Percakapan dengan Hujan

49 15 0
                                    

Amaya meminum soda kaleng seraya berdiri di depan toko serba ada tempatnya bekerja. Dia sedikit mengangkat kepala kala kemasan di tangan sudah kosong, melihat hujan yang masih turun dengan cukup deras, bahkan berhasil membuat gadis itu mundur untuk tidak terkena cipratan.

Sambil memicingkan mata ke arah tong sampah yang berada tidak jauh dari tempatnya berdiri, Amaya mengayunkan tangan layaknya atlet basket yang ingin melakukan tembakan. Namun, baru saja saat dia hendak menjalankan aksi membuang kaleng minuman dengan gaya, Shankara sudah lebih dulu berdiri menghadangnya. Entah bagaimana pemuda berkaus lengan panjang biru muda itu berada di sana.

"Kamu ngapain!" pekik Amaya, lantas mengambil langkah mundur.

"Aku baru balik dari warnet yang ada di sebelah toko ini. Kamu sendiri ngapain pake gaya begituan cuma buat buang kaleng?" sahut Shankara seraya menurunkan ransel kulit yang dijadikannya payung beberapa saat lalu.

"Saya cuma bosan." Amaya melempar asal kaleng di tangan, kemudian memegang pipi yang terasa memanas. Dia tidak pernah bertingkah bodoh di depan orang lain, tetapi bagaimana bisa di antara semua manusia di muka bumi ini, malah Shankara lah yang melihat sisi buruknya tersebut.

Shankara menepuk-nepuk pundak bajunya yang agak basah, kemudian beralih melihat ke ujung celana longgar hitam yang dikenakan yang tampak agak kotor. Dia meringis kecil ketika mata mengarah ke sepatu putih yang dikenakan, benda itu sudah berganti warna jadi sedikit kecokelatan sekarang.

"Kasihan," gumam Amaya dengan sedikit menutup mulut dengan tangan kanan.

"Sialan, meski udah temenan tetap saja rese ni cewek satu." Shankara memandang tajam orang di sampingnya, kemudian kembali mengenakan ransel ke punggungnya.

Amaya tertawa kecil, lalu meraih lengan baju Shankara, lantas menariknya sedikit agar mundur dan lebih dekat dengannya. Gadis berkaus hitam dengan jeans longgar itu memandang ke kanan, agak mendongak, kemudian tersenyum tipis.

"Kenapa senyum-senyum?" Shankara mengernyitkan dahi.

"Enggak apa-apa, saya cuma senang," jawab Amaya dan melepaskan pegangan di baju Shankara.

"Senang karena apa?"

"Karena saya udah enggak sendirian lagi." Amaya menunduk sebentar, memandang sandal karet putih yang dikenakan.

Shankara sedikit menurunkan pandangan, melihat Amaya dengan ekor matanya, kemudian tanpa sadar membuat lengkungan ke atas dari bibir bebeknya. Dia memasukkan kedua tangan ke dalam saku celana, mengalihkan pandangan ke jalanan yang terlihat cukup sunyi.

"Tapi, saya juga takut."

Perkataan Amaya itu membuat Shankara menoleh sempurna ke arah gadis tersebut.

"Takut kalo ini enggak akan bertahan lama, Shan," imbuh Amaya, kemudian melihat ke arah lawan bicara dengan kedua tangan di belakang.

Shankara mengeluarkan tangan dari saku celana, menatap mata orang di depannya, kemudian menjetikkan pelan telunjuk ke bibir Amaya yang dipoles oleh lipstik merah muda itu.

"Aduh!" Amaya mengelus bagian yang dirasakan perih tersebut.

"Kamu terlalu cemas untuk hal yang belum terjadi," ujar Shankara, kemudian sedikit menunduk. "Masih sakit?" tambah pemuda itu, lalu menyentuh bibir Amaya dengan kelingkingnya.

"Enggak! Jangan sembarangan nyentuh orang gitu, dong!" balas Amaya, kemudian menepis lengan Shankara.

Helaan napas keluar dari pemuda berambut legam itu. Dia kembali berdiri tegak, memilih menghadap lagi ke arah jalanan, memandang hujan yang sekarang mulai agak reda. Shankara maju dua langkah, lantas menadahkan tangan ke depan.

"Amaya, kata orang tua jaman dulu, kita hanya perlu usaha, soal hasil akhir itu Tuhan yang menentukan." Shankara berbalik, memandang Amaya yang tengah menatapnya.

"Kamu." Shankara mengudarakan telunjuk yang basah ke arah lawan bicara, bahkan bisa dilihat Amaya tetesan yang turun dari pergelangan tangan pemuda itu.

"Kamu apa?" Amaya menautkan kedua alis.

"Kamu itu Amaya," jawab Shankara yang membuat gadis di depannya sedikit memiringkan kepala.

"Maksud kamu apa! Aku ini emang Amaya—"

"Aku pernah baca buku yang di dalamnya bilang kalo Amaya itu artinya hujan. Kamu itu hujan, Amaya, kamu memang ditakdirkan untuk jatuh." Shankara tertawa pelan.

"Bajingan tengik, hampir aja aku ngira kamu bakal kasih kata-kata motivasi yang bagus," tutur Amaya, kemudian mengepal sebelah tangannya, siap untuk melayangkan itu ke wajah si lawan bicara.

Shankara tertawa lagi. "Aku cuma bercanda, Amaya." Pemuda itu mengusap bawah hidung yang sedikit memerah karena hawa sejuk. "Maksudku hujan itu indah, banyak yang merasa bersyukur dengan turunnya hujan, bahkan ada juga orang yang suka hujan, contohnya aku."

"Hujan itu musibah sama kayak—"

"Enggak, Amaya. Baik hujan atau pun kamu, enggak ada yang pantes untuk dianggap sebagai musibah," potong Shankara cepat.

Pemuda itu maju beberapa langkah, mengikis jarak di antaranya dan Amaya. Dia menunjuk ke arah bawah bibir gadis tersebut. "Kamu tau, Amaya. Setiap kamu ketawa atau senyum, di sini ada dua lubang kecil yang kelihatan cantik."

Seusai menjauhkan tangan, Shankara melipat kedua tangan depan dada. "Jadi, cobalah supaya lebih banyak senyum lagi, Amaya. Musibah yang kamu anggap kamu bawa itu, sebenernya enggak pernah ada, Amaya. Kamu berhak untuk melepas itu dan menjalani hidup dengan lebih bahagia."

Amaya masih betah menatap mata beriris hitam milik Shankara. Dia seolah-olah tenggelam ke sana, sampai hujan yang dari tadi mengusik telinga sudah tidak lagi terdengar kini. Waktu terasa melambat, bersamaan dengan senyum Shankara yang mengembang secara perlahan-lahan, menunjukkan deretan giginya yang rapi.

Sambil menggerakkan tangan ke arah dada, Amaya mengulum bibir. Dia meremas baju yang dikenakan dengan kedua tangan, kemudian menunduk, melihat sandal untuk kedua kalinya, tetapi kali ini pandangan menjadi sedikit kabur, seperti ada yang menghalangi penglihatan gadis itu.

"Amaya, kamu baik-baik aja?" Shankara memegang bahu ramping di depannya.

Kala melihat Amaya yang sudah kembali mengangkat kepala, Shankara mengerutkan kening. "Amaya, kamu nangis?"

Amaya melongo, meraba pipi yang sudah basah entah sejak kapan. Dia pun mengelap wajah dengan tangan, lantas kembali memandang Shankara.

"Saya enggak sadar kalo saya nangis, Shankara," ucapnya dengan bahu yang naik dan turun. Gadis itu tersedu-sedu setelahnya, semakin membuat Shankara heran.

"Enggak pernah ada yang bilang itu ke saya, Shan."

"Bilang itu?" gumam Shankara, kemudian mengusap sisi wajah Amaya yang ternodai air mata dengan lengan bajunya.

"Bilang kalo saya berhak jalani hidup saya dengan lebih bahagia." Amaya menengadah, kemudian menutup sebelah mata ketika tangan Shankara menyentuh perlahan ke sana.

"Kamu tau, Amaya. Kadang, aku bingung dengan situasi di antara kita. Kenapa kita selalu tanpa sadar nunjukin sisi lemah kita satu sama lain, seperti sekarang contohnya." Shankara menarik tangan usai mengelap ujung hidung Amaya yang tampak memerah.

Shankara mundur, membuat jarak dengan Amaya. Masih bisa dia lihat pundak ramping di sana masih naik dan turun meski sudah tidak ada air mata yang keluar dari gadis berambut lurus. Pemuda pemilik duck lips tersebut menatap Amaya dengan ekspresi yang tidak bisa dijelaskan, seperti heran, tetapi juga menyiratkan rasa iba yang mendalam pula.

Sebenarnya, luka seperti apa yang pernah kamu rasain di masa lalu, Amaya? batin Shankara penuh tanya.

.
.
Terima kasih banyak sudah mau membaca sampai sejauh ini 🤗
Aku harap kalian tidak bosan, terus meninggalkan jejak, dan akan terus mendukung cerita ini 😗
.
Semoga hari kalian menyenangkan, teman teman 🥰
.

Kenangan Bersama Hujan [Tamat]Where stories live. Discover now