Hari Pertama

115 18 16
                                    

Shankara berdiri tidak jauh dari pintu masuk kedai ayam goreng yang didatangi beberapa menit lalu. Dia melihat ke seluruh penjuru ruangan, masih sepi, mungkin karena jam masih menunjukkan pukul tujuh pagi, pikirnya. Pemuda tinggi itu kembali mengamati sekeliling, tampak dua kursi yang saling berhadapan di antara meja bundar yang hanya berjumlah enam buah. Pada bagian ujung tempat, tepat ke arah meja yang menghadap ke dinding kaca, membuat pandangan pelanggan bisa langsung menatap ke luar kedai, terdapat sebuah meja panjang dengan delapan kursi yang berjejer.

Seraya mengangguk pelan, Shankara berjalan perlahan, ingin melihat-lihat lebih jauh kedai yang dimiliki oleh teman satu jurusannya itu. Dia mengangkat kaki sedikit lebih tinggi kala melihat sapu yang tergeletak asal di sebelah meja pelanggan, usaha agar tidak menginjak benda yang terbuat dari plastik itu.

Karena merasa tertarik dengan hiasan yang ada pada tengah di setiap meja, Shankara mengambil bunga kecil imitasi yang berada di dalam pot kecil tersebut. "Dari sekian banyak bunga, kenapa harus kaktus?" gumamnya, lalu kembali meletakkan benda itu.

Suara derap kaki memburu menuruni tangga yang berada di sebelah meja kasir membuat Shankara mengalihkan atensi. Pandangan pemuda itu berpindah ke sisi kanan dari tempatnya berdiri. Tampak seorang gadis dengan rambut yang dikuncir berantakan, mengenakan kaus polos hitam yang masih terengah-engah.

"Kamu kirim pesan ke aku semalam buat ke sini pagi-pagi karena hari pertama mulai belajar bareng, tapi kamu sendiri malah kesiangan. Konyol banget," kritik Shankara, kemudian memasukkan kedua tangan ke saku hoodie biru yang dikenakannya. Dia memutar tubuh sedikit, berhadapan langsung dengan si lawan bicara yang berjarak beberapa langkah di depannya.

Amaya meringis kecil sambil menutup mata, menunduk sejenak, kemudian kembali menatap Shankara yang memandangnya dengan wajah yang dihiasi seringaian licik penuh ejekan.

"Bukan saya yang kesiangan, tapi kamu yang terlalu pagi ke sini!" Amaya mengelap peluh yang membasahi dahi yang tertutup poni tipisnya.

"Kata orang tua, pamali anak gadis bangun lewat jam enam, nanti dapat suami berbulu lebat kayak kucing anggora."

Terlihat Amaya sedikit mengulum bibir bawahnya, tampak jelas tangan mungil itu mengepal erat di sisi tubuh. "Kamu terlalu banyak baca primbon, Shan," sarkasnya, lalu mendecih di akhir kalimat.

"Jangan nuduh orang begitu. Kamu sendiri kenapa enggak bangun sebelum aku datang? Pasti semalam kamu begadang buat nonton film dewasa, kan? Aku pernah dengar, orang yang terlihat pintar sebenarnya menyimpan sisi gelap cukup dalam." Seakan tidak mau kalah, Shankara semakin mengoceh seraya memicingkan mata dan memajukan kepala dengan sedikit menggeleng pelan, membuat gestur yang semakin menyebalkan di mata si lawan bicara.

Kalo dihina sama orang biasa itu rasanya enggak nyebelin, tapi kenapa kalo sama yang modelannya kayak Shankara ini rasanya pengen tarik bibir bebeknya itu sampe lepas, ya! Amaya membatin penuh dengan amarah.

Amaya mengeluarkan napas dari mulut, bersamaan dengan bahu mungil itu yang naik dan turun pada detik selanjutnya. "Shan," panggil gadis tersebut dan membuat di lawan bicara kembali menarik kepala ke posisi normal.

Shankara memelotot ketika melihat wajah memerah Amaya, ditambah gadis itu yang sekarang sudah mengangkat kepalan tangan dan berlari mendekat ke arahnya.

"Kamu benar-benar buat kesabaran saya habis!" teriak Amaya penuh emosi.

Karena merasa terpojok, Shankara secara spontan mengambil lagi bunga kaktus kecil imitasi yang menjadi hiasan di meja pelanggan, kemudian berkata, "Aku bisa pukul diri sendiri pake ini, Amaya! Kamu enggak perlu repot—"

"Akkkkh!"

Belum sempat Shankara menyelesaikan kalimatnya, dia sudah lebih dulu menjerit kesakitan karena Amaya menabrak tubuh tinggi itu hingga terjatuh dengan kepala langsung menyentuh lantai tanpa alas apa pun, bersamaan dengan pot bunga kecil yang terlempar begitu saja. Shankara hendak bangun dengan sedikit menggerakkan tubuhnya, berusaha agar tangan bisa meraba bagian bawah kepala yang terasa sakit. Namun, pergerakan itu terhenti karena merasakan sesuatu yang aneh pada perut bagian atas.

Berbeda dengan Shankara, Amaya saat ini masih meringis sebab merasakan perih luar biasa ketika kaki tidak sengaja terpeleset karena saat berlari, dia menginjak gagang sapu yang tergeletak asal di sana. Gadis itu memelotot ketika suara yang begitu jelas masuk ke telinga, tepat berada di tempat wajahnya mendarat saat ini, yaitu dada milik Shankara. Dia segera bangun dan duduk ke sisi kanan tubuh si teman jurusan.

"A-Amaya, kamu semalam beneran nonton film porno, ya?" tanya Shankara seraya menggerakkan tangan yang agak bergetar untuk menumpu tubuh ke lantas agar bisa duduk.

"Kamu beneran mikir saya orang yang kayak gitu?" Amaya balik bertanya, terlihat jelas kerut mulai muncul di kening gadis itu.

Shankara agak berdeham, seketika tenggorokannya terasa gatal sekarang. Dia mengangkat telunjuk kanan dengan mengarah ke arah dada Amaya, kemudian kembali menjauhkan tangan, lantas berkata, "Se-Sebenernya, aku cuma bercanda tadi. Ta-Tapi, kamu bikin aku salah paham dengan berkeliaran kayak gitu."

"Salah paham gimana maksudnya?"

"Aku tau ini masih wilayah kekuasaan kamu, ta-tapi juga harus memikirkan orang di sekitar, Amaya." Shankara menutup wajah dengan kedua tangan setelah mengatakan kalimat tersebut, dapat dilihat si lawan bicara telinga pemuda itu sangat merah.

"Amaya!"

Teriakan seseorang membuat Amaya mengalihkan perhatiannya ke depan, pada tangga lantai dua yang berada di sebelah meja kasir. Dia membuka mulut sedikit dengan dahi semakin berkerut dalam kala sang tante memberikan gerakan isyarat dengan dua cangkir biru yang dipegang, lalu meletakkannya ke arah dada sendiri.

"Ha! Tante ngomong apa? Amaya enggak ngerti." Amaya menggeleng beberapa kali.

Tampak sang tante berdecak kesal, kemudian wanita paruh baya berbadan tambun itu berkata, "Buah ceri belum dibungkus sama plastiknya." Lalu, tante Amaya itu pun pergi menjauh dengan berjalan menuju dapur yang berada di balik tirai belakang meja kasir.

Amaya memajukan bibir sedikit, kemudian pada detik selanjutnya, tampak mata bulat gadis itu semakin terbuka lebar bersamaan dengan mulut yang melongo. Dia mematung sejenak, lantas melihat ke arah orang yang masih menutup wajah di sebelah kirinya.

"Oi, Shan." Amaya memanggil tanpa menatap sang lawan bicara.

"Hm," sahut si pemilik nama, kemudian menoleh dengan mata di antara jari tangan yang sengaja dibuat meregang agar bisa melihat ke arah si pemanggil.

"Jangan ceritain ke siapa pun tentang ini," ucap Amaya datar, tetapi terlihat jelas pipi putih itu merona hebat.

"Tentang ukuran yang kecil?" tanya Shankara yang membuat si lawan bicara meringis pelan.

"Bukan, bodoh!" Amaya memukul belakang kepala Shankara sampai pemuda itu merintih. "Tapi tentang kamu yang ketemu saya dengan keadaan yang begini," tambah gadis tersebut, lalu kembali diam.

"O-oke."

"Lupain yang udah terjadi pagi ini," ucap Amaya dengan menyilangkan kedua tangan di depan dada.

"I-iya. Bisa-bisanya di jaman modern begini masih ada yang enggak pake dalaman," komentar Shankara, lalu mengulum bibirnya.

"Bukan enggak pake, goblok. Tapi lebih sehat kalo tidur enggak pake. Hadeh ... buat apa juga saya jelasin ini ke kamu." Amaya berdiri, kemudian berjalan menjauh dari sana.

"Sapu sialan," gumamnya saat melewati benda yang berhasil membuat kakinya terasa nyeri itu. "Saya bersih-bersih dulu, kamu bisa pilih meja manapun buat belajar nanti. Tentang taruhan yang saya bilang di-chat  malam tadi bakal saya penuhi karena saya yang kalah."

Kemudian, gadis itu pergi begitu saja, meninggalkan Shankara yang  tengah memegang dadanya dengan sebelah tangan.

Halo semuanya!! Saya harap kalian akan suka dengan bagian kedua dari cerita ini 🤗
Jangan lupa, vote, komen, dan sharenya yaa manteman 😗

Terima kasih banyak sudah membaca hingga akhir ♥️


Kenangan Bersama Hujan [Tamat]Where stories live. Discover now