Posesif

53 13 0
                                    

Suara PlayStation terdengar memenuhi kamar Bima, tampak di sofa panjang di depan ranjang terisi oleh Soleh dan Dion yang sibuk bermain gim sepak bola. Sesekali, terdengar umpatan dari pemuda berkacamata di sana kala gagal mencetak gol, tentu saja orang di sebelahnya dengan spontan mengucapkan istighfar untuk sahabat bermulut kasarnya tersebut.

Bima menggeleng ketika mata beralih ke orang yang telungkup di kasur—sebelah tempatnya duduk. Terlihat Shankara yang sejak tadi melihat ponsel, mungkin jika dihitung, sudah hampir setengah jam hanya dengan menatap profil sosial milik Amaya.

"Kamu telfon kalo rindu," ujar Bima, lantas membalik lagi komik di atas pangkuan.

"Enggak, dia pasti marah kalo aku hubungi dia kalo lagi waktunya kerja di toserba." Shankara memutar posisi tubuh menjadi terlentang.

"Kamu tau, kamu punya hak untuk bertanya."

"Tapi, aku udah tanya, Bima." Shankara menunjukkan layar ponselnya lebih dekat, meletakkan ke atas barang yang dibaca oleh si lawan bicaranya itu.

"Kamu kirim berpuluh-puluh chat?" Bima menaikkan intonasi. "Gila, kalo gini aku juga bakal terganggu. Mana isinya cuma panggil nama dia dan tanya hal-hal yang enggak penting."

"Emangnya enggak boleh? Amaya enggak pernah bilang apa-apa kalo itu menganggu, dia cuma larang aku buat telfon karena takut dimarahi sama bosnya," ungkap Shankara, lantas membetulkan posisi tubuh supaya duduk.

Bima menatap sang sahabat berambut legamnya, sedikit memicingkan mata dengan bibir atas agak berkerut, membuat ekspresi jijik sampai akhirnya helaan napas pun keluar dari mulut.

"Kamu bahkan tanya pelanggan cowok ada berapa ke dia di pesan ini, Shan. Kamu udah gila?" Bima menghakimi dengan menunjuk layar ponsel di depan wajah Shankara. "Lihat! Kalian udah pacaran hampir empat bulan, tapi kamu terlalu posesif ke dia. Apa kamu enggak berpikir begitu?"

"Tapi, Amaya enggak pernah bilang apa-apa tentang ini! Lagi pula, aku punya hak sebagai pacarnya untuk tau!" Shankara tidak kalah meninggikan suara.

Karena mendengar perseteruan yang terjadi di belakang, Dion dan Soleh menghentikan permainan pada layar televisi LED di depan sana. Mereka menoleh bersamaan dengan melihat kedua lengan bertumpu ke sandaran sofa, mendapati Shankara dan Bima yang saling tatap dengan pandangan yang bisa mereka simpulkan sedikit tajam.

Soleh menyenggol Dion dengan siku, memberi kode menggunakan isyarat mata supaya pemuda berkacamata itu masuk ke dalam perbincangan yang terjadi di antara kedua sahabat mereka di sana.

"Kalian kenapa tiba-tiba ribut?" teriak Dion, lalu meletakkan dagu ke atas punggung tangan.

"Jangan marah-marah nanti cepat keriput kayak kulit jeruk purut," tambah Soleh, tetapi dengan suara yang sedikit lebih pelan.

Bima mengacak rambut gondrong tidak terikatnya, mengarahkan telunjuk ke Shankara, kemudian berujar, "Ni anak enggak percaya banget sama pacar sendiri. Aku yang lihat jadi kesel, padahal Amaya kerja paruh waktu, tapi dia malah kirim pesan begini!"

Setelah menunjukkan layar ponsel Shankara ke depan, Bima menggulir layar ke atas, memperlihatkan banyak bubble chat yang berisi pesan-pesan tidak berguna dari pemuda berambut legam kepada sang kekasih.

"Itu bukan urusan kalian!" Shankara meraih lagi ponsel miliknya dengan kasar.

"Shan benar," timpal Dion. "Itu bukan urusan kita, Bim."

"Tapi—"

"Kita enggak punya hak untuk nilai gaya pacaran mereka itu." Soleh menambahkan.

"Bukan gitu." Bima menutup mata rapat bersamaan dada sedikit membusung kala menuang karbondioksida. "Hubungan tanpa landasan saling percaya itu enggak akan bertahan lama."

Kenangan Bersama Hujan [Tamat]Where stories live. Discover now