Aku terkesiap saat tubuhku terangkat. Tak lama kemudian aku sudah telentang di atas ranjang. Pak Danu yang berdiri menjulang di depan mataku memandangiku cukup lekat-lekat. Tanpa melepas tatapannya, tangannya bergerak melucuti satu per satu pakaian yang menempel di tubuhnya hingga kami sama-sama telanjang.

Aku melotot saat melihat tubuh berototnya. Dia melebihi ekspektasiku. Begitu liat dan kokoh. Bulu-bulu halus yang tumbuh di dada dan bawah pusarnya membuatku semakin bergairah. Kejantanannya yang mengacung itu ....

"Besar banget," pujiku tanpa sadar.

Aku hampir bangkit untuk menyentuh kejantanannya, tapi Pak Danu dengan cepat memutar tubuhku lalu mengangkat pinggangku hingga aku bertumpu dengan lutut dan siku.

"Angkat kepalamu," perintah Pak Danu yang langsung aku turuti. Di hadapan kami sudah ada cermin besar. Aku bisa menatap wajah Pak Danu dari sana. "Jangan alihkan pandanganmu dari sana."

"Yes, Pak."

Aku terkesiap saat Pak Danu memasukkan kejantanannya dengan sekali hentak ke liang senggamaku. Aku kembali menatap Pak Danu dari cermin. Wajahnya merah padam.

"Hukuman karena kamu menggoda dosenmu sendiri."

"Saya udah bilang kalau Bapㅡahh!"

Aku melenguh saat Pak Danu menarik kejantanannya lalu menghunjamnya kasar hingga aku nyaris terdorong ke depan. Pak Danu terus mengulangi gerakannya sambil terus mempercepat tempo permainannya, menimbulkan suara erotis yang memenuhi kamar.

Aku meremas sprei untuk menahan keseimbangan. Desahanku kian menggila, begitu pula dengan hunjaman Pak Danu juga semakin intens.

"Pak ... nggak kuat ...."

Seakan tau yang kumaksud, Pak Danu pun melingkarkan lengannya di dadaku lalu menarik tubuhku kasar hingga punggung sempitku menempel dengan dada bidangnya.

Pak Danu kembali mengoyak vaginaku kasar. Sekarang aku benar-benar bisa melihat permainan kami melalui cermin. Dadaku yang memantul kasar pun tak luput dari tangan Pak Danu. Dia meremasnya kuat sambil sesekali memilin puncaknya kasar

"Good ... you're fucking good, Pak."

Salah satu tangan Pak Danu beringsut turun memainkan klitorisku, membuatku semakin melenguh kasar. Setetes cairan jatuh begitu saja dari mataku. Aku terisak merasakan kenikmatan yang Pak Danu berikan padaku.

"Kamu enak banget, Pak ... saya mau ... ahh!"

Aku menjerit kencang saat pelepasanku datang. Tepukan tangan Pak Danu di atas vaginaku membuat cairanku menyembur semakin keras membasahi seprai di bawahku. Pahaku dan perut bawahku bergetar hebat hingga membuatku hampir ambruk jika Pak Danu tidak menahan tubuhku.

Shit! Aku squrting lagi, dan dia sama sekali belum keluar!

Napasku memburu kencang. Mata kami kembali bertemu di cermin. Pak Danu meraih pipiku lalu melumat bibirku kasar dan menuntut.

"Saya belum keluar."

"I know."

Demi Tuhan, dia sangat perkasa. Tidak ada laki-laki yang bisa membuat seorang Reina squirting dua kali dengan penis yang masih menegak menyodok liang senggamaku seperti ini.

Aku pun melepas penyatuan kami lalu membalikkan tubuh. Dengan posisiku yang bersimpuh di kasur dan dia berdiri di samping ranjang seperti ini membuat pandanganku berada tepat di depan dadanya yang berbulu.

Kuraih putingnya lalu kukecup lembut puncak dadanya itu. Pak Danu mendesah pelan sembari mengelus tengkukku yang basah karena keringat.

Wajahku kembali naik. Kulumat bibirnya kasar sebelum menarik tangannya hingga dirinya telentang di atas ranjang.

Pandanganku beralih menuju penis Pak Danu yang masih berdiri kokoh. Sangat besar dan berurat. Miliknya basah karena cairanku yang tumpah saat kejantanannya menyodok liang senggamaku.

"Bapak mau keluar, kan?" tanyaku sensual sembari mengusap puncak penisnya lembut. "Let me help you."

"Do whatever you want. He's yours."

Aku menyeringai. Kudekatkan wajahku menuju penisnya. Aku mengecup kepala kejantanannya lembut sebelum menjilatnya, sedikit memainkan ujung lidahku di sana.

"Kulum, Na."

Aku menggeleng. "Ini punya saya, jadi saya bebas melakukan apa pun."

"Reina ...."

Aku memang tidak ingin mengulum penisnya. Sebagai gantinya, aku meraih kedua bongkahan dadaku lalu merapatkannya hingga belahan dadaku tercetak jelas. Setelah mencari posisi ternyaman, aku pun menyusupkan kejantanan Pak Danu ke belahan dadaku lalu menggeseknya naik turun. Begitu puncak kejantanannya muncul, aku pun menjilatnya seperti es krim.

"Shit, Na!"

"Enak?" tanyaku tanpa menghentikan aktivitasku.

Pak Danu hanya menggeram kasar. Geraman itu perlahan berubah menjadi desahan saat gerakanku menjadi lebih cepat.

"Kamu benar-benar binal, Reina!"

"Tapi Bapak suka, kan?"

"Hanya laki-laki gila yang tidak suka ini."

Aku lagi-lagi menyeringai. Kejantanan Pak Danu kian membengkak. Urat-uratnya semakin menonjol, tanda pelepasannya akan datang.

"Saya ... mau keluar."

Aku melepas jepitan dadaku. Kuraih kejantaannya yang semakin menegang itu lalu menyodokkan kepala penisnya ke puncak dadaku yang mencuat sempurna.

"Keluarin di susu saya, Pak," pintaku sambil terus menggesek dan menempelkan miliknya di atas putingku.

Tak lama kemudian pelepasan Pak Danu datang. Cairannya begitu banyak membanjiri dada dan wajahku hingga paha Pak Danu sendiri.

Napas Pak Danu terengah. Suara bass-nya yang mendesah dan mengerang itu benar-benar terdengar seksi di telingaku.

"Gimana?" tanyaku sambil beringsut naik menyejajarkan wajah kami.

"Kamu membuat saya gila, Reina." Aku sontak tersenyum puas. "Saya lupa tidak pakai kondom."

"It's okay. Saya bisa minum pil. Lagian, penis seenak punya Bapak nggak bakal sama kalau dipakein kondom," kataku sambil mengelus miliknya yang masih setengah tegak. "Saya mau lagi."

Pak Danu menyeringai lebar. Malam itu, Pak Danu kembali memuaskanku hingga terbang ke awang-awang. Berbagai posisi sudah kami lakukan. Setiap sudut kamar tak luput dari jamahan tubuh telanjang kami.

Entah sudah berapa kali aku orgasme karena permainannya. Yang jelas, kami sama-sama memutuskan berhenti saat jam sudah menunjukkan pukul tiga karena Pak Danu ada kelas di paginya.

Woman & Desire [1st Desire Series]Where stories live. Discover now