38. Sederhana

Mulai dari awal
                                    

"Mas?" Panggil Shana lagi karena tak kunjung mendengar jawaban Seno.

"Yang mana?" Tanya Seno balik.

Shana berdecak-decak tidak senang, kebiasaan Seno memblokir mahasiswa-mahasiswanya masih belum hilang. Lama-lama Shana ingin melapor pada pemilik whatsapp agar menghilangkan pilihan blokir di whatsapp milik Seno.

"Yang mau nyerahin draft tadi."

Seno berpikir sejenak untuk mengingat yang Shana maksud, "oh yang itu. Iya karena ngeselin spam saya terus-terusan. Lebih baik saya blokir."

"Memang nggak bisa cara yang lain selain blokir apa Mas? Nggak kasian kamu anak orang besok mau sidang tapi sampai jam segini masih kebingungan karena belum bisa nyerahin draft ke kamu." Jiwa-jiwa advokasi masih berkobar dalam diri Shana. Yang jadi korbannya sudah tentu Seno.

"Kan aturan saya sudah jelas wajib menyerahkan draft selambat-lambatnya h-3. Lalu suruh siapa dia baru akan menyerahkan hari ini padahal besok sudah waktu sidang? Memangnya saya nggak butuh waktu untuk mempelajari draft nya?" Ucap Seno berapi-api. Baru saja bangun tidur, emosinya sudah terpancing.

"Coba kamu tanya anaknya, kenapa baru mau nyerahin h-1? Pasti ada alasannya Mas. Mahasiswa itu udah pada tahu soal aturan kamu, jadi kalau masih ada yang berani melanggar pasti ada alasan jelas."

Sebagai teman seangkatan Zulfikar, juga sebagai orang yang aktif di himpunan, kurang lebih Shana banyak mengetahui masalah-masalah yang menimpa para mahasiswa. Termasuk Zulfikar.

"Saya nggak peduli apa alasannya. Yang saya mau draft sudah harus ada di tangan saya!"

"Keras kepala banget kamu Mas," ucap Shana kecewa. Ponselnya berdenting, ada pesan masuk dari Zulfikar yang memberi tahu bahwa dirinya sudah ada di depan kediaman mereka. "Anaknya udah di depan, kamu mau nggak nemuin dia? Tanya alasannya–"

"Apa-apaan sampai berani mendatangi tempat pribadi saya. Saya nggak pernah kasih izin dia untuk menemui saya di rumah. Kamu kan yang memberi izin? Sekarang saya tanya Shan, dosennya saya apa kamu?"

Shana turun dari ranjang mereka, menatap nyalang pada manusia yang masih tenang rebahan di balik selimut. Sangat tidak manusiawi sekali.

"Kamu dosennya," tunjuk Shana. "Tapi aku yang kasih izin dia kesini."

"Loh kamu siapa? Dia berurusannya sama saya. Kenapa pula kamu yang memberi izin? Sana kamu temuin! Jangan harap saya mau hadir di sidang anak nggak tahu sopan santun itu!" Maki Seno.

Shana menggeleng-geleng tidak habis pikir dengan Seno. Dia memilih melenggang meninggalkan manusia yang tidak manusiawi itu. Di luar, Zulfikar menunggu di luar gerbang dengan mantol yang menutupi tubuhnya karena hujan turun dengan derasnya. Bergegas Shana menghampiri lelaki itu.

"Shan eh maksud saya Mbak Shana, bagaimana? Apakah Bapak bersedia menerima dratf saya? Saya mohon maaf sekali lagi."

Shana tidak sampai hati menyampaikan makian Seno tadi. Melihat Zulfikar yang menatapnya penuh harap, siapapun pasti akan bisa membaca sorot keputusasaan dari matanya.

"Bapak lagi tidur," jawab Shana mencari aman. "Biar aku bawa dulu ya." Shana menerima uluran draft dari Zulfikar. "Kenapa baru nyerahinnya h-1 gini Zul?"

Ragu-ragu Zulfikar menjawab, "maaf, uangnya baru ada. Saya baru gajian hari ini, jadi baru bisa mencetak skripsi ini."

Hati Shana terenyuh mendengar jawaban Zulfikar. Shana cukup mengenal temannya itu, sedikit banyak bisa menebak alasan Zulfikar senekat ini.

"Oh ya udah, nanti aku sampaikan ke Bapak. Hati-hati di jalan pulangnya ya soalnya hujan deras begini."

"Nggih, sekali lagi terima kasih banyak Mbak Shan. Maaf merepotkan. Saya izin pamit. Assalamualaikum."

ADVOKASI Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang