Kamu Tetap Suka Aku Enggak?

42 14 1
                                    

Amaya menunduk dengan terus memegang kedua pipi yang terasa panas, lalu sesekali melirik orang yang berjalan di sebelahnya. Saat tiba di depan pintu kamar, dia berhenti, memutar posisi tubuh untuk berhadapan langsung dengan Shankara. Perlahan, gadis itu menengadah, menatap wajah pemuda berambut legam tersebut, kemudian mengalihkan tatapan lagi.

"Kamu malu?" tanya Shankara, terdengar suara tawa kecil darinya.

"Hm, ini pertama kali buat saya," jawab Amaya, lantas menurunkan tangan dari pipi dan melihat si lawan bicara.

Shankara meraih pelan jari Amaya—hanya telunjuk, kemudian berubah menjadi genggaman yang hangat yang menjalar ke seluruh tubuh si subjek yang disentuh. "Enggak apa-apa, ini juga yang pertama buat aku," tuturnya dengan agak tersenyum canggung.

"Setelah begini, apa kita pacaran sekarang?" tanya Amaya seraya membalas genggaman di tangan kirinya.

"Iya, bisa dibilang gitu. Apa kamu keberatan?"

"En-enggak! Sama sekali enggak. Saya cuma merasa agak aneh." Amaya terkikik di akhir kalimatnya.

"Yah ... aku juga gitu. Mohon bimbingan untuk kedepannya, semoga kita tetap akur, ya." Shankara tersenyum, tangan yang bebas mengelus sebelah pipi Amaya meski jemari masih dingin karena hawa sejuk hujan yang mereka lihat beberapa waktu lalu.

Amaya memegang punggung tangan Shankara yang ada di pipi, mengusap pelan dengan ibu jari, kemudian membawa turun dengan menggenggam jari-jari yang lebih besar itu. "Saya juga, mohon arahan untuk hubungan kita kedepannya nanti, ya," ucapnya seraya menunduk—memandang tautan kedua tangan di sana.

"Kamu senang?" tanya Amaya, kemudian menengadah, melihat Shankara yang masih mengukir senyum indah itu.

"Sangat."

"Saya juga." Amaya membalas senyum, membuat dua lesung pipi di bawah sisi kiri dan kanan bibir cantiknya terlihat jelas.

***
Suara dering telfon membuat Amaya mengerutkan dahi. Dia meraba samping tubuh sambil mata terus tertutup. Saat sudah merasa berhasil meraih benda pipih pintarnya, gadis berambut lurus itu duduk, melihat layar, kemudian menggeser ikon hijau tanpa membaca lebih dulu nama yang tertera di sana.

"Halo."

Suara berat di seberang terdengar. Amaya segera membuka mata lebih lebar, bahkan bisa dikatakan memelotot. Dia menarik lagi ponsel, membaca nama di sana, ternyata Shankara yang sudah menganggu tidurnya yang masih beberapa jam saja.

"Kamu enggak jawab, belum bangun, ya?" Shankara berkata lagi di ujung sana.

Amaya berdeham beberapa kali, menghilangkan suara khas bangun tidur yang agak serak, kemudian mencoba beberapa kali mengucapkan, "A ... A ...." secara pelan.

"Amaya?"

"Iya, saya udah bangun, kok. Kamu sendiri kenapa telepon pagi-pagi begini?" Amaya mengucek mata yang terasa gatal.

"Ayo, keluar sebentar sama aku! Lihat matahari terbit di tepi sungai belakang rumah nenek. Pagi kemarin aku sempat lihat dan cantik banget."

"Ini masih setengah lima pagi," ujar Amaya dengan intonasi malas.

"Ah, iya, sih. Kalo kamu enggak mau, enggak apa-apa."

"Enggak gitu, saya mau, kok. Tapi, sebentar, ya. Tunggu sepuluh menit, saya belum siap-siap. Saya enggak mau kelihatan jelek di depan kamu, padahal ini bisa dibilang sebagai kencan pertama kita." Amaya menggigit bibir bawahnya, satu tangan sudah beralih ke pipi karena merasa panas mulai menjalar ke sana.

Tawa kecil Shankara terdengar jelas di seberang. "Jangan khawatir, kamu di mataku cantik, selalu cantik." Lalu, hening sejenak. "Kalo kamu mau siap-siap dulu, jangan terlalu lama, ya."

Kenangan Bersama Hujan [Tamat]Waar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu