05 ; Penolakan (Lagi)

19K 1.3K 33
                                    

__________


Taman bermain umum adalah lokasi yang Brisha singgahi malam ini. Kira-kira sudah dua jam, ia masih betah bermain ayunan di tempat sepi itu. Anak-anak yang tadi seliweran, semuanya pulang sebelum Maghrib.

Brisha menggerakkan ayunan ke depan dan ke belakang, tangannya memegang besi pegangan yang sedikit berkarat. Bibirnya tertekuk ke bawah, memikirkan cara lain untuk membujuk Arzhel agar mau pacaran kontrak.

Jika dihitung, Arzhel menolak Brisha sebanyak tujuh kali. Selama itulah Brisha mati-matian menembak tanpa jeda di mana pun.

Saat dipikir ulang, Brisha jadi malu sendiri. Dengan emosi meledak, kakinya menendang kerikil kecil di tanah.

“Sialan! Gue kurang apa lagi, sih? Kalo aja si Arzhel bukan sepupu Ziel, udah gue potong bijinya dari awal! Argghhh, bisa-bisanya dia nolak gue!”

“Hah .... ” Brisha membuang napas muak, rambutnya dijambak frustrasi.

“Ziel, kapan lo buka hati buat gue? Padahal dulu waktu SD, lo sering nemenin gue di saat orang-orang nganggep gue sampah. Sekarang ... kenapa cuma gue yang inget?”

Memandang langit gelap, Brisha tertawa hambar.

“Gak mungkin gue nyerah, kan?”

“Shhh ... a-akhh!”

Spontan Brisha berhenti berayun-ayun. Tubuhnya menegang, ketika desahan aneh mengusik. Ia celingak-celinguk panik, area taman bermain tetap sunyi dan temaram.

“Akhhh ... t-tolong .... ”

“S-siapa di sana?!” jerit Brisha resah, berdiri tegap kala siluet pria berjalan gontai di depan.

Sampai akhirnya, siluet itu tampak sejelas-jelasnya. Brisha melotot, memantau Jaziel yang penuh memar dan bercak darah muncul.

Cowok itu terbalut hoodie putih, hingga cairan merah kental terlihat berhamburan. Jaziel mendesah kesakitan, lalu ambruk tak berdaya di hadapan Brisha.

“Z-ziel? Lo kenapa? Ada yang ngehajar lo?!” tanya Brisha cemas, sigap memangku kepala Jaziel di atas pahanya.

“Bawa ... gue ... s-sekarang,” cicit Jaziel, matanya yang lebam bekas tonjokan sudah memburam.

“O-oke! Oke, gue bawa lo pulang. Lo harus kuat, Ziel!”

Meski dilanda seribu tanda tanya, secepatnya Brisha membopong tubuh Jaziel yang dua kali lipat lebih besar. Kondisi wajahnya memprihatinkan, terdapat luka robek di dahi dan mimisan di hidung. Sudut bibir Jaziel memar keunguan.

Ingin sekali Brisha bertanya banyak, tapi bukan waktu yang tepat untuk mendesak Jaziel menjawab.

“Ziel, maaf. Cuma ini yang gue bisa,” lirih Brisha selagi membopong Jaziel.

Tidak ada jawaban. Jaziel telah terlelap dengan deru napas yang mulai tenang.

“Pingsan?” gumam Brisha. “Hufthh, oke. Sekarang gue harus bawa Ziel pulang! Ini kesempatan gue buat ngelindungin dan nyelamatin Ziel!”

“Tunggu.”

Suara itu, Brisha kenal milik siapa. Kepalanya tertoleh ke samping, menangkap raga tinggi yang memakai baju taekwondo. Berjalan mendekat dengan tatapan sengit.

“A-arzhel, jangan-jangan lo berantem sama Ziel? Lo yang bikin dia babak belur?!” tanya Brisha menggeram.

Sebelah alis Arzhel terangkat, sedikit melirik Jaziel yang tidak sadarkan diri. Kemudian mendengus ringan.

“Bukan gue,” sanggah Arzhel, maju perlahan.

“Tapi kenapa Ziel kayak gini?! Lo juga kenapa dateng ke sini? Berarti lo yang ngehajar dia, kan? Hah?!” bentak Brisha gemetar.

Bad TrapWhere stories live. Discover now