21. Keusilan Kecil

Start from the beginning
                                    

"Kalau kamu takut saya bawa pergi Ibu kamu, saya nggak akan lakukan itu. Saya yang akan ikut tinggal bersama kalian disini, itupun kalau kamu dan adikmu mengizinkan."

Haji Iswan tinggal di rumah sepetak mereka? Dikala pria itu punya rumah gedongan berlantai 2 disana? Apa ini hanya janji manis pria paruhbaya itu agar Shana segera memberi restunya?

"Atau jika kalian berkenan, kita bisa tinggal bersama-sama di rumah saya. Saya masih punya hati nduk, saya nggak mungkin memisahkan seorang Ibu dari anak-anaknya." Suara Haji Iswan terdengar lirih, saat Shana menoleh ia menemukan mata pria itu yang sudah memerah.

Haji Iswan mungkin salah satu orang di lingkungannya yang terkenal dengan hal-hal baiknya. Tentang Haji Iswan yang selalu ikut berjamaah ke masjid, tentang Haji Iswan yang sering bersedekah, tentang Haji Iswan yang sering memberangkatkan umroh karyawan-karyawannya.

Dia kembali berpikir, mungkin Haji Iswan adalah pria yang tepat untuk Ibunya.

Shana juga ingin Ibunya bahagia setelah banyaknya sakit yang ia lalui.

"Kalau saya kasih restu Pak Haji Iswan buat nikahin Ibu saya, apa Pak Haji bisa janji akan selalu membahagiakan Ibu?"

"Saya tidak bisa berjanji banyak hal, tapi saya akan selalu berusaha untuk itu. Bukan cuma buat Dik Rini, tapi untuk kamu dan Septian juga."

"Ya udah, jadi kapan Pak Haji mau nikahin Ibu?" Shana menatap Haji Iswan dengan senyuman, pertanda bahwa ia sudah benar-benar memberikan restunya.

Berbanding terbalik dengan Haji Iswan yang malah meneteskan air matanya.

"Minggu depan nduk, minggu depan."

***

Shana terkekeh-kekeh sendiri dalam perjalanannya menuju ruangan Seno. Dia sudah bisa membayangkan akan bagaimana wajah Seno setelah ini. Alisnya akan menungkik tajam dengan kepala yang seperti akan mengeluarkan tanduk.

Kemarin malam ia baru saja melakukan sebuah keusilan kecil.

Dengan mengiyakan semua mahasiswa Seno yang ingin bimbingan. Biasanya Seno hanya mau melayani 3 atau maksimal sekali 5 mahasiswa di setiap jadwal bimbingan. Sementara kalau tidak salah kira, hari ini dia membiarkan lebih dari 10 orang datang bimbingan pada pria itu.

Pintu ruangan Seno terlihat terbuka saat Shana tiba. Ia mengintip sedikit dan melihat masih ada seorang mahasiswa yang sedang bimbingan. Terdengar juga suara Seno yang yang menjelaskan dengan nada emosi seperti biasanya. Kapan sih pria itu tidak marah-marah?

Tak lama mahasiswa itu keluar dari ruangan Seno. Wajahnya tampak menahan tangis atas apa yang sudah diperbuat dosennya di dalam sana.

Karena sudah tidak melihat antrean mahasiswa lain lagi, Shana langsung nyelonong masuk. Ia menemukan Seno yang berulangkali menghela nafas dengan tangannya yang memijit-mijit kepala. Seno langsung mendongakkan kepalanya karena mendengar ada orang yang memasuki ruangannya. Baru ia akan marah karna mengira ada  mahasiswa bimbingan lainnya.

"Pusing saya gara-gara kamu!" Tuduh Seno yang malah Shana balas dengan tawanya.

"Ini minum dulu." Shana menyodorkan jus semangka yang sengaja ia beli di perjalanan, berharap jus ini bisa menurunkan darah tinggi Seno.

Seno menyedot dengan rakus jus itu. Tatapannya masih memicing tajam pada Shana yang mengulum senyumnya.

"Gila ya kamu nerima bimbingan sampai 16 orang. Mau pecah kepala saya!"

Asalnya Seno bisa saja menolak. Tapi ia tidak mau dicap ingkar janji atau apa. Walau yang membuat janji bukan dirinya.

"Nih maem dulu." Shana mengabaikan gerutuan Seno. Memilih membuka kotak bekal yang ia bawa dan menyuapkannya langsung untuk Seno yang nurut saja dengan langsung membuka mulutnya.

Tidak ada lagi gerutuan-gerutuan yang terdengar, pria itu sibuk mengunyah makanan.

"Pusing sekali kepala sa–"

"Aaaaakk," Shana kembali menyodorkan sesendok nasi beserta lauknya ke depan mulut Seno yang baru akan mengoceh kembali. "Enak nggak? Ini saya yang masakin khusus buat Bapak."

Seno menelan dahulu makanannya baru menjawab, "enak sekali. Sering-sering masaknya." Bisa dibilang ini kali pertama Shana memasakannya secara khusus. Karena biasanya jika ia mengunjungi rumah gadis itu, Shana hanya akan memasakinya mie instan atau telor ceplok. Baru kali ini gadis itu memasakinya makanan lengkap beserta lauk dan sayurnya.

"Iya asal Bapak mau bimbingan sehari 15 orang." Gurau Shana yang langsung mendapat delikan dari Seno.

"Kepala saya bisa meledak kalau gitu." Protes Seno.

Shana lagi-lagi tergelak, merasa puas karena sudah berhasil mengerjai kekasihnya. Ia lanjut menyuapi Seno yang mendadak berubah clingy siang ini.

"Pijetin kepala saya ya habis ini. Gara-gara kamu kan–,"

Shana menaikkan dagunya, seperti mengisyaratkan sesuatu.

"Tolong." Tambah Seno di akhir kalimatnya.

Shana manggut-manggut. Sudah akan mencak-mencak kalau Seno tidak menggunakan kata tolong dalam kalimatnya.

"Kenapa sih emangnya kalau banyak bimbingan? Kan berpahala Pak membahagiakan orang-orang dengan mempermudah mereka bimbingan."

"Kerjaan saya kan bukan cuma ngebimbing doang. Ini saya tadi dari pagi nggak bisa gerak kemana-mana. Bahkan buat pipis aja nggak bisa." Sahut Seno walau terdengar sedikit berlebihan.

"Sepuluh orang deh gimana?" Tawar Shana.

Shana jadi ingat awal pertemuannya dengan Seno dulu saat berdebat dengan pria itu di ruangan Prof Danes. Permasalahannya ya ini, Seno yang pelit soal kuota bimbingan. Mungkin memang jalannya sudah begini, jika waktu itu Shana sebagai anak advokasi tidak bisa melunakkan keras kepala pria itu, kini ia berusaha kembali melunakkan keras kepalanya Seno. Agak lebih mudah dengan posisinya sekarang sebagai kekasih pria itu.

"Lima titik. Itu kamu sudah nawar-nawar juga." Elak Seno cepat.

"Sepuluh ya plis?" Rayu Shana memasang wajah memelasnya.

"Kamu ini bukannya udah purna jabatan dari advokasi ya? Kenapa masih nawar-nawar saya?" Ujar Seno judes.

"Tapi dalam diri saya masih berkobar semangat advokasi Pak hehehehe," Shana menyengir tak bersalah. "Kalau nerima sepuluh nanti saya masakin yang enak-enak terus deh." Janji gadis itu, berharap Seno termakan bujuk rayunya.

"Sama disuapin?"

Sudah dibilang kekasihnya yang biasa galak dan datar sedang dalam mode manja-manja kucingnya. Sejak kemarin sih sebenarnya. Atau malah sejak awal awal?

"Iya sama disuapin, sama dipijetin kepalanya, sama dipijetin kakinya." Biarlah Shana merelakan dirinya menjadi babu Bhakti Aryaseno, setidaknya dia akan menerima pahala yang besar karena sudah memudahkan jalan banyak orang.

Seno tersenyum senang, "oke kalau gitu."

"Lima belas deh lima belas? Gimana?"

"Nggak."

***

Yogyakarta,
19 Agustus 2023


ADVOKASI Where stories live. Discover now