[AUGE] 2

23.1K 1K 12
                                    

Suasana di bandara saatlah ramai. Kerumunan berada dimana-mana. Orang-orang pada menenteng tas bahkan koper mereka dengan tergesa-gesa namun ada pula yang bersantai sembari menunggu jadwal terbang mereka.

Seorang pria yang mengenakan kemeja putih dan celana kelabu, tak lupa dengan jas senada celananya, memakai kacamata yang tipis, baru saja keluar dari pesawat yang asalnya dari London ke Indonesia. Pria yang bercampur darah arab namun lebih kental dari Asia, China, milik ibunya lebih berdominasi. Ya. Aldric Erden Keem Althaf.

Erden berjalan melewati kerumunan orang-orang yang berlalu-lalang di bandara dengan sedikit terburu-buru. Bahkan kaum hawa yang melihat penampilan luarnya, sudah mencair bahkan ingin berkenalan. Namun, bahkan namanya Aldric Erden Keem Althaf jika orang yang bodoh amat terhadap kaum hawa yang melihatnya. Erden hanya sudah berjanji di umur 12 tahun untuk bertanggung jawab pada gadis kecil umur 5 tahun yang saat itu berada di taman dan tak sengaja menyentuhnya.

Saat kecil, Erden dari Sekolah dasar selalu mondok di pesantren khusus laki-laki saja milik keluarga Althaf, bahkan sampai SMA, ia pondok lagi namun tidak di milik keluarganya. Maka dari itu, Erden selalu mempunyai keimanan dan ketaqwaan yang tinggi terhadap Allah SWT. Tak lupa untuk selalu belajar dan ingin menjunjung tinggi cita-cita orang tuanya.

Hanya saat kuliah, ia memutuskan untuk bersekolah di luar negeri. Tentunya dengan prestasi ia sendiri, tidak menggunakan koneksi papanya.

Ia selalu menutup hatinya pada kaum hawa yang bergonta-gantian datang ke dirinya untuk melamar dan meminta Erden sebagai kepala rumah tangga. Nahas, Erden menolak mereka semua hanya untuk gadis kecil yang pernah ia janjikan untuk bertanggung jawab.

Handphone Erden berbunyi, segera, Erden mengambil benda pipih itu dari saku celananya dan tersenyum tipis saat melihat siapa yang meneleponnya. Erden memencet tombol hijau dan menempelkan benda pipih itu dekat telinganya.

"Assalamualaikum, mama," ucapnya teduh bahkan nyengir sendiri. Walaupun dari kecil sudah di pesantren, Erden selalu bermanja-manjaan dengan mamanya, Kanaya. Berbeda saat diluar, ia bersikap layaknya pria. Namun saat bersama Kanaya, berbeda.

"Waalaikumsakam, Erden. Where are you right now?" tanya Kanaya dengan bahasa inggris karena mengira anaknya lupa bahasa Indonesia. Menggoda putranya.

Erden ketawa pelan dan sempat tersenyum tipis. Kaum hawa di sekitarnya langsung oleng bahkan berhenti untuk melihat Erden dengan mata takjub. Perfect. Erden yang merasa kurang nyaman, berjalan lagi namun masih fokus bersama Kanaya.

"Ma, I already in Indonesia right now. I miss you. Really."

Pasalnya saat Erden berbicara menggunakan bahasa inggris, kaum hawa yang lainnya pada oleng bahkan pangling tak karuan.

Merasa tak nyaman dengan tatapan mereka semua, Erden mempercepat langkah panjang miliknya untuk segera keluar dari bandara.

"Ma, you know, girls are looking at me. Its uncomfortable," cicitnya lewat handphone.

"Is because you're so perfect in their eyes-"

Belum saja Kanaya selesai bicara, Erden langsung menyangkal.

"Mama, there's no human are perfect. Just Allah. Just that. Nothing else," ucapnya tegas.

Kanaya sedikit tertawa di ujung telepon. "Fine, fine. Sekarang mau dijemput? Papa kamu bisa kesana," tanya Kanaya yang sudah kembali menggunakan bahasa Indonesia.

"Enggak usah, ma. Erden enggak apa-apa. Arden gimana kabarnya?"

Arden. Alvaro Arden Kairo Althaf, bocah dengan umur 5 tahun. Merupakan anak angkat dari keluarga Althaf. Kanaya bahkan memperlakukan Arden seperti anaknya sendiri. Pasalnya, Kanaya sangat suka anak kecil hingga mengangkat anak yatim sebagai anaknya sendiri, Arden.

"Arden sehat. Bahkan kangen kamu. Nanti kamu ke perusahaan apa ke rumah dulu?"

Erden sedikit memikirkan ucapan mamanya, sedikit capek karena berjam-jam ia di dalam pesawat. Erden mengangguk sambil memijat pelipisnya.

"Rumah. Mau manja-manjaan sama mama."

Kanaya terkekeh mendengar ucapan putra pertamanya yang sudah berumur 27 tahun ini.

"Sudah, ya, ma. Bentar lagi pulang. Assalamualaikum."

"Waalaikumsakam."

Saluran telepon terputus. Erden masih sempat mengetik sesuatu di handphone nya untuk memastikan sesuatu, langsung menelepon seseorang.

"Sudah ketemu?" nada tanya miliknya terdengar datar, berbeda saat bersama keluarganya.

"Sudah, Tuan. Saat ini, dia sedang ngampus tak lupa dengan sikap bar-bar di balik kerudung," lapor orang suruhan Erden dari ujung telepon.

Erden sudah menduganya dan mendesah pasrah.

"Ya, terima kasih. Laporkan ke saya jika ada pria lain yang mendekatinya," balas Erden sedikit dingin.

"Baik."

"Assalamualaikum."

"Saya non Islam, Tuan."

Erden mendesah pasrah lagi, memijat pelipisnya.

"Maaf. Selamat pagi."

"Terima kasih. Pagi, Tuan."

Saluran telepon kembali mati. Erden memasukkan handphone ke dalam saku celananya sambil melangkah keluar dari bandara.

"Sebentar lagi, Aileen Zelene Azzura. Jangan sia-siakan doa sepertiga malam saya yang selama bertahun-tahun."

TBC

ALDREEN : VOW TILL END (ON HOLD)Where stories live. Discover now