Sangat Senang Hari Ini!

43 14 0
                                    

Angin laut menerpa lembut wajah Amaya sampai sebelah tangan terpaksa menahan rambut yang tergerai ke belakang telinga, sedangkan yang bebas mengeratkan genggaman ke jari-jari orang di sebelah kirinya. Dia menoleh ke arah pemuda di sana kala sosok yang lebih tinggi tersebut berhenti dengan sedikit menarik jemari hingga terlepas dari gadis berambut lurus.

Sambil mengerutkan dahi, Amaya memandang sosok bertopi hitam dengan sedikit menengadah. Dia memiringkan kepala, membuat sebagian wajah tertutup dengan bayangan dari orang yang tengah di hadapannya sekarang.

"Kamu senang hari ini?" tanya Shankara seraya meraih benda di atas kepala, menunjukkan rambut hitamnya yang tampak sedikit berantakan.

"Senang banget." Amaya mengangguk penuh semangat, kemudian mengulum bibir.

Shankara tersenyum, cukup tipis, tetapi memberi kesan yang lebih hangat dari rona jingga matahari sore itu bagi sang penatap. Dia membawa topi yang dipegang, menarik tangan si lawan, kemudian meletakkan benda tersebut di telapak yang lebih mungil di sana.

"Pakai ini supaya rambut kamu enggak terlalu menganggu mata. Aku mau pakaikan ini langsung sebenernya, cuma mengingat terakhir kali aku mau nyentuh kepala kamu, dan kamu enggak mau, aku pikir ada baiknya aku kasih aja."

Bibir mungil si pemilik rambut lurus tampak terbuka sedikit. Amaya agak meringis kala mendengar penuturan dari sang kekasih. Segera dia pakai apa yang ada di tangan kini, menatap Shankara lagi, kemudian menarik jari kelingking pemuda itu.

"Saya belum pernah cerita ini ke siapa pun, Shan.  Tapi, saya pikir, kamu harus tau lebih banyak tentang saya." Embusan udara terdengar cukup jelas dari Amaya. "Saya pernah hampir dibunuh mama kandung saya. Kejadiannya sudah cukup lama, tapi masih terasa begitu nyata waktu kepala saya berada dalam jarak dekat dengan tangan siapa pun. Rasanya, seperti saya balik lagi ke masa lalu. Alasan kenapa mama melakukan—"

Kalimat itu terhenti karena Shankara menutup mulut Amaya dengan tangan kanannya. Pemuda itu menggeleng perlahan. "Cukup," katanya. "Kamu enggak perlu cerita tentang hal yang bikin kamu sakit, Amaya. Ceritakan ini lagi nanti, saat kamu enggak nangis lagi karena ingat masa lalu kamu itu." Bungkaman beralih, menuju ke pipi si lawan bicara dan berubah menjadi usapan lembut, menghapus air yang entah sejak kapan turun dari gadis cantik bertubuh mungil di sana.

"Kamu nangis dan aku enggak suka lihatnya," imbuh Shankara dengan ibu jari mengelus pelan dagu Amaya.

Berbeda dengan Shankara, Amaya bahkan masih mencerna apa yang baru saja terjadi. Dia memandang sang kekasih dengan tatapan cukup dalam, seakan-akan menyelam ke iris hitam itu sampai-sampai untuk kedua kalinya air turun dari mata cantiknya.

Shankara meraih tubuh kecil di depannya, membawa ke dalam pelukan sampai wajah Amaya mengenai dada bidang berbalut kaus putih hitam berlengan pendek itu.

"Kamu nangis lagi," gumam Shankara lembut seraya mengelus punggung mungil dalam dekapan.

Amaya membalas pelukan, meremas kemeja biru yang menjadi luaran baju Shankara dengan perasaan yang tidak bisa dideskripsikan. Dia menangis tanpa suara, tetapi bahu mungilnya terus naik dan turun seirama dengan tarikan napas yang dilakukan oleh gadis itu.

"Enggak apa-apa, keluarin aja. Ada aku sama kamu di sini," ucap Shankara, kemudian mengalihkan dagu untuk bertumpu ke atas puncak bahu Amaya. "Kamu hebat bisa bertahan sampai sekarang. Terima kasih banyak, Ay.

***
Malam telah tiba, kencan pun berakhir. Tampak Shankara yang masih memegang kedua tangan Amaya, tepat di sebelah gedung kedai ayam goreng milik Anna. Dia memajukan bibir, membuat ekspresi menyedihkan dengan lengkungan ke bawah dari mulutnya.

"Kamu harus pulang sekarang," ucap Amaya, berusaha menarik tangan dari genggaman sang kekasih.

"Masih jam sembilan," sahut Shankara, masih dengan bibir manyunnya.

Amaya terkikik pelan, kemudian berkata, "Kamu udah tahan saya hampir sepuluh menit di sini."

"Tapi aku masih mau lihat kamu. Seharian ini kita ke laut, makan es krim, minum es kelapa, tapi aku rasa semuanya belum cukup." Shankara menggoyang-goyangkan pelan genggaman ke kanan dan kiri.

"Nanti kita bisa kencan lagi, waktu saya dan kamu sedang senggang."

"Lusa?"

"Bisa, saya bakal minta ijin ke Tante Anna untuk enggak jaga kedai sampai malam," balas Amaya, kemudian menarik tangan saat genggaman Shankara melunak.

Senyum mengembang indah di wajah berahang tegas pemuda bertopi hitam itu. Shankara mengangkat sebelah tangan, membuat gerakan mengusir untuk Amaya. "Oke, kalo gitu, kamu masuk duluan," titahnya sambil terus memasang wajah penuh kebahagiaan itu.

Usai mengangguk, Amaya berbalik, berjalan beberapa langkah menjauh dari Shankara. Namun, gadis itu berhenti mendadak, membuat pemuda yang menatap punggungnya mengerutkan kening keheranan.

Amaya berbalik, menatap lagi Shankara yang berada tidak begitu jauh dari depannya. Dia berlari perlahan sampai jarak di antara mereka terkikis  dengan memegang kedua tali ransel yang dikenakan.

"Kenapa balik lagi?" tanya Shankara.

"Kamu bisa sedikit lebih turun?" tanya Amaya, lalu mengigit bibir bawahnya. "Turun sampai tingginya sama kayak saya."

Meski tidak mengerti dengan apa yang dimaksud oleh sang kekasih, Shankara tetap menurut. Dia menekuk tungkai dengan kedua tangan bertumpu ke lutut, membiarkan tingginya menyamai Amaya.

"Kayak gini? Sebenernya kamu mau aku—"

Ucapan Shankara terhenti karena si lawan bicara menarik topi yang dikenakannya secara mendadak.

"Saya sangat senang hari ini," ujar Amaya, lalu memegang sebelah sisi wajah Shankara.

Pada menit selanjutnya, sebuah kecupan dari Amaya mendarat lembut ke pipi kiri Shankara, membuat sang empu melotot diiringi mulut yang terbuka sedikit.

Amaya memakaikan lagi topi yang sempat diambil beberapa detik lalu ke sang pemilik barang, tetapi mengenakannya lebih rendah sampai Shankara tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas. "Te-Terima kasih untuk kencan hari ini, Shan. Hati-hati pulangnya, kabari saya kalo kamu udah sampe rumah, ya."

Saat mendengar langkah cepat yang menjauh, Shankara kembali berdiri tegak. Dia membetulkan posisi topi untuk melihat sosok mungil yang hendak berbelok ke depan kedai, tetapi berhenti di sana. Amaya melambaikan tangan dan tersenyum lebar, bisa didapati dengan jelas oleh Shankara jika kekasihnya itu memegang bibir ketika berlalu dari sana.

Shankara merogoh ponsel di saku celana kain hitam longgar yang dikenakan, lalu membuka kamera depan untuk melihat wajah sendiri. Dia menyentuh pipi dengan telunjuk sambil mengigit bibir yang sedari tadi tidak henti-hentinya menguntai senyuman.

Kayaknya aku enggak boleh cuci muka supaya ini enggak hilang, pikir Shankara penuh semangat.

Ah! Seharusnya ini juga enggak boleh dipegang-pegang terus! pekiknya lagi dalam hati, kemudian memindahkan jari yang berada di pipi agar menjauh.


.
.
Weleh weleh! Main nyosor aja nih Amaya 🌚
Kasih rate untuk chapter ini dong 1/10 kira-kira berapa dari kalian? 🥰

Terima kasih banyak sudah membaca cerita ini, aku harap kalian selalu terhibur untuk setiap kalimat yang kutulis 😆
Jangan lupa tinggalkan jejak yaa sobat Kuaci 😗
Calangeo gaes 🤗

Kenangan Bersama Hujan [Tamat]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora