33 ; Setelah Tujuh Hari

6.2K 532 16
                                    

Jangan membenci dia yang menemukan kebahagiaannya. Bencilah dirimu yang terlalu berlebihan mencintainya.

gabin edisi galau

__________


Memang, kenikmatan duniawi yang sederhana itu, minum kopi saat hujan. Nggak percaya? Coba saja.

Gabin duduk damai di teras, gitar akustik kesayangan dipangku dan dimainkan. Malam ini, gemericik air hujan turun, berteman segelas kopi pahit favoritnya yang tinggal setengah.

Berhubung pukul delapan malam, anak-anak panti sudah lelap tertidur. Biasanya kalau Gabin nongkrong begini, ada Jino dan yang lain ikut berkumpul sambil nyanyi.

Ngomong-ngomong, sekarang Gabin hanya mengenakan kaos oblong putih, disambung kolor kuning gambar pikachu —karakter tercintanya—. Dengan rambut lebat acak-acakan malas disisir.

“Bin, anak-anak udah pada tidur.”

“Uhuk! Uhuk!” Gabin tersedak air kopi, kaget tiba-tiba Brisha datang ke teras.

Sedari tadi, Brisha sudah ada di panti mengurus seluruh anak. Ia baru saja menidurkan bocah-bocah di kamar, cukup menguras energi terlihat dari mimik wajah Brisha yang penat.

“A-anak-anak udah tidur semua?” tanya Gabin, masih batuk-batuk.

“Iya.” Brisha turut duduk di teras menemani. Matanya lurus mengamati hujan. “Gimana gue pulangnya, ya.”

“Nginep aja, ujan deres gini paling subuh berhentinya,” saran Gabin.

“Terus gue tidurnya di mana? Perasaan gak ada kamar kosong.”

Gabin berdeham. “Kamar gue, Kak.”

“Bin, sumpah ya gue capek banget. Jangan mancing emosi bisa?!”

“Lah, siapa yang mancing emosi? Gue nawarin doang.”

“Ya masa kita sekamar?! Tau gitu pulang aj—”

“Dengerin makanya,” sela Gabin mendengus lelah. “Lo tidur di kamar gue, gue tidur di sofa. Jangan nekat pulang, bahaya.”

Otomatis Brisha bungkam. Tadinya ia pikir omongan Gabin sedikit ambigu.

“Bin, lo gak kedinginan?” tanya Brisha berganti topik, agar suasana tidak canggung.

“Dah biasa. Kenikmatan hakiki tuh ya gini, Kak.”

“Pfftt, apaan itu kolor pikachu. Minum kopi pait pula,” ledek Brisha tertawa lepas.

“Aneh lo, Bin. Muka imut selera Abah-abah.”

“Dari dulu gue emang aneh, sih,” aku Gabin menggaruk belakang kepala, cengengesan. “Kalo ujan emang nikmatnya ngopi, gitaran di teras, mikirin masa depan, apalagi masa depan gue lagi nemenin.”

“Haha, gue kira lo udah nyerah,” gumam Brisha dipelankan. Ia tidak punya hak untuk mengatur urusan hati Gabin. Mau masih cinta atau tidak, Brisha lebih baik diam.

“Bang Arzhel kapan balik?”

Bahu Brisha merosot lesu. “Katanya besok, turnamennya di China beres.”

“Oh, juara berapa?”

“Satu.”

“Widih, gg Bang Arzhel. Saingan gue berat amat,” celetuk Gabin tertawa sumbang, sebenarnya agak iri.

“Kak, gue boong kalo ngaku udah nyerah. Sampe sekarang pun, gue gak ada niatan ngasih hati buat cewek lain. Tapi untungnya, lo milih Bang Arzhel, yang emang cocok dibanding gue.”

Bad TrapWhere stories live. Discover now