Chapter: 37

1.4K 56 0
                                    

"Jangan ganggu dia"

Luna yang mendengar hal tersebut hanya tersenyum miring sembari beranjak berdiri lalu menatap Fanny dengan nyalang."Kenapa? Kau ingin menjadi pahlawan? "ucap Luna dingin sembari menatap Fanny dengan datar.

"Kau tidak bisa menyalahkan Jennie sepenuhnya akan semua ini, aku sudah menjelaskan semua pad—"

"Fanny jangan munafik kau juga sama membencinya, karena faktanya Ace lebih memilih Jennie kala itu," Fanny terdiam mendengar hal tersebut membuat Luna tersenyum kemenangan.

Sementara Kevin hanya bisa menutup mulut tidak percaya dan Romeo menggelengkan kepala.

"Drama ini luarbiasa."Bisik Romeo kepada Bryan yang hanya diberi gelengan kepala tidak percaya.

"Ayolah Fanny, kau senang bukan berada kembali di sini? Bersama dengan pria yang kau cintai dan kau bisa hidup bahagia dengannya setelah kau menyingkirkan wanita itu," ucap Luna sembari menatap Jennie sekilas.

Fanny menoleh kepada Jennie yang menatap dengan binar yang terlihat begitu nyata. Lalu Fanny kembali menatap ke arah Luna.

"Kau benar, Luna."

Kevin tersentak sembari menggengam tangan Romeo dan menggoyangkannya secara cepat. "Romeo kau dengar itu?!" bisik Kevin yang membuat Romeo mengangguk cepat sembari menyimak kembali apa yang terjadi.

"Tapi, sayangnya itu tidak lagi sama karena Ace tidak menaruh rasa lagi padaku."Fanny berujar santai sembari melirik Ace yang terlihat acuh. Lalu Fanny kembali menatap ke arah Luna dengan lekat. "Dia mencintai seseorang.... Dan itu bukan aku. Jadi untuk apa aku membalas apa yang tidak akan merubah se—"

"Lalu jika aku bilang aku menaruh rasa padamu kau akan membunuh Jennie? " ucap Ace tiba-tiba sembari mendekati keduanya.

Luna menoleh menatap Ace sementara Fanny hanya terdiam menatap lekat wajah Ace. "Kenapa diam? Bunuh dia." Titah Ace lagi sembari menaikkan sebelah alisnya lalu menyilangkan kedua tangannya di depan dada.

"Astaga! ini tidak baik," gumam Kevin sembari menatap Bryan yang hanya diam sedari tadi.

Sementara John di tempat hanya diam dengan sebelah tangan di dalam saku celana tengah menggengam erat sebuah pisau.

Ace mengeluarkan sebuah revolver dari saku celana belakang lalu menyerahkan revolver tersebut pada Fanny."Ayolah, jangan membuatku menunggu Fanny dan gunakan benda tersebut untuk membunuh Jennie. Lagipula kaset tersebut sudah berada di tanganku dan Jennie sudah tidak lagi berguna."

Luna masih terdiam di tempat memperhatikan Ace sembari menatap Jennie sekilas yang menahan air mata."Cepat! " sentak Ace membuat Fanny secara refleks menodongkan revolver yang ia genggam pada Jennie dengan gemetar.

"Ak-aku mohon jangan," lirih Jennie dengan wajah memelas yang ia miliki.

Sementara Ace hanya menatapnya biasa tanpa iba sedikitpun."Lakukan." Perintah Ace dingin membuat Fanny semakin menggengam revolver tersebut semakin erat.

Keringat dingin muncul di dahi Fanny. Dan ia tidak bisa membohongi bila ia kini ketakutan setengah mati."Aku mohon..." lirih Jennie lagi membuat yang lain mulai waspada, terutama Bryan.

"Ace jangan gegabah," ucap Bryan sembari menatap Fanny yang tengah menyentuh pelatuk tersebut. Salah saja sentuhan tersebut maka satu peluru akan melesat.

Suasana menjadi sangat mencengkam ditambah lagi tidak ada yang berani secara langsung menghentikan tindakan Ace. Bahkan, Jacob saja sedari tadi hanya terdiam mematung di tempat.

"Jangan membuatku kesal Fanny," ucap Ace lagi membuat Fanny semakin ketakutan bukan main. Di tambah lagi wajah Jennie sangatlah pucat.

Hingga tiba-tiba seseorang mengambil revolver tersebut dari tangan Fanny dengan kesal lalu menarik pelatuk tersebut ke arah Jennie membuat semua terkejut luarbiasa. Mungkin hari ini Jennie memiliki keberuntungan karena peluru tersebut tidak melesat masuk ke tubuh wanita itu. Karena setelah diperiksa bila di dalam revolver tersebut tidak terdapat peluru sama sekali. Jennie sangat beruntung, kali ini.

"Kenapa kau mengambilnya? Aku bahkan tidak menyuruhmu untuk membunuhnya."Ace tersenyum miring.

Luna yang mendengar hal tersebut menatap Ace dingin sembari melempar revoler yang ada d itangannya ke sembarang arah."Kau bercanda? Apa kau begitu menyayangi wanita itu hingga tidak memberikan peluru di dalamnya? "

Ace terkekeh pelan sembari mengusap pucuk kepala Luna secara perlahan."Tenanglah, ada apa denganmu? Iblis mana yang merasuki dirimu hingga berniat membunuh sahabat masa kecilnya dengan tanganmu sendiri?"

Mendengar hal tersebut Fanny mematung sementara Luna dengan kasar menepis tangan Ace sembari melirik Fanny dengan tajam.

"Dasar tidak berguna."

· · ─────── ·𖥸· ─────── · ·

"Luna apa kau gila!? Kau hampir membunuh Jennie! "ucap Becca tidak percaya sembari mencoba menyesuaikan langkah Luna.

Sedangkan yang diajak bicara tidak mengubris hal tersebut sedari tadi. Ia hanya fokus berjalan dan menatap ke depan dalam diam.

"Luna! "

Sentakan tersebut sukses membuat langkah Luna terhenti. Kini Becca menuntut alasan atas apa yang Luna lakukan saat tadi."APA KAU HILANG AKAL?! KAU HAMPIR MEMBUNUH JENNIE"

"MEMBUNUH! M-E-M-B-U-N-U-H." Tekan Becca disetiap kata yang ia lontarkan.

Luna menatap Becca sekilas lalu berniat beranjak kembali. Namun, Becca lebih dulu menahan tangannya dengan erat."Perbincangan kita belum selesai Luna"

Dengan kasar ia menepis tangan Becca hingga membuatnya mundur beberapa langkah. Angin yang berhembus membuat suasana begitu hampa, senyap, dan terasa nyata."Dengar Becca, kau tidak bisa mengaturku karena walaupun kau selalu ada untukku kau tetaplah bukan keluargaku. Kau tidak akan pernah mengerti rasanya dikhianati, ditinggalkan, bahkan dicampakkan."

"Luna aku mengerti apa yang kau ra—"

"KAU TIDAK BECCA! "sentak Luna kesal sembari mengepal tangannya dengan kuat.

"Jika kau mengerti apa yang ku rasa, lalu kenapa kedua orang tuamu masih hidup? Luka dari segimana yang kau pahami?" Becca tidak berkutik dan memilih diam untuk kali ini.

Dalam sekejap atmosfer sekitar lebih mengerikan dari sebelumnya. Di mata Luna tersiratkan luka mendalam yang tidak dapat tersirat dengan kata. Becca mengakui bila kali ini ucapan Luna benar. Dirinya tidak mengerti perih tersebut dan ia juga tidak tahu seberapa besar tenaga yang dikeluarkan untuk menyembuhkan segala luka yang ada.

Hanya saja, ia yakin kita semua memiliki luka yang sama dengan konteks yang berbeda. Tapi pada dasarnya luka itu obatnya sama. Cinta dan rasa. Dendam tidak akan pernah berhenti bila isi dalam hati hanyalah dengki. Semua tidak akan ada tepi. Berlari terus-menerus hingga semakin lama hati semakin mati.

"Luna, aku mengenalmu bukan sehari atau dua hari, yang aku tangkap adalah kau tengah jatuh hati dan patah hati disaat yang bersamaan, semua kau lampiaskan pada seseorang juga memanfaatkan keadaan yang ada. Aku tahu itu." Becca menepuk bahu Luna secara sekilas.

"Apa maksudmu Becca? Aku tidak mengerti dengan apa yang kau bicarakan? "

Tatapan Becca teralihkan pada seseorang di belakang Luna yang tengah berdiri menatap mereka sedari tadi. Dengan wajah rupawan yang datar dan juga sikap menyebalkan yang ia punya. "Kau cemburu saat Ace bilang bila ia masih menaruh rasa pada Fanny? Itu alasan kau berniat menembak Jennie. Kau marah akan keadaan dan juga kesal akan rasa yang tidak tersampaikan."

Perlahan Becca mendekati Luna sembari menatap Ace yang masih terdiam di lorong dengan wajah datar yang khas.

"Jujur saja bila kau menyukai Ace, benar? "

· · ─────── ·𖥸· ─────── · ·
To be continued
05/08/23

Stuck With The MafiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang