27 ; Awal Kita

11.5K 936 24
                                    

__________

“Bukannya ... lo ciuman sama Mishaila di perpus? Kalian pacaran, kan?”

Bisikan putus asa meluncur dari bibir Brisha, sukses meleraikan pelukan Arzhel. Keduanya memasang jarak, Arzhel dapat melihat wajah di depannya yang gesit berpaling.

Brisha membuang napas sekejap, membenarkan kain kompres di dahi Arzhel yang merosot.

“Gapapa, gue tau tadi lo cuma bercanda. Tidur lagi gih, biar panasnya turun,” titah Brisha hangat.

“Sha.” Kembali, Arzhel menarik Brisha dalam dekapannya. Ujung hidung memerah saking demam.

“Gue gak ciuman sama siapa pun, gue gak pernah pacaran sama cewek lain. Dari awal, sejak kecil, sampe kapan pun, yang gue mau cuma lo. Gak ada Brisha yang kedua, ketiga, seterusnya.”

“Z-zhel .... ”

“Kalo gue maunya lo, harus lo.”

Tenggorokan Brisha mulai kering, bulir peluh tampak menggenang di jidatnya.

“Orang yang gue tunggu cuma lo, Sha. Lo ... cinta pertama gue,” ungkap Arzhel, pipinya menyemburkan rona merah pekat. Lalu disembunyikan pada leher Brisha.

“Sekarang, lo mau jadi pacar gue? Hm?”

Rengekan Arzhel menerpa kulit leher putih itu, cukup membuat bulu kuduk Brisha bangkit. Suara Arzhel terputus-putus, entah karena pengaruh demam atau gugup menyatakan rasa.

Kini, Brisha dilanda dilema. Sejujurnya, ia tidak segan memberi jawaban 'iya' pada Arzhel. Di samping itu, masih ada satu pemuda yang menanti jawabannya juga.

Dalam lubuk hati terdalam, Brisha ingin membalas penantian Arzhel selama ini. Dengan tekunnya, Arzhel tidak membuka pintu untuk gadis lain demi tumbuh bersama Brisha.

Pria mana lagi yang sepertinya.

“Ekhm, l-lo yakin gak pacaran sama siapa-siapa?” tanya Brisha mampu menarik Arzhel mundur dan melotot kecil.

Dengan mantap, cowok itu mengangguk.

Brisha tersenyum gemas.

Yes, i'll be your girlfriend.”

“Ha?”

Berdecak, Brisha menangkup pipi memerah Arzhel.

“Gue bersedia jadi pacar lo.”

Deg. Terasa jantung Arzhel terjeda tiga detik, saluran napas tersendat dengan mata berkilat tak sangka. Sudut mulutnya terangkat, bahkan rona merah menyerang daun telinganya.

“G-gue gak mimpi, kan,” gumam Arzhel, menyentuh dahi cepat. “Mimpi pas panas bagus juga.”

“Ishh, Zhel!” tegur Brisha, pipi mengembung jengkel. “Tadi lo ngerengek nembak gue, giliran dikasih jawaban cuma dianggep ngimpi.”

“Pfft, maaf.” Arzhel tertawa geli, lantas memeluk Brisha untuk kesekian kali.

“Sha, milikin lo kayak mimpi. Mustahil buat jadi realitas. Gue ngerasa delusi sekarang.”

Bad TrapTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang