Hujan dan Luka

42 12 0
                                    

Di dalam taksi, Anna tidak berhenti menatap sang keponakan yang hanya memandangnya ke jalanan dari jendela sisi kirinya. Wanita bertubuh tambun itu mengerutkan kening, merasa cukup bingung dengan sikap Amaya saat ini.

Beberapa menit lalu ketika Anna dan sang keponakan baru tiba di rumah sakit, Amaya lebih dulu berlari ke bangunan bercat putih itu dan pergi ke ruang unit gawat darurat. Namun, entah apa yang terjadi di dalam sana, wanita pemilik kedai ayam goreng tersebut cukup heran mendapati Amaya yang memasang raut tidak bisa dibaca kala keluar lagi dari ruangan tersebut.

"Ayo, kita pulang, Tante."

Helaan napas terdengar cukup jelas dari Anna kala mengingat lagi apa yang dikatakan Amaya sampai akhirnya mereka kembali memesan taksi untuk pulang—seperti sekarang ini.

Berbeda dengan Anna, Amaya bahkan tidak peduli dengan apa yang ada di sekitarnya kini. Melihat jalanan? Tidak, dia hanya menatap kosong tanpa arah tujuan yang benar ke objek apa pun yang dilaluinya. Gadis berlesung pipi itu menutup mata perlahan usai meletakkan siku ke jendela dengan menumpang dagu menggunakan sebelah tangan. Seperti setiap lampu jalan yang dilewati menghipnotisnya, Amaya kembali mengingat apa yang terjadi beberapa waktu lalu, tepat saat ia berdiri tidak begitu jauh dari pintu ruangan tempat Shankara dirawat.

"Semua terjadi karena dia ngotot untuk mau ke rumah Amaya malam-malam begini. Seharusnya dia enggak sampe kayak gini kalo Amaya yang datang langsung untuk temuin dia supaya baikan. Lagi pula, mereka berantem juga karena salah Amaya yang ikutan bohong kayak Bima." Suara Dion mendominasi koridor.

"Kamu tau sendiri dia cukup keras kepala. Kamu enggak boleh ngomong gitu. Kasian Bima kalo balik-balik setelah urus administrasi malah dengar kamu nyalahin dia kayak gini," sahut Soleh sambil menatap orang yang masih belum sadarkan diri karena obat bius yang diberikan dokter di sana.

Amaya memegang ujung baju kaus lengan panjang yang dikenakan kala mendengar kalimat yang dilontarkan Dion. Dia sudah berniat untuk mendatangi tirai di sana, tetapi langkahnya terhenti karena menatap dua punggung lelaki di sana yang masih saling berbicara mengenai kondisi Shankara setelah mendapatkan pertolongan tersebut.

Seraya menggigit bibir, Amaya mundur. Dia berbalik, hendak pergi, tetapi tanpa sengaja menabrak tubuh Bima yang baru saja datang dari belakangnya.

"Kamu udah lihat, Shan?" Bima mengusap dagu yang terasa agak nyeri karena bertabrakan dengan kepala si lawan bicara.

"Saya harus pergi sekarang."

"Kamu mau ke mana? Shan belum bangun, jangan pergi dulu," kata Bima memegang pergelangan tangan Amaya.

Setelah berusaha beberapa kali, akhirnya Amaya berhasil melepaskan genggaman Bima dari tangan ramping itu. Dia menjilat bibir sedikit. "Maaf, Bima. Saya enggak seharusnya di sini," ujarnya, lantas pergi dari sana, meninggalkan Bima yang masih memandang penuh tanya ke punggung mungil tersebut

Karena tepukan di bahu, Amaya agak tersentak, semua lamunan pun buyar kala mata membuka dengan cepat secara bersamaan. Dia menoleh, menjauhkan tangan dari sisi kiri wajah, lalu memandang Anna yang duduk di kanannya dengan berkedip beberapa kali.

"Ayo, turun."

***
Semua orang berpakaian serba hitam mulai masuk ke rumah putih megah dengan bangunan penuh interior mahal yang menjadi tempat duka kala itu. Tampak seorang gadis remaja berusia tanggung tengah duduk bersebelahan dengan wanita bertubuh agak berisi di sana.

Gadis dengan rambut dikepang satu tersebut menunduk, menatap kosong ubin hitam yang kala itu terasa cukup dingin karena hujan yang juga turun cukup deras dan baru reda beberapa menit lalu. Dia mengangkat kepala ketika menatap sepasang kaki yang berbalut kaus kaki putih di depannya.

Saat menengadah, gadis itu memandang sayu sosok wanita yang berumur hampir tujuh puluh tahun di sana. Dia menyentuh dahi yang masih terbalut oleh perban, lalu berdiri, sedikit membungkuk untuk memberi hormat kepada orang yang lebih tua tersebut.

"Kamu! Karena kamu Arya mati! Arya anakku satu-satunya!" 

Jari telunjuk yang berkeriput itu mengarah ke sosok gadis berwajah sembab. Wanita tua berpakaian terusab hitam tersebut memegang kedua bahu gadis di depannya, mengguncang kuat, sampai-sampai sang pemilik meringis tertahan.

"Kamu anak bawa sial! Coba aja dulu Arya enggak keras kepala waktu saya minta dia untuk gugurin kamu dari kandungan wanita jalang itu! Pasti dia enggak akan berakhir kayak gini!"

Semua orang yang ada di sana saling berbisik karena kekacauan yang terjadi. Meski pria berkacamata dengan rambut setengah botak yang berada di sebelah wanita tua sibuk mencoba melepaskan tangan sang istri dari gadis remaja di sana, tetapi kericuhan tidak kunjung usai.

"Bu! Tolong jangan begini!" Suara wanita bertubuh agak berisi yang sedari tadi duduk di sebelah gadis remaja kini berdiri. Dia mendorong agak kuat bahu wanita tua dan berhasil melepaskan sang keponakan dari cengkeraman kuat itu.

"Amaya enggak salah untuk semua hal yang udah terjadi! Semua ini bisa berakhir begini karena ulah Mas Arya sendiri! Dia yang menghamili kakak saya dan berusaha bertanggung jawab dengan menikahi Kak Jeha. Tapi, apa! Setelah menikah dia bahkan enggak bisa menjadi ayah maupun suami yang bertanggung jawab!"

"Anna, tutup mulut kamu! Kalian sama saja, enggak adik atau kakak, sama-sama enggak berpendidikan!" Teriakan dari wanita tua di depan sana menggema.

"Apa salah saya? Kenapa saya harus diam? Ibu malu karena semua orang di sini akan tau tentang masalah ini? Seharusnya ibu sadar, bahkan Pak Ganjar juga tahu bahwa anak semata wayangnya itu salah." Anna memandang pria yang tengah memegang kedua bahu istrinya tersebut.

Berbeda dengan semua orang yang sibuk melempar argumen, Amaya hanya terdiam. Dia melihat sekeliling yang cuma ada orang-orang tidak dikenali tengah melemparkan tatapan penuh iba ke arahnya, beberapa dari mereka juga tampak saling bergunjing tanpa ada yang ingin melerai kekacauan yang tengah terjadi saat ini.

"Amaya, enggak seharusnya kita datang ke sini. Ayo, kita pergi!" Anna memegang tangan sang keponakan, kemudian menarik perlahan, lantas pergi menjauh dari sana.

"Kamu anak bawa sial! Kamu seharusnya enggak pernah ada di muka bumi ini!"

Amaya tidak ingat apa pun lagi setelahnya, kecuali kalimat barusan—yang terdengar cukup jelas kala dia berbalik dan memandang wanita tua yang merupakan neneknya tersebut sebelum dia keluar dari rumah megah itu.

Suara dering ponsel di meja belajar membuat Amaya tersadar dari masa lalu yang cukup mengerikan. Dia mengusap wajah kasar, sampai akhirnya mengambil benda pipih pintar seraya memijat kening dengan tangan yang bebas.

"Ya, halo?" ucap Amaya setelah menjawab panggilan jarak jauh tersebut.

"Amaya, kamu enggak ke rumah sakit? Shankara udah sadar sejak malam tadi. Nomor kamu terus enggak aktif semalam, jadi aku telfon kamu lagi sore ini."

Amaya mengeratkan genggaman pada ponsel, mengulum bibir, lalu menjawab, "Oh, ya, Bima. Terima kasih udah kabari saya. Saya masih agak sibuk, mungkin nanti saya akan jenguk Shankara."

"Oke, Amaya."

"Kalo gitu saya tutup dulu."

Setelah panggilan terputus, Amaya memandang layar ponsel. Dia meletakkan benda itu lagi ke atas meja, lalu pandangan beralih ke boneka yang berada tidak jauh dari lampu belajar yang berada di sebelah jendela.

Saya seharusnya tetap jadi seperti landak.


.
Hujan dan Luka judul chapternya tapi sama sekali enggak hujan 😊 ini sebenernya bentuk dari Amaya adalah Hujan itu sendiri hehe 😗
.
Btw makasih banyak loh udh mau baca cerita ini, aku harap kalian tetap senang dan bahagia setiap membaca tiap deret kalimat yang aku tulis ini 🤗
.
Semoga kalian tetap bahagia dan banyak hal baik menghampiri yaaa. Jangan lupa untuk vote dan bagikan cerita ini ke semua sosmed kalian gaes 🥺♥️

Kenangan Bersama Hujan [Tamat]Où les histoires vivent. Découvrez maintenant