Beberapa Tahun Berlalu

70 11 0
                                    

Angin berembus menerpa rambut lurus yang tergerai di sana berantakan sampai tangan sang pemilik terpaksa membetulkan perlahan, tampak sebuah cincin terpasang indah di jari manis yang terangkat kala menyelipkan helai surai ke belakang telinga. Dia meletakkan sebuket bunga lili putih ke atas makam di depannya, lalu kembali berdiri sambil melihat nama yang terpatri di nisan itu.

"Mama, apa kabar? Beberapa tahun berlalu cukup cepat, ya. Setelah Mama pergi sebulan sesudah terakhir kali kita bertemu malam itu, Tante Anna cukup terpukul, dia sedih berhari-hari karena hanya Mama yang dia punya, selain Amaya. Tapi, sekarang dia udah berdamai, bahkan mulai buka beberapa cabang kedai ayam gorengnya, dia cukup sukses dan punya banyak pegawai sekarang. Tante Anna titip salam untuk Mama, dia cukup sibuk, mungkin akhir pekan depan baru bisa ke sini." Wanita yang menggunakan blus krem menarik kedua sudut bibir, membuat kedua lubang di bawah bibir terpatri jelas.

"Amaya udah baik-baik aja sekarang, Ma. Setelah lulus, Amaya kerja di perusahaan pengembangan game online di luar kota dan tanpa sengaja jalin kerja sama dengan perusahaan tempat Shankara bekerja. Mama ingat dia, 'kan? Laki-laki yang aku ceritain setiap kali besuk Mama di rumah sakit dulu. Waktu tau tentang perusahaan yang akan jalin kerjasama dengan tim kami, Amaya coba cari sendiri informasi beberapa pegawai yang akan ikut andil di projek tersebut. Ternyata Shankara di sana, dia masih sama, hanya sedikit lebih tinggi, dan gaya rambutnya disisir ke belakang." Amaya menggosok hidung yang agak memerah karena cuaca yang semakin sejuk sore itu dengan punggung tangan.

Usai tertawa pelan, wanita berpoles riasan tipis itu kembali berujar, "Cukup lama ngumpulin keberanian untuk bisa jumpai dia lagi, Ma. Sampai akhirnya ...."

Kalimat itu berhenti bersamaan dengan Amaya yang melihat tangan sendiri, menatap cincin putih dengan berlian kecil sebagai hiasan di bagian puncaknya yang terpasang cantik di jari manis kanan wanita itu. "Dia lamar Amaya dan kami akan resmi menikah besok. Berikan restu Mama untuk kami, ya."

"Mama, terima kasih untuk semuanya. Maaf karena belum bisa cukup baik menjadi seorang putri untuk Mama. Amaya harap, Mama selalu bahagia dan lihat Amaya dari sana. Sampai ketemu lagi, Ma. Amaya akan sering berkunjung."

***
Pantulan wajah di cermin membuat sang empu tersenyum lebar, menunjukkan gigi putih rapi, lalu kembali menutup mulut seraya menunduk. Dia melihat lagi gaun putih yang dikenakan, memegang kain pakaian yang cukup elegan dengan beberapa mutiara kecil sebagai hiasan pada bagian dada, ditambah kerah yang berbentuk garis v memberikan kesan seksi tetapi tetap anggun dengan ekor pada bagian belakang gaun pengantin tersebut. Tidak hanya itu, rambut yang sengaja dibuat agak bergelombang lalu mengambil bagian depan untuk dijepit ke belakang, membuat wajah sang pengantin terlihat lebih menawan.

"Kamu kelihatan cantik banget!" pekik wanita berambut ikal semangat seraya memegang bahu Amaya.

"Shankara bisa pingsan di tempat kalo lihat calonnya secantik ini." Kali ini suara wanita berkontak lensa cokelat mendominasi. Dia mengelus perut yang agak buncit sambil tersenyum girang.

Amaya tertawa, lantas menatap orang yang berdiri di sisi kiri dan kanannya sekarang. "Hani, Juwita, terima kasih udah mau datang."

Setelah mengangguk beberapa kali, Hani membawa rambut yang tergerai ke sisi pundak kanannya. "Kamu harus bayar lebih karena enggak bisa datang waktu aku dan Bima nikah tahun lalu, tapi bisa datang ke nikahan si Juwita dan suaminya."

"Ya, aku akan kirim banyak hadiah untuk anak kalian nanti." Amaya memegang punggung tangan di bahu kanannya.

"Beberapa tahun ini terasa cukup banyak yang terjadi, ya. Aku yang mutusin buat nikah muda setelah lulus, Bima dan Hani yang tiba-tiba menikah hanya karena enggak sengaja ketemu di kencan buta, dan sekarang Amaya ketemu lagi sama Shankara sampai akhirnya mutusin buat berumahtangga." Juwita berargumen dengan tangan masih di atas perutnya.

"Aduh, bijak banget ibu hamil kita yang satu ini. Setelah nikah dengan pria yang lebih tua kayaknya kamu jadi makin dewasa." Hani mengelus puncak si lawan bicara dengan mulut yang dimajukan, membuat ekspresi mengejek yang cukup menyebalkan untuk dilihat.

"Tapi, Juwita benar. Banyak yang terjadi selama lima tahun lebih ini, banyak juga yang berubah," ucap Amaya seraya melihat pantulan wajahnya, Hani dan Juwita di cermin.

Hani tersenyum, menunjukkan gigi gingsul penambah manis parasnya, lantas berujar, "Bahkan di saat banyak hal yang berubah selama ini, kamu dan Shankara masih bisa untuk kembali mulai semuanya dari awal."

Juwita mengangguk, beriringan dengan lengkungan indah yang terbit di wajah cantik sang pengantin di sana.

Sementara itu, di ruangan tempat pengantin pria menunggu. Tampak Shankara terus mengigit kuku sambil berjalan mondar-mandir layaknya setrika yang tengah merapikan pakaian. Sosok tinggi yang mengenakan setelan abu-abu muda dengan kemeja putih itu memegang gusar dasi bewarna senada.

"Santai, Bro," ujar Dion sambil memangku seorang balita laki-laki, lantas memegang tangan si lawan bicara saat lewat di depannya.

"Iya, jangan tegang banget," timpal Bima sambil merapikan rambut gondrongnya yang diikat rapi oleh sang istri.

Shankara berhenti, diam, kemudian menatap Soleh yang hanya memandangnya sambil tersenyum manis. "Kamu waktu nikah dulu mikirin apa biar enggak panik?"

Usai melihat langit-langit sebentar, Soleh berdeham. "Aku mikirin sesuatu yang bikin seneng pastinya." Lalu, wajah putih pria berlesung pipi itu cukup memerah.

"Dia pasti bayangin malam pertama sama istrinya dulu," celetuk Bima asal, membuat Dion menutup kedua telinga sang anak yang duduk ada di pangkuan.

"Terlalu fulgar!" jerit pria berkacamata agak kesal. "Aku pikir, Soleh bukan laki-laki yang begitu."

"Eh! Emang enggak! Aku enggak mikir yang kayak Bima bilang. Sesuatu yang bikin senang yang aku maksud itu seperti bayangan masa depanku sama istriku." Soleh berusaha menjelaskan dan mendapatkan respon anggukan kepala beberapa kali dari ketiga orang lainnya.

Shankara menarik napas dalam, lalu mengeluarkan perlahan, membuat bahu tegapnya naik dan turun secara beraturan. Dia duduk di kursi kosong yang bersebelahan dengan Dion. Sambil menutup mata, perlahan pria berambut legam itu mencoba untuk mengikuti saran dari sahabat berlesung pipinya tersebut.

Saat merasakan tepukan di lutut, Shankara membuka mata, melihat sang pelaku-seorang balita yang tengah tertawa girang sambil terus menggerakkan tangan ke dengkulnya.

"Arsen, sini main sama papa aja, jangan ganggu Om Shan, ya." Dion menahan jari-jari kecil sang anak dengan tangan besarnya.

Seraya melihat terus pemandangan Dion yang tampak menyelipkan dua jari ke dalam genggaman sang anak di sampingnya, Shankara tanpa sadar melengkungkan bibir agak tebal itu ke atas, mengukir senyum cukup hangat pada wajah tampan berahang tegas tersebut. Dia menutup mulut dengan tangan yang di kepal, berdeham, lantas menjilat sedikit bibir.

Aku tanpa sadar jadi mikir banyak hal tentang masa depanku dengan Amaya, batin Shankara girang.

.
.
Author : tanpa sadar Bayangi hal hal indah setelah Shankara dan Amaya menikah 🤭

Ya ampun sedih banget akhirnya mereka menikah juga 😭 benar benar membuat hati menjadi hangat yaaaa
.
Rate chapter ini dong, dari 1-10. Kira kira berapa?
Terima kasih untuk yang sudah menjawab, kalian sudah meninggalkan jejak yang berharga 🤗

Kenangan Bersama Hujan [Tamat]Unde poveștirile trăiesc. Descoperă acum