Bukan Aneh, Mungkin Unik?

128 20 25
                                    

Shankara mengedarkan pandangan ke penjuru kantin fakultas, mencari-cari meja yang ditempati oleh beberapa teman sejurusannya. Dia menggaruk tengkuk sambil terus meminum susu kotak rasa cokelat dalam genggaman.

"Shan!" Teriakan itu berhasil membuat atensi Shankara tertuju ke arah meja yang berada di ujung tempat itu.

Tampak seorang pemuda berkuncir mengenakan kemeja kotak-kotak hitam dan abu-abu melambaikan tangan, memberikan isyarat kepada si pemilik nama yang dipanggil untuk mendekat ke arah mejanya.

Shankara berjalan melewati beberapa mahasiswa lain, serta menyapa beberapa gadis yang tampak tersenyum geli sambil menatap pemuda itu.

"Sedikit tebar pesona dulu, enggak, sih," monolognya, bersamaan dengan bokong yang mendarat ke kursi yang berada di sebelah sang pemanggil.

"Najis banget dengarnya, mereka bukan senyum centil, Shan. Lihat aja, tuh, pipi kamu ada cokelatnya," komentar pemuda berkemeja kotak-kotak sambil menggosok tangannya di pipi si lawan bicara.

Meski sempat meringis, Shankara mencoba menjauhkan tangan sang teman agar tidak menyentuhnya lagi. "Bima, kamu enggak tau ternyata, pesona anak klub literasi itu sangat tinggi, bahkan melebihi gedung Monas. Kalo kata orang tua jaman dulu, pria puitis lebih dicintai dari si dia yang berbadan minimalis." Shankara menepuk pundak orang di sebelahnya.

"Jangan ngaco, deh! Muka kamu pas-pasan, di mana-mana juga orang pada tau kalo yang paling ganteng di angkatan kita itu Soleh. Selain wajahnya, sifat dia juga sangat terpuji." Kali ini pemuda berkacamata yang duduk di depan Shankara membuka suara sambil menyenggol orang di sebelahnya dengan siku.

"Aku enggak mau berkomentar apa-apa tentang opinimu itu, Dion." Orang yang dibicarakan hanya tersenyum tipis, tetapi bisa terlihat dimple di kedua pipinya, memberikan kesan manis dan lembut pada waktu bersamaan.

"Untung aku enggak tetanggaan sama kamu, ya, Leh. Bisa-bisa mamaku bandingin aku terus dengan kamu. Apalagi aura kamu itu sudah cukup menyilaukan mata sipitku ini." Bima memicingkan matanya, lalu mendesis pada akhir kalimatnya.

"Aku kadang iri sama kamu, Leh," ujar Shankara, kemudian menyeruput es jeruk milik Bima.

"Kalo gitu, Shan. Ayo, login."

Mendengar ucapan Soleh, Shankara tersedak hebat, dia menyemburkan apa yang ada di dalam mulut, berhasil membasahi seluruh wajah Dion yang duduk di depannya. "Teknik marketing yang bagus, Leh. Tapi, bukan itu maksud aku bilang iri tadi."

"Shan sialan." Dion melepaskan kacamata, kemudian sibuk membersihkan benda berharganya itu.

"Jadi maksud kamu itu apa?" kata Soleh sambil memberikan sapu tangan dari saku kemeja yang dikenakan ke orang di sebelahnya. "Pake ini buat di muka," imbuhnya, tetapi menghadap ke arah Dion.

"Aku pikir, kamu enggak ada celah sama sekali. Maksudku, kamu ganteng dan mulus gitu, sampe kaya bening banget gitu, loh!" Shankara hendak mencomot tahu goreng yang ada di piring Bima. Namun, sang pemilik lebih dulu memukul pergelangan pemuda berambut hitam itu.

"Jangan serakah. Manusia, tapi tingkah ngalahin setan," sarkas Bima, kemudian menatap tajam Shankara yang terlihat tidak peduli sama sekali.

"Rahasianya apa, tuh, Leh?" tambah Shankara lagi.

"Air wudhu," jawab Soleh mantap, kemudian menarik sudut bibir ke atas.

"Wah, aku sampe bingung mau bilang apa kalo begini. Soleh ini lama-lama kayak cowok pick me, ya? Untung cakep." Kali ini Bima berkomentar.

"Aku juga wudhu, tapi enggak sebening kamu, tuh." Dion menimpali.

"Mungkin niat kamu salah," sahut Shankara dengan telunjuk kanan ke atas.

Kenangan Bersama Hujan [Tamat]Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt