Kembang Api dan Pengakuan

42 14 0
                                    

Angin sejuk malam itu menerpa rambut lurus Amaya yang tergerai, membuat jemari lentik di sana terpaksa menyisipkan beberapa helai ke belakang daun telinga. Dia kembali menarik lagi jaket hitam yang sempat turun, bersamaan dengan senyum sedikit mengembang kala mata beralih ke pemuda yang berdiri di sebelahnya sekarang.

Shankara membalas tatapan lembut orang di sisi kirinya, tersenyum kecil, lantas sedikit menurunkan punggung agar lebih mendekat dengan sang kekasih. Dia kembali mengalihkan pandangan saat Amaya memusatkan lagi fokus ke arah enam orang di depan mereka yang tampak asik bermain kembang api di halaman rumah nenek Soleh, tepat di bawah pohon rambutan besar di sana.

"Mereka belum kamu kasih tau?" tanya Amaya tanpa mengalihkan atensi.

"Belum, aku pikir kamu enggak nyaman jika yang lain tau tentang kita." Shankara meraih tangan si lawan bicara, meremas pelan, lalu menggosok dengan ibu jari. "Jari kamu dingin," katanya.

"Kita harus kasih tau mereka, tapi nanti." Amaya membalas genggaman, tersenyum kecil kala Shankara menyelipkan jari-jari besar itu ke dalam ruas-ruas jemari miliknya.

"Kamu atau aku yang kasih tau?"

"Kamu bisa kasih tau teman-teman kamu, dan saya akan kasih tau Hani juga Juwita." Amaya menarik tangan ketika dua orang yang dibicarakan itu melihat ke arahnya. Dia mengangkat jari-jari lentik itu sebentar saat Hani dan Juwita melambaikan tangan penuh semangat.

Shankara memandang Amaya, melihat lengkungan manis yang tercipta dari bibir gadis itu berhasil membuat gerakan yang sama secara spontan pada dirinya sendiri. Pemuda berambut legam tersebut melihat ke arah orang yang disapa Amaya, tampak Juwita dan Hani sudah kembali sibuk dengan beberapa kembang api di tangan mereka, diikuti oleh Soleh, Dion, Alea, dan tidak lupa Bima si pemegang lilin untuk yang lain supaya mudah menyalakan mainan yang tengah mereka gemari saat ini.

Suara tawa Amaya terdengar ketika Dion tidak sengaja melepas kembang api yang baru saja habis dilahap api ke tanah, tetapi malah tanpa sengaja hampir terkena ke kaki Hani. Alhasil gadis berambut ikal itu mengejar pemuda berkacamata di sana dengan memegang sebuah ranting dari pohon rambutan.

"Kamu kelihatan lebih bahagia sekarang, Amaya," komentar Shankara. Pemuda itu menatap sang pujaan hati dengan tersenyum tipis.

Amaya menengadah ke kiri, menunduk sejenak ketika jari diraih lagi oleh si lawan bicara. Kali ini, tangannya dibawa masuk ke dalam saku hoodie putih yang dikenakan oleh Shankara. Dia kembali menatap si pemilik bibir bebek, menarik sedikit sudut bibir ke atas, lantas mengangguk. "Terima kasih," ucapnya lirih, bahkan hampir teredam oleh suara tawa orang-orang yang sibuk bermain di halaman.

Karena hanya mendapati diamnya Shankara, Amaya kembali berujar, "Terima kasih banyak."

"Kenapa?" Shankara mengerutkan kening.

"Untuk semuanya." Amaya menautkan tangannya yang berada di dalam saku hoodie dengan milik sang kekasih. Dia mengulum bibir sebentar, lalu menarik napas lega hingga bahu turun secara perlahan. "Mungkin jika saya enggak ketemu kamu, saya enggak akan menjadi seperti saya dalam versi yang seperti ini. Kamu bawa saya untuk keluar dari zona yang saya buat hanya untuk saya sendiri dulu."

"Terima kasih sekali lagi, Shankara." Amaya menyunggingkan senyumnya lagi, membuat dua lubang kecil di bawah bibir mungil itu terlihat jelas.

Shankara menyentuh lesung pipi Amaya dengan telunjuk kiri, kemudian tertawa pelan saat sang empu berhenti tersenyum karena terkejut. "Waktu kamu senang, ini akan selalu muncul. Aku suka itu."

"Kamu enggak jawab ucapan terima kasih saya." Amaya sedikit mengerutkan bibirnya.

Usai kembali menarik lagi jari, Shankara mengeluarkan tangannya dan Amaya dari saku. Dia membiarkan jari-jari lentik itu bebas dari genggaman erat yang sempat menghangatkan mereka berdua di sana.

"Kenapa aku harus jawab itu, Amaya?" Shankara mengubah posisi berdiri hingga berhadapan langsung dengan si lawan bicara yang sejak beberapa detik lalu berdiri menghadapnya. "Aku enggak suka."

"Ha?" Amaya melongo.

"Kamu lebih suka buah apel atau jeruk, Amaya?"

Pertanyaan Shankara kembali membuat Amaya membuka mulut agak lebar. "Kenapa kamu tanya—"

"Aku enggak suka kamu buang waktu untuk berterima kasih ke aku, Amaya. Aku lebih suka kita pakai waktu itu untuk kita tau lebih banyak satu sama lain." Shankara memegang kedua bahu Amaya.

"Lagi pula, seharusnya aku yang berterima kasih ke kamu, Amaya." Shankara sedikit menyentuh sebentar anting kupu-kupu kecil yang dikenakan Amaya dengan telunjuk. "Berterima kasih karena kamu udah mau terima tanggung jawab atas rasa sukaku ke kamu."

Suara benda terjatuh membuat Amaya dan Shankara mengalihkan pandangan ke samping, tampak Bima yang baru saja menjatuhkan lilin beralaskan kaleng susu yang kosong ke tanah, diikuti Alea yang menjatuhkan kotak kembang api seraya mulut menganga.

Shankara melepaskan tangan dari Amaya, mundur beberapa langkah supaya menjauh dari sang kekasih. Dia mendesis kecil, menutup mata rapat seraya menggaruk rambut yang tidak gatal.

"Jadi, Shan, kamu dan Amaya udah—"

"I-Ini enggak seperti yang kalian duga!" potong Shankara cepat dengan intonasi agak tinggi.

"Kak Amaya dan Kak Shan pacaran?" Alea memandang kedua orang di depannya secara bergantian.

"Eng-enggak! Bukan kayak—"

"Iya, kita udah pacaran." Amaya membuka suara mendadak, bahkan Shankara yang sebelumnya sempat berkeringat dingin langsung menoleh ke arah gadis itu dengan tatapan tidak percaya, mengingat bahwa Amaya-lah yang mengatakan untuk menyembunyikan hubungan mereka terlebih dahulu.

Amaya mendekati Shankara meraih tangan pemuda itu, kemudian menggenggam cukup erat dengan mengangkat di antara tubuhnya dan sang kekasih. "Saya dan Shankara udah pacaran sejak kemarin, tepat di tanggal 19 Maret."

Sebab penuturan Amaya, Bima dan Alea semakin membuka mulut lebar. Berbeda dengan kedua orang itu, Shankara malah mengulum senyum dengan sebelah tangan memegang ujung telinga yang tampak memerah, entah karena hawa dingin malam atau merasa malu sekaligus senang sebab baru saja mendengar Amaya dengan lantang menyuarakan hari jadi mereka.

"Oi! Kok pada berdiri di sini, sih? Tapi katanya mau masuk karena udah jam setengah sepuluh." Dion baru datang bersama tiga orang lainnya.

"Astaghfirullah, Adek kenapa melongo gitu? Nanti masuk kodok, loh," tegur Soleh kepada Alea.

"Hani, Bima kenapa buka mulut lebar juga kayak Alea? Mereka kayak abis kena azab," adu Juwita kepada gadis yang lebih tinggi di sebelahnya.

Hani menaikkan kedua bahu sebagai jawaban, kemudian melotot kala mata beralih ke dua orang di depannya lagi, yaitu Shankara dan Amaya, bahkan tangan tanpa sengaja menjatuhkan ranting yang dibawa.

"Kenapa kalian pegangan begitu?" tanya Hani dengan menunjuk ke arah tangan Amaya dan Shankara.

Akibat pertanyaan tersebut, Dion, Soleh, dan Juwita yang sebelumnya tidak berfokus ke sana malah ikut membuka mulut berjamaah di sana.

"Saya dan Shankara udah resmi pacaran!" ucap Amaya lagi, kali ini intonasi lebih tinggi dari yang sebelumnya.

Malam itu, semua orang dikejutkan dengan berita yang mencengangkan dari mulut sosok yang tidak diduga. Hening pun menyelimuti para insan di halaman, hanya terdengar suara jangkrik di kebun ubi samping rumah nenek yang sesekali masuk ke pendengaran tiap raga yang masih mencoba mencerna satu per satu kata dari Amaya.


.
.
.
Hai semuanya!! Apa kabar?
Semoga kalian selalu di dalam lindungan Tuhan 🤗
Terima kasih banyak udah baca sampai sejauh ini 🥺♥️
Aku harap kalian tetap betah di sini dan sampai akhir membaca kisah manis Shankara dan Amaya huhu 😭
.
Jangan lupa tinggalkan jejak dan share cerita ini yaa sobat kuaci 🤭
Calangeo gaes 🥰
.
.

Kenangan Bersama Hujan [Tamat]Where stories live. Discover now