Cerita Buku Paket

47 17 1
                                    

Suara hujan di luar kafe membuat Shankara sama sekali tidak mengalihkan pandangan dari jendela yang ada di sisi kanan tempatnya duduk sudah hampir sepuluh menit lamanya. Dia mengetuk kuku jari telunjuk ke meja, membuat irama yang mengalun di dalam otak, kemudian bersenandung kecil.

Karena mendengar suara kursi di depannya, Shankara menghentikan gerakan jari, menoleh ke arah si pendatang, kemudian sedikit mengerutkan bibir.

"Kamu telat lima menit, Amaya," beo Shankara, lantas membanting punggung ke sandaran kursi kayu miliknya.

"Saya udah bilang untuk belajar di tempat saya, tapi kamu ngotot mau di sini." Amaya menepuk-nepuk bahunya sendiri yang sedikit basah karena hujan.

Amaya membuka topi hoodie hitam yang dikenakan, duduk, lantas meletakkan ransel kulit yang dibawa ke kursi di sebelah kursinya. Dia mulai mengeluarkan laptop, buku, dan pulpen.

Shankara masih menatap orang di depannya, Amaya yang tampak sibuk membetulkan kunciran rambut lurusnya, mengubah model menjadi cepol satu asal. Bisa terlihat jelas jari lentik itu membetulkan setiap helai anak rambut di sisi wajah dengan menyelipkan ke belakang telinga.

Karena sadar akan sesuatu yang baru, Shankara mengerutkan kening, kemudian kembali duduk tegak dengan sedikit menurunkan layar laptop miliknya, upaya agar Amaya bisa melihat wajah pemuda itu dengan jelas.

"Kamu pakai anting hari ini?" tanya Shankara sambil menunjuk ke telinganya sendiri.

"Hm," jawab Amaya singkat.

"Kenapa?"

"Apanya yang kenapa? Saya cuma mau pake aja!" Amaya meninggikan suara seraya membanting alas mouse laptopnya ke meja.

"Kamu marah cuma karena aku tanya hal sepele," sahut Shankara, lalu mendengkus kesal.

"Kamu bukan tanya hal sepele, tapi tanya hal yang enggak berguna. Saya pake ini karena baru dikasih sama Tante Anna semalam." Amaya memegang ujung telinganya sedikit, tanpa mengalihkan sedikit pun fokus dari laptop yang baru ingin dia hidupkan.

Shankara mengetuk-ngetuk jari ke meja sampai terdengar bunyi dari kuku untuk kesekian kali. Dia menopang sisi kanan wajah dengan tangan seraya menunggu proses booting layar di depannya.

"Amaya," panggil pemuda pemilik duck lips itu pelan.

"Hm, kenapa lagi?" Amaya mengalihkan pandangan, menatap Shankara yang sekarang meliriknya dengan ekor mata.

"Kamu baik-baik aja kemarin?"

Shankara menutup mulut sedikit dengan telapak tangan yang menopang sebelah sisi wajahnya. Dia melihat Amaya yang tampak menautkan kedua alis, sepertinya gadis itu sedikit heran.

"Masalah dengan Hani dan Juwita?"

"Iya, masalah itu," balas Shankara sambil membetulkan posisi duduk seperti semula.

Seusai mengangguk, Amaya menyelipkan lagi anak rambut ke telinga kanannya. Dia kembali menatap laptop, memilih untuk tidak mengatakan apa pun lagi untuk pertanyaan yang diberikan oleh si lawan bicara.

Sebab melihat reaksi Amaya tersebut, Shankara meringis kecil seraya memicingkan mata. Dia membuka buku di sebelah laptop, menuliskan beberapa kalimat, kemudian menyodorkan kepada gadis di depannya.

Amaya melirik sedikit ke kiri, agak menghela napas berat, kemudian mengacak poni tipisnya asal.

Aku cuma tanya itu, jangan marah. Kata orang jaman dulu, marah-marah bikin cepat tua. Aku enggak suka kita belajar dalam suasana hati yang buruk gini. Ayo, kita bicarain ini dulu sebelum belajar.

Kenangan Bersama Hujan [Tamat]Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt