Hujan Bisa Tanggung Jawab?

36 15 0
                                    

Amaya berjalan memasuki rumah panggung sederhana di depannya, bangunan itu tidak begitu megah, tetapi luas, memiliki beberapa kamar saat dia melangkah melewati ruang tamu. Pada bagian halaman belakang, terdapat dapur dan kamar mandi yang terpisah dengan rumah.

Sudah merasa puas usai berkeliling, Amaya kembali menuju ruang tamu, tempat mereka berkumpul beberapa menit lalu ketika baru saja tiba di sana. Gadis itu berdiri di sebelah Soleh, sedikit menepuk punggung pemuda berlesung pipi tersebut supaya menoleh ke arahnya.

"Saya tadi ke belakang, mau ke kamar mandi niatnya. Airnya enggak ada, itu saya harus gimana?" bisik Amaya dengan sedikit mencondongkan tubuh ke telinga kiri si lawan bicara.

Soleh sedikit menurunkan bahu, menutup sebelah sisi wajah dengan sebelah tangan, lantas membalas perkataan Amaya. "Maaf, Amaya, aku lupa bilang, kalo di sini air harus diambil langsung dari sumur pake ember yang diikat pake tali."

Suara embusan napas terdengar jelas dari Amaya. Dia mulai melangkah mendekat ke arah Hani dan Juwita yang duduk di atas tikar anyaman di sana. Hani tersenyum ke arah Amaya, menepuk ruang di sisi kiri tubuhnya.

"Soleh, minta teh anget, dong! Shan udah pucat hampir biru gini." Dion bersuara nyaring, memenuhi ruang tamu yang hanya ditempati oleh mereka bertujuh sekarang.

"Eh, iya! Bentar, aku buatin dulu."

Soleh pun pergi dari sana, tetapi sebelum menuju dapur, dia kembali ke ruang tamu dengan sebuah bantal, memberikan kepada Dion untuk alas kepala Shankara supaya lebih nyaman.

Tampak Shankara berbaring, tepat bersebelahan dengan Bima yang duduk membelakangi Hani. Dia tidur terlentang, sesekali mata pemuda itu terbuka, tetapi kembali menutup saat sang sahabat berkacamata menepuk punggung tangannya yang memeluk boneka kelinci merah muda milik Juwita.

"Btw, nenek Soleh tadi ke mana?" Juwita bertanya seraya meletakkan kepala ke bahu Hani yang duduk di sampingnya.

"Kata Soleh, sih, neneknya lagi pergi sebentar ke rumah tetangga yang ada acara. Jadinya, sore nanti baru pulang." Bima menjawab tanpa menoleh.

"Jadi, sebenernya kok bisa kepikiran buat liburan ke sini?" sahut Hani, kemudian menopang kepala ke pundak Amaya. Sekarang, kedua gadis di sana terlihat saling bersandar, sedangkan gadis di paling ujung terlihat sibuk dengan ponsel di tangannya.

"Soleh bilang, nenek dari pihak ayahnya ini kesepian karena tinggal sendiri. Jadi, mama Soleh minta Soleh buat kunjungan ke sini. Berhubung kita semua kosong, jadi ngikut aja waktu diajakin, besok juga kata Soleh, adiknya yg pertama mau nyusul," balas Dion jelas.

Karena merasa penasaran dengan orang di sebelahnya, Hani sedikit menjulurkan leher lebih panjang lagi ke samping, mencoba mengintip apa yang tengah dicari oleh Amaya di benda pipih pintar dalam genggaman sebab tidak menyahut sekalipun di obrolan beberapa waktu lalu. Hani sedikit membulatkan mata, kemudian tersenyum kecil.

"Kamu cari cara hilangin mabuk perjalanan buat Shankara?" bisik Hani. Bisa dirasakan oleh gadis berambut ikal itu bahu si lawan bicara agak terangkat sampai membuatnya menyingkirkan kepala dari sana.

"Bu-bukan," gagap Amaya. "Saya juga sedikit pusing sebenarnya." Amaya menggeser bokong menjauh dari Hani, lantas menutup layar ponsel ke dada.

Hani memicingkan mata, kemudian menggeleng beberapa kali. Dia menepuk pundak Juwita agar gadis itu pindah dari bahunya.

"Juwita, kayaknya, dia suka Shankara," ujar Hani masih dengan berbisik, takut pembicaraan para gadis akan didengar orang di belakang mereka.

Sambil memajukan bibir, Juwita menyentuh dagu dengan telunjuk. Dia memandang Amaya, lalu Shankara secara bergantian, sampai akhirnya berhenti lagi ke arah gadis berambut lurus yang terlihat masih memegang ponsel di depan dada.

Kenangan Bersama Hujan [Tamat]Onde histórias criam vida. Descubra agora