30 ; Akhir Kita

9.5K 734 47
                                    

__________


Dingin.

Usai keluar dari cafe, Brisha langsung memayungi diri dengan tangan. Hujan kian berderu, cipratan air bercampur tanah sedikit mengotori sepatunya.

Sekali lagi, ia mengecek ponsel, membaca ulang chat Gabin takutnya keliru. Lalu matanya mengedar, celingak-celinguk di area depan cafe tempat yang diminta Gabin untuk bertemu.

Meskipun terhalau oleh tetesan hujan, dapat Brisha saksikan sosok Gabin di seberang sana; berteduh seorang diri di halte bus.

“Gabin!” jeritnya, berlari cekatan menyeberangi jalan. Beruntung area tersebut sepi tidak ramai kendaraan melintas.

Gabin mendongak, bangkit dari duduknya saat seseorang yang dinanti hadir dalam jangkauan mata.

Dia berbinar haru, tidak sangka Brisha benar-benar menuruti keinginannya untuk berjumpa 'berdua'.

“Kak,” sambutnya, tatkala Brisha tiba di halte. Sambil terengah-engah.

“Bin, sumpah, kenapa lo gak bilang bakal perform di cafe? Gue kaget liat lo nyanyi tadi, tapi keren abis! Lo ngajak gue ke sini mau ap—”

Grep!

“B-bin .... ” Napas Brisha tercekat, tubuhnya didekap erat oleh cowok berkemeja putih itu.

“Kak, kasih gue jawaban sekarang.”

“Jawaban apa?”

Gabin berdecak sekilas, pelukannya kian menguat dengan wajah diselundupkan pada leher Brisha.

“Gue suka sama lo, Kak. Gue gak sanggup nunggu lagi.”

“Maaf, Bin. Sekarang—”

“Cukup,” sambar Gabin, bahunya gemetar menahan sesak. Ingatan tentang hari Valentine mulai berkelebat.

Melerai pelukan, Gabin mundur dua langkah. Senyuman pilu tersemat, bulir hangat menggenangi sepasang pipinya.

“Kak, inget waktu makan bubur bareng di depan gerbang SD? Gue ngajak lo bolos ke sana, pas lo kecewa sama Bang Arzhel. Inget waktu main ke taman hiburan? Gue juga yang ngajak lo bolos, pas lo liat Bang Arzhel sama cewek lain di perpus.”

Brisha tercenung, tawa sumbang Gabin terdengar setelahnya.

“Haha, ternyata gue badut doang, ya.”

“Bin .... ”

“Gak usah diinget lagi, Kak. Cukup gue yang sakit, lo jangan.” Kepala Gabin tertunduk, bibir bawah digigit meredam isakan.

“Tapi gue beruntung, seenggaknya pernah bikin lo bahagia sesaat,” tambahnya bergetar. “Sekarang, gue nyerah. Lo udah punya alasan untuk bahagia.”

“Maaf,” lirih Brisha, menyesali diri.

“Balik ke cafe gih, Bang Arzhel nungguin,” suruh Gabin.

“Lo ... gimana?”

“Ya diem.”

“Bukan itu maksudnya!”

Gabin terkekeh renyah. “Maunya gimana? Ngejar lo lagi? Libur dulu, ah. Nyesek soalnya.”

Seperti ciri khasnya, ada saja guyonan Gabin di tengah situasi genting. Tidak jadi prihatin, Brisha ikut tersenyum geli.

“Bin, cari cewek lain yang lebih baik. Lo ganteng, imut, humoris, gak pantes dapet tante-tante kayak gue. Atau mau gue kenalin? Kalem, temen-temen gue cantik, lho.”

“Gak bisa.”

“Kenapa?”

“Karena bukan lo.”

Bad TrapWhere stories live. Discover now