65. DIBERI PERAN

35 8 1
                                    

Nyatanya, setelah kegiatan di hari jumat berakhir, seluruh anak-anak klub kreatif maupun Petangguh secara kompak mengurung diri di dalam kamar.

Mereka terlalu lelah hanya untuk berkumpul ria, terlalu muak hanya untuk membahas sesuatu hal yang mampu merusak akal sehat mereka, sehingga pada siang hari itu, keadaan di asrama cukup sepi dan baru mulai ramai di jam lima sore karena para peserta hendak membersihkan diri atau sekedar mencari angin dan juga makan malam.

"Sepi ya, gak seramai waktu pertama kali kita datang ke tempat ini," ucap Winda saat berjalan menuju kamar mandi bersama Raisha. 

Raisha mengangguk, dirinya tahu betul kalau Winda sangat merasa kesepian setelah ditinggal pergi oleh teman sekamarnya.

"Kira-kira siapa ya Rai, yang bakal mati selanjutnya?"

Raisha bungkam, meski dirinya sedikit tahu tentang rahasia apa yang ada di tempat itu.

"Gue… gue gak tahu harus gimana lagi. Rasanya aneh, Rai. Semua orang yang ada di sini terlihat baik-baik aja,  padahal udah tahu kalau satu persatu dari kita mulai hilang." 

"Iya, gue tahu. Udah yuk mandi dulu, baru habis itu kita lanjut lagi obrolan nya."

"Gilang!"

Mendapati dirinya dipanggil, Gilang menoleh, menghentikan langkah kaki nya yang hendak mengikuti Raisha dan Winda.

"Berhenti, Gilang."

Gilang memutar balikan tubuhnya, "gue udah berhenti dari tadi, btw."

"Bukan langkah kaki lo yang gue maksud."

"Lalu apa?"

"Kejahatan lo."

"Maksud lo apa?" balas Gilang bertanya-tanya.

Jiko tertunduk cemas, meremat ujung pakaiannya dengan gugup lalu.

"Lo yang udah bunuh Aora kan?" 

Mendengar hal tersebut, Gilang berjalan mendekati Jiko yang perlahan-lahan mulai mundur sebelum pada akhirnya berlari, menghindar dari kejaran Gilang yang hendak menangkapnya. 

Jiko panik, air matanya turut mengalir, menghias ketakutan di wajahnya. 

"Berhenti, Jiko!"

Persetan dengan teriakan Gilang, Jiko tetap turun ke lantai tiga melalui tangga asrama dan puji Tuhan. 

"Mahen, tunggu."

Perlahan-lahan, Jiko mulai merasa tenang meskipun air matanya terus mengalir walau dia telah berada tepat di hadapan Mahen yang sedang menatapnya bingung.

Mengetahui orang yang dikejarnya sedang bersama si salah satu super power, Gilang memutuskan untuk berhenti mengejar.

"Ada apa?" tanya Mahen.

Ditanya seperti itu, Jiko malah menangis sesegukan. Dirinya tak dapat bicara dan malah membiarkan dirinya dibawa pergi oleh Mahen menuju lantai satu.

"Mau ke kantin asrama gak? Kebetulan gue lapar dan mau makan malam."

Jiko masih menangis, mengabaikan Mahen yang telah menekan ego nya hanya untuk sekedar berbasa-basi. 

"Jangan nangis terus. Lo lagi sama gue._

"Maaf, Mahen," sesal Jiko. 

"Sudah puas nangisnya?" 

"Sudah."

Tak berselang lama, sebuah pengumuman disiarkan.

Mahen berdecak kesal. Terlebih lagi saat dirinya tahu jika nama timnya sajalah yang dipanggil untuk datang ke ruang guru.

LET'S PLAYWhere stories live. Discover now