Benci Hujan

50 17 6
                                    

Shankara duduk di karpet bulu hitam ruang tamu Amaya yang terletak di lantai dua gedung kedai ayam goreng milik Anna. Dia menarik daster bermotif kepala beruang dengan sedikit paksa, ukuran yang seharusnya sampai betis wanita dewasa, tetapi hanya bisa di bawah lutut jika pemuda itu yang mengenakannya.

"Baju ini enggak buruk juga," gumam Shankara, lantas menyantap jeruk di atas meja kayu di hadapannya.

Sambil terus menonton televisi, Shankara menggoyangkan kaki yang diluruskan dengan terus memasukkan camilan yang dihidangkan oleh Anna beberapa saat lalu ke mulut.

Suara ringisan kecil keluar dari bibir sedikit maju milik pemuda tersebut karena mendengar berita terkini tentang perampokan yang belakangan sering terjadi. Dia melirik sedikit ke atas, tepat ke arah Amaya yang duduk di atas sofa, gadis itu mengupas jeruk seraya ikut menonton televisi.

"Kamu masih sedih?" Shankara bertanya, kemudian mengusap handuk putih kecil yang ada di kepalanya.

"Kamu keliatan nyaman pake daster itu." Bukannya menjawab, Amaya malah melontarkan kalimat tersebut dengan nada meledek.

"Ini buat semua badan aku jadi hangat, lengannya lumayan panjang, dan terpenting bawahnya enggak bikin gerah." Shankara berkomentar dengan telunjuk menunjuk ke pakaian yang dikenakannya.

"Aneh," celetuk Amaya, membalas pandangan Shankara, kemudian melempar kepala si lawan bicara dengan kulit jeruk.

"Ah!" Shankara memajukan bibir usai merintih sebentar, memilih untuk mengalihkan tatapan dari Amaya, lalu kembali menatap layar kaca di depan yang sudah menayangan sinetron religi.

Shankara melirik sedikit ke kiri atas, melihat Amaya yang tampak mengerutkan kening, terlihat fokus dengan tontonan di televisi. Dia membanting punggung, membetulkan posisi duduk dengan menyilangkan kedua kaki, kemudian bersandar, lantas menutup mata ketika leher mencapai sofa. Tanpa aba-aba, semua ingatan beberapa saat lalu pun berputar di dalam kepala pemuda berambut legam itu.

Shankara memegang kedua sisi wajah Amaya, mengusap pelan pipi tirus gadis berambut lurus, kemudian menatap kedua mata bulat nan cantik yang saat ini sudah mulai berhenti menangis.

"Aku enggak tau apa yang udah terjadi sama kamu, Amaya. Tapi, apa pun itu, aku minta maaf buat semua yang udah kamu alami selama ini." Shankara menjauhkan tangan, mundur satu langkah, membuat jarak dengan Amaya, membiarkan hujan menghalangi sedikit temu pandang yang terjadi di antara mereka.

Meski bahu masih sedikit naik dan turun, Amaya mencoba fokus menatap sosok tinggi dengan rambut yang berantakan itu. Dia mengulum sedikit bibir bawah, lantas menengadah. Amaya tertawa hambar, lalu menutup kedua mata dengan sebelah tangan.

"Di antara semua manusia yang saya jumpai, kenapa harus kamu yang lihat sisi saya yang begini, Shan?" Amaya menurunkan tangan, membiarkan hujan terus menghantam wajah putih yang sudah tidak berpoleskan riasan sedikit pun tersebut. "Dan, kenapa harus di saat hujan juga."

Shankara mengikuti arah pandangan Amaya, lantas melihat sosok mungil yang tampak menutup matanya saat ini. "Kamu benci itu?" tanyanya, membuat si lawan bicara membalas tatapan.

"Kamu atau hujan?" Amaya balik bertanya.

"Dua-duanya. Kamu benci?"

"Saya enggak benci kamu, Shan. Kamu terlalu baik buat saya benci meski kamu enggak begitu pintar."

"Jadi enggak terlalu pintar itu enggak berdosa," sanggah Shankara seraya menaikkan kedua bahu.

"Tapi, saya benci hujan." Tampak kedua alis Amaya turun perlahan, menyiratkan sendu bagi Shankara yang sejak tadi fokus menatapnya.

"Kenapa?" Shankara menaikkan sebelah tangan, merasakan tetesan hujan yang turun dan mengenai telapak besar itu.

"Dulu, saya ingat gimana tante ke rumah sakit cuma untuk jemput saya hari itu. Dia bahkan sampai lupa pakai sandal lain sebelah. Kakinya juga keliatan luka. Tapi, waktu saya sadar dia enggak mengeluh tentang apa pun. Dia cuma bilang, 'Amaya, di luar hujan, maaf karena terlambat untuk datang.'" Amaya menunduk sebentar, lantas melihat lagi si lawan bicara.

"Saya pikir, hujan itu jahat, dia menyakiti dan turun seenaknya. Buat orang lain sering kerepotan, contohnya seperti jemuran Tante Anna yang enggak kering kalo hujan turun, pelanggan kedai ayam goreng kami enggak ramai. Mau pergi buat antar pesanan juga susah. Banyak yang saya benci dari hujan," ujar Amaya, kemudian mengalihkan pandangan ke belakang kala mendengar seseorang berlari mendekat.

"Hujan itu musibah." Amaya mengangkat sebelah tangan ke arah wanita berbadan tambun yang tampak semakin mendekat dengan payung ungu yang dipakainya.

"Amaya!" Teriak Anna dengan melambaikan tangannya.

Amaya menoleh ke belakang sampai tubuh sedikit miring. "Sama seperti saya, Shan," tambahnya, lantas berlari menuju Anna yang sudah tampak terengah-engah dan berhenti mendekati sang keponakan.

Shankara menatap punggung mungil Amaya yang mulai menjauh, lalu menatap telapak tangan yang sejak tadi ditadah untuk merasakan sejuknya tetes hujan. "Bagi aku, hujan enggak seburuk itu, Amaya." Shankara menatap si pemilik nama yang terlihat beradu argumen dengan sang tante. "Sama seperti kamu," tambahnya, kemudian tanpa sadar menarik kedua sudut bibir ke atas.

Senggolan pada bahu menyadarkan Shankara dari lamunannya yang entah sudah berapa lama. Dia membuka mata cepat, kemudian langsung memelotot karena yang pertama kali pemuda itu lihat adalah wajah Amaya yang sangat dekat dengannya. Gadis tersebut duduk di depannya sekarang.

"Wajah kamu merah sekarang. Kamu demam?" tanya Amaya, lantas meletakkan tangan ke dahi si lawan bicara.

Shankara menepis lengan Amaya sampai gadis itu meringis. Dia segera menggeser bokong ke kanan, kemudian memandang Amaya dengan alis saling bertautan.

"Jangan pegang orang sembarangan gitu!" protesnya, lantas memegang ujung daster yang sempat tersingkap ke atas lutut.

"Saya kira kamu ketiduran. Saya cuma mau bangunin, mau usir kamu biar pulang." Amaya mengelus lengan yang tampak sedikit memerah akibat aksi penolakan dari lawan bicaranya itu.

"Saya enggak ada baju cowok, kamu pake aja daster itu untuk pulang—"

"Shan bisa nginap di sini kalo dia mau."

Perkataan Amaya terhenti ketika Anna masuk ke ruang tamu dengan membawa tiga gelas teh hangat di atas nampan dalam genggamannya. Wanita berbadan gemuk itu tersenyum manis ke arah sang tamu, lantas menatap Amaya dengan memicingkan mata.

"Kita enggak ada kamar lebih, Tante," sanggah Amaya. Tampak dahi gadis itu berkerut cukup dalam

"Shankara bisa tidur di kamar kamu. Kamu bisa tidur sama Tante. Enggak mungkin suruh Shankara pulang di jam malam begini, belakangan juga ada penjahat perampokan yang belum ditangkap. Tante enggak mau Shankara kenapa-kenapa. Ada baiknya, dia nginap untuk malam ini." Anna memberikan penjelasan dengan cukup santai, bahkan bisa menyusun ketiga gelas di atas meja tanpa merasa terbebani oleh penolakan Amaya.

"Gimana, Shan? Kamu mau nginap di sini?" tambahnya sambil menatap ke arah Shankara yang berada di depan Anna—jarak mereka dipisahkan oleh meja ruang tamu saja.

"Tapi, Tante, kita enggak bisa kasih orang asing—"

"Aku mana bisa nolak, apalagi di sini banyak makanan yang enak." Shankara mengatakan kalimat itu cepat, bahkan tidak peduli jika sebelumnya Amaya sedang menyampaikan opini. Dia tersenyum lebar melihat Anna, kemudian mengambil gelas di meja. "Terima kasih banyak untuk tehnya, Tante."

"Sama-sama, Shan. Anggap aja rumah sendiri," balas Anna seraya makin melebarkan senyum.

Amaya menghela napas berat, menggeleng, kemudian memijat dahi dengan telunjuk dan ibu jari. "Amaya ganti sprei dan sarung bantal dulu," ucapnya, lantas pergi dari sana.


.
.
Amaya : halo semuanya! hari ini saya gantikan author untuk kasih kalimat penutup. 🙂

Shankara : hai! Aku juga ikutan, nih! Soalnya lagi di rumah Amaya, hehe.😆

Amaya dan Shankara : terima kasih banyak karena sudah baca cerita kami.

Amaya : jangan lupa vote

Shankara : komen dan sharenya juga yaaa teman-teman 😁
.
.

Kenangan Bersama Hujan [Tamat]Where stories live. Discover now