah hutan. Pintu gerbang dengan motif yang khas sudah menyambut Daren. Ia mengeluarkan kartu akses lalu pintu gerbang terbuka otomatis. Tidak semua orang bisa masuk kesini. Bahkan presiden pun tak dapat masuk bila tak mempunyai kartu akses.

Setelah menitipkan Elo ia segera pamit menuju sekolah. Matahari sudah tampak, kali ini awan tak lagi menghalangi cahaya.

Senyum Daren mengembang sempurna, tak peduli dengan badannya yang pegal setelah perjalanan tiga jam. Ia segera menuju kelas, menaruh tasnya di sana.

Daren berjalan kecil menyusuri lorong, menuju kelas Gaia. Ia yakin gadis itu ada di sana, sebentar lagi bel akan berbunyi.

Namun senyum di bibirnya sirna kala bangku nomer 2, tempat duduk Gaia, kosong. Ia segera menghampiri teman sekelas Gaia.

"Eh, Martha?" Daren menatap name tag gadis di depannya ini, berambut kriting.

"I-iya, kenapa Ren?"

"Gea mana? Kok nggak ada di sana?"

"Dia belum berangkat."

Daren bergeming. Perasaannya mulai menyerukan tak enak.

"Kalau udah dateng langsung suruh ketemu gue ya."

"Iya, Ren."

Daren melangkah lebar, berusaha menepis segala hal yang mulai mengganggu pikirannya.

Gaia tidak mungkin kabur kan?

TBC
1190 kata

waduh, udah mulai konflik aja nih.

kalian penasaran ngga sama kisahnya SKALA?

aku sebenarnya udah buat cerita tentang SKALA dan REANO

so, kalian boleh banget baca ceritaku yang lain

terima kasih sudah baca sampai akhir 🖤


21 Desember 2023


Darenio [ON GOING]Where stories live. Discover now