32. Membiarkanmu pergi

57 6 0
                                    

Happy reading

*****

Dalam perjalanan pulang, Kala kembali mengingat ucapan Langit. Beberapa kalimat yang di ucapkan oleh kakak tingkatnya itu, membuat Kala berpikir tentang apa yang dia lakukan sekarang.

Setiap anak tidak pernah diberi ijin untuk lahir dari orang tua yang mana. Tapi meski begitu, entah seburuk atau sebenci apapun seorang anak kepada orang tuanya, orang tua tetaplah orang tua.

Mungkin kita akan mendapati orang tua yang buruk, jahat, kejam, suka menuntut, yang membuat kita mengira bahwa mereka tidak pernah mencintai anaknya. Tapi tanpa kita sadari, sebenarnya mereka sangat mencintai anaknya lebih dari apapun. Hanya saja, mereka mendeskripsikan kata cinta dengan cara yang lain.

Kala tau, mau seburuk apa masa lalu mamanya, Kala tidak pantas untuk membenci mamanya. Biar bagaimanapun, mamanya adalah orang yang berusaha untuk mempertahankan anaknya agar tetap baik-baik saja.

Bersama dengan orang yang mereka cintai, memang menjadi keinginan dari sebagian besar orang di dunia. Tapi, akan ada kalanya kita harus memilih untuk berpisah demi kenyamanan dan kebahagiaan masing-masing. Jika bersama membuat kita terluka, apa salahnya jika kita melepaskan?

Sandyakala terluka, juga dengan Aqilla dan mamanya. Biar Kala membenci dan kecewa terhadap papanya, tapi dari dalam hati Kala berharap jika suatu hari papanya mau untuk kembali.

Kala terlalu egois dengan memaksakan keadaan agar tetap baik-baik saja. Padahal apa yang sedang dia pertahankan, sebenarnya sudah hancur sejak awal.

Di tengah kencangnya angin malam dan kesunyian pada jalan yang dilalui, Kala terus berjalan lurus dengan menatap kakinya yang melangkah pelan.

Besok adalah harinya. Hari yang jika Kala datang, dia akan melihat langkah pertama orang tuanya memilih untuk berpisah. Jujur, Kala belum sanggup menerimanya. Bayangan bayangan tentang kebersamaan masih terus hadir dalam ingatan Kala. Membuat dia sulit untuk merelakan perpisahan keluarganya.

*****

Aqilla datang menghampiri kamar Kala. Membuka pintu tanpa mengetuknya terlebih dahulu.

"Kenapa kamu melakukannya, Kala?"

Kala yang sedang mengeringkan rambut menggunakan handuk, menoleh terkejut mendapati Aqilla yang tiba-tiba berdiri di belakangnya.

"Ngelakuin apa?" tanya Kala yang masih melanjutkan kegiatannya mengeringkan rambut.

"Berlutut di hadapannya dan mengaku bahwa kamu telah bersalah."

Kala mengehentikan pergerakannya. Setelah beberapa hari lamanya, Aqilla baru mendatanginya dan membahas soal kejadian yang sudah lama terjadi.

"Aku tau kamu nggak bersalah. Dania benci sama kamu. Aku tau dia pasti sengaja melakukanya untuk menjebak kamu. Tapi kenapa kamu dengan mudah mengalah, Kala? Berlutut di hadapannya, sama dengan kamu mengakui kalau kamu memang melakukannya."

Kala berbalik badan dan meletakkan handuk di kursi meja belajarnya.

"Nggak ada yang bisa gue lakuin selain nurut sama perintah mereka, Qil."

"Tapi bukan berarti kamu harus berlutut di hadapan Dania!"

"Terus biarin mama tau tentang kejadian ini?" sahut Kala membuat Aqilla terdiam.

"Masalah keluarga kita udah cukup bikin mama sakit, Kak. Gue nggak mau nambah beban lagi dengan masalah yang terjadi di sekolah."

Kala menghela napas panjang, "Mereka nggak akan kasih tau pihak keluarga, kalau gue mau melakukan apa yang mereka perintahkan. Gue lebih rela berlutut di hadapan Dania, daripada gue biarin mama terluka lagi," ucapnya berhasil membuat Aqilla tak berkutik.

Sekarang mamanya adalah segalanya untuk Kala dan Aqilla. Mereka tidak akan membiarkan mamanya semakin hancur setelah masalah yang terjadi.

Suara mobil yang terparkir di halaman rumah, membuat Kala dan Aqilla saling melemparkan pandangan. Mereka menatap satu sama lain, sampai akhirnya memutuskan untuk keluar.

"Saya serahkan rumah ini untuk kamu dan anak-anak. Saya akan pergi malam ini juga."

Kala melihat papanya berdiri di ruang tamu bersama mamanya dengan membawa banyak koper.

"Datang ke mereka dulu. Setidaknya jika anda gagal menjadi seorang suami, jangan sampai anda gagal juga menjadi seorang ayah."

"Tidak bisa! Saya masih ada urusan penting."

"Untuk terakhir kalinya saya memohon. Tolong, datangi anak-anak sebentar saja."

Sasmita terus berusaha meminta Wira untuk menemui kedua putrinya. Dia hanya tidak ingin Wira dibenci begitu dalam oleh putrinya karena pergi tanpa berpamitan.

"Biarkan saja, ma."

Baik Sasmita dan Wira menolehkan kepalanya. Melihat Kala dan Aqilla yang berjalan menuruni tangga menghampiri mereka.

Kala berhenti di hadapan papanya. Tidak ada raut kesedihan dalam wajah Kala. Kebencian dan kekecewaan juga tidak temukan dari sorot matanya. Kala menatap papanya tanpa ekspresi.

"Silahkan pergi, pa. Kami tidak akan menghalangi langkah papa yang ingin pergi meninggalkan rumah ini."

Aqilla berdiri di samping mamanya. Merangkul kuat lengan mamanya dan menyaksikan apa yang adiknya lakukan.

Kala masih menatap papanya. Kali ini, dengan jelas Wira bisa melihat kesedihan dan kekecewaan yang menyatu dari sorot mata putrinya.

"Selangkah papa pergi, jangan berharap untuk bisa bertemu dengan Kala lagi. Papa yang memilih untuk mengakhiri semuanya. Papa yang memilih untuk pergi. Untuk kedepannya, tolong jangan datang lagi di hadapan Kala. Anda telah berhasil membuat perempuan tujuh belas tahun ini, tidak lagi bisa percaya dengan laki-laki manapun."

Setelah mengucapkan kalimat tersebut, Kala membalikkan tubuhnya. Berjalan pergi menuju kamar dan meninggalkan mereka yang masih diam di tempatnya.

Melihat adiknya pergi, membuat Aqilla yang kini berdiri di depan papanya.

"Orang bilang, jika ada perceraian membuat suami dan istri bukan lagi menjadi pasangan, tapi tidak dengan orang tua dan anak. Sama dengan Kala, Qilla membiarkan papa pergi. Silahkan pergi, pa. Silahkan pergi untuk mencari kebahagiaan yang mungkin tidak papa temukan bersama kami," Aqilla menatap papanya terluka.

"Mau sepuluh tahun kemudian atau bahkan lebih lama dari itu, Qilla akan selalu membuka pintu jika papa ingin bertemu. Papa mungkin nanti bukan lagi suami mama. Tapi selamanya, papa tetap menjadi ayah untuk Qilla dan Kala."

Wira masih diam. Kali ini, ada rasa bersalah yang hadir dalam perasaannya. Andai, andai Aqilla tau bahwa pria yang di depannya ini bukanlah ayah kandungnya, apakah dia masih bisa mengatakan semua itu? Wira benar benar merasa telah berhasil melukai banyak orang.

"Jika nanti papa sudah kembali berkeluarga dengan orang lain, tolong jangan seperti papa dengan kami. Cukup mama, Kala, dan Qilla yang terluka. Tolong, jangan menjadi ayah yang gagal untuk kedua kalinya. Aqilla sayang papa. Selamanya akan sayang."

Setelah mengucapkan itu, Aqilla juga langsung pergi. Meninggalkan mereka dengan air mata yang mulai keluar setelah dia tahan mati-matian.

Saat melewati kamar Kala, Aqilla mendengar Isakan tangis dari dalam. Memang saat di bawah tadi, Kala tidak menunjukkan ekspresinya. Tapi saat dia memasuki kamar, Kala menumpahkan segalanya. Walau mulut mengatakan bahwa dia baik-baik saja, sebenarnya Kala benar benar terluka.

*****

DOUBLE UP!!!

Sandyakala || EndWhere stories live. Discover now