12. Izinkan aku, ya?

610 33 0
                                    

Rony mengusap wajahnya kasar. Berkali-kali ia menengok jendela pesawat, berharap dapat segera melihat daratan di sana.
Kali ini ia benar-benar gelisah sebab penerbangan Praya-Jakarta terasa sangat lamban. Kabar dini hari dari Novanny sukses membuat tubuhnya lemas.

"Van, maaf ya?" Ucap seorang wanita di sebelahnya yang berusaha menenangkannya.

"Gimanapun juga, gue yang salah karena ga jujur, Nggi" balas Rony

"Tapi gue juga ga nyangka efeknya sampe bikin Salwa sakit?

"Udah lu mending ga usah ikut campur lebih jauh lagi deh. Gue makasih karena lo udah bantuin urusan gue sama Daniel." Rony mencoba memejamkan matanya. Entah kabar apa yang Salwa terima kemarin, dan apa yang terjadi padanya? Rony benar-benar tidak memiliki petunjuk apapun sebab Fanny menolak untuk memberitahunya.

---

08.15

Dengan napas yang tersengal, Rony berlari menuju ruangan tempat Salwa dirawat setelah ia bertanya kepada perawat jaga. Dilihatnya Fanny berdiri di sana.

Plakkk

"Masih berani lo ke sini?" Suara Novanny pelan namun bergetar. "Lo abis ngapain aja anjir", tangannya terkepal menahan emosi.

Rony memegangi pipi kirinya yang kini memerah setelah mendapat tamparan dari Novanny. Panas.

"Lo minimal bisa jelasin dulu gak sih?! Gue ga ngerti sebenernya apa yang terjadi? Salwa kenapa? Gue kenapa? Lo kenapa? Gue bener-bener kaya orang goblok di sini yang nggak tau apa-apa!" Kali ini emosi Rony memuncak. Benar apa yang ia katakan, tak ada satu pun hal yang dapat ia pahami sekarang.

"Pelan-pelan, Fann.. gue bener-bener nggak ngerti ini masalahnya dimana? Salwa kenapa?" Lirih Rony sambil mengguncang pundak Novanny.

Tangis Novanny pecah. Terlalu sesak baginya untuk menyimpan semua sendirian. Hatinya tidak begitu kuat, sedangkan Salwa hanya menjadikannya satu-satunya tempat untuk berbagi. Rony membawa Fanny duduk di kursi depan ruangan, berharap sahabat Salwa satu ini bisa lebih tenang.

"Lo kemaren abis ngapain sama cewek? Bokap lo suruh lo ketemuan sama cewek kah?" Tanya Fanny pelan setelah menghapus air matanya.

Rony mencoba menggali ingatannya. Tugas dari ayah Rony adalah bertemu Daniel, selebihnya ia tidak sedikitpun berwisata. Apa mungkin Fanny dan Salwa tahu ia bersama wanita di toko perhiasan?

"Nggak usah pura-pura bego!" Emosi Fanny memuncak kembali melihat Rony yang sibuk dengan pikirannya.

"Gue bisa jelasin, Fan.." Rony menghela napasnya. "Itu sekretaris ayah, Fan.. ayah nugasin dia buat nyusul gue ke Lombok, karena tugas gue kali ini sama rival ayah.."

"Ya tapi lo berdua ngapain sampe ke gep di toko perhiasan anjir?!"

"Nov, gue waktu itu cari cincin buat ngelamar Salwa. Gue suruh dia bantu pilih model yang pantes buat gue jadiin kado Salwa.." jawab Rony dengan tenang.

Kali ini Novanny terperangah, napasnya tercekat menatap lelaki di hadapannya.

"Sebelum gue pergi, gue udah izin sama Paulo dan om Ale untuk ngelamar Salwa. Gue juga udah izin sama ayah dan Rara. Tapi ayah mau gue selesein masalah dia dulu baru gue boleh lanjutin hubungan gue sama Salwa.."

"Sekarang gue tanya, Nov.. Salwa kenapa?" Tatapan Rony mengunci netra Novanny. Ia benar-benar tidak bisa berbohong kali ini.

"Salwa sakit, Van.. limfadenitis, potensial buat jadi limphoma, leukimia, dan sejenisnya." Novanny menangkupkan kedua tangannya ke wajah. "Kemaren dia demam, gue bawa ke rumah sakit karena demamnya ga turun-turun dari tiga hari lalu sebelum lo pergi. Tadi malem dia kejang, sesek, panasnya terlalu tinggi. Dia juga nangis seharian setelah lihat foto lo sama cewek itu."

KesempatanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang