"Pak Seno nggak boleh pacaran, ini kan di kampus."

"Oh iya ya?" Seno seolah terkejut tapi tangannya tidak lepas dari tangan Shana.

Shana berdecih, lantas meletakkan kepalanya di tautan tangan mereka berdua. Memandangi Bhakti Aryaseno yang sedang makan dari sana. Sepertinya memperhatikan Seno yang sedang makan akan menjadi hobi barunya. Melihat bagaimana rahang kokoh itu mengunyah, melihat gigi rapi Seno tiap kali membuka mulut. Menyenangkan juga.

Belakangan ini tugasnya sebagai asisten Bhakti Aryaseno tidak sebanyak dulu. Jika dulu Shana akan direpotkan dengan memeriksa tugas-tugas mahasiswa Seno saat menemani pria itu makan siang. Kini seringkali dia hanya berdiam diri, menunggu sampai seno menyelesaikan makan siangnya.

"Ganteng." Puji Shana reflek karena terlampau terkesima dengan figur pria itu.

"Makasih." Seno mengulum senyum mendengar pujian dari gadisnya.

"Orang lagi ngomongin Kim Dong Wook wleee." Elaknya.

"Oh gitu." Seno manggut-manggut seolah mempercayai ucapan Shana. "Kirain buat saya."

"Pak Seno juga ganteng, tapi gantengan Kim dong wook, soalnya dia nggak suka marah-marah sampai alisnya gini." Shana mengerutkan dahi hingga kedua alisnya hampir menyatu, menirukan bagaimana rupa Seno kalau sedang galak-galaknya.

Bukannya tersinggung, Seno malah tertawa, "gitu ya?"

Shana mengangguk semangat.

"Berarti kalau saya nggak marah-marah saya mirip siapa tadi yang kamu bilang Kim dung?"

"Kim dong wook bapak!"

"Ha iya itu, mirip itu ya?"

"Umm, mirip dikit. Rambutnya hehehe."

"Alhamdulillah masih mirip, walau rambutnya saja."

Shana mengerjap-ngerjapkan matanya, tidak menyangka mengobrol dengan Bhakti Aryaseno bisa semenyenangkan itu. Ia kira selama ini Seno mirip pohon akasia, alias akan diam doang dan garing. Ternyata pria itu menyanggupi obrolannya yang sedikit aneh.

"Bapak, nanti malam ke pasar malam yuk?" Ajaknya tiba-tiba. Tidak berharap Seno akan menyanggupi.

"Iya boleh, dimana pasar malamnya?" Seno menutup kotak makannya yang sudah habis. Kini fokusnya bisa ia alihkan sepenuhnya pada gadis yang menumpukan kepalanya di atas tautan tangan mereka.

"Serius?" Melihat Seno kembali mengangguk, Shana reflek berteriak kesenangan. "Di Bantul Pak, jauh dikit sih."

"Oke, nanti selesai ngajar saya langsung ke rumah kamu. Tanya Septian mana tahu dia mau ikut."

Shana langsung menggeleng, "inikan ngedate masa bawa Septian."

"Oh mau jalan berdua aja sama saya ya?" Goda Seno ikut menumpukan kepala di atas meja, hingga kini kepala keduanya berhadap-hadapan.

"Bersebelas sama Gen Halilintar." Sahutnya asal.

Lagi, Seno tertawa. Bukan karena jawaban Shana, tapi karena melihat bagaimana ekspresi gadis itu saat berucap. Sepanjang mengenal Shana, Seno tahu gadis ini sangat ekspresif. Tidak tahu saja kalau pada akhirnya ia jatuh sejatuh-jatuhnya pada pesona gadis ini. Ekspresifnya Shana ini juha yang pada akhirnya menjadi kesenangannya.

"Saya pengin cium kamu, tapi ini di kampus."

"Ih mesum!" Shana langsung mengangkat kepalanya. Memandang Seno dengan delikan mautnya, sialnya Seno malah menahan tawa melihatnya.

"Cium di dahi Shana, cium kasih sayang." Bela Seno tapi mata Shana tetap melotot. "Apa kamu mau saya cium di tempat lain?"

"Bapaaak!!!" Rengek Shana. Ia tahu Seno sedang menggodanya. Tapi ia merinding sendiri mendengar ucapan Seno.

ADVOKASI Where stories live. Discover now