Kebiasaan Sekumpulan Makhluk

58 17 3
                                    

Seorang pemuda berambut ikal sebahu melongo ketika baru saja membuka pintu kamarnya. Dia melihat di sofa panjang depan televisi, seorang pemuda berkacamata tengah membaca komik sambil berbaring, sedangkan yang satu orang lainnya memakan keripik kentang di atas kasur.

"Hai, Bim. Masuk!" teriak Soleh saat bertemu pandang dengan si lawan bicara, pemuda berlesung pipi itu baru saja keluar dari kamar mandi yang berada tepat di sudut ruangan berukuran 4 x 6 meter persegi itu.

"Bisa-bisanya kalian ke sini padahal aku belum sampe rumah."

"Tadi mama kamu suruh ke sini terus sambil nunggu." Dion menyahut, tetapi matanya tidak beralih sedikit pun.

Bima menggeleng pelan seraya masuk, meletakkan tas ke tepi ranjang, kemudian memukul belakang kepala Shankara yang baru saja mengelap tangan ke sprei abu-abu yang membungkus rapi kasur pemuda gondrong.

"Sakit, tai!" keluh Shankara sambil mengelus bagian kepala yang terasa nyeri.

"Sholat dzuhur, ayo!"

Kali ini, suara Soleh terdengar mendominasi ruangan. Tampak pemuda itu sibuk menarik lengan Dion yang masih sibuk membaca komik di sofa abu-abu panjang di sana.

"Aaaaakh! Bentar dulu, Leh. Nanggung, nih." Dion menarik kembali lengan, menyentak kuat sampai membuat Soleh sedikit tertarik ke depan.

"Astaghfirullah, kita enggak pernah tau kapan ajal menjemput, Dion. Kalo misalnya malaikat Izrail datang buat cabut nyawa kamu waktu lagi baca komik dan belum sholat—"

"Nerakalah tempatnya," ucap Shankara dan Bima bersamaan dengan satu jari telunjuk yang terangkat.

Dion mendesah kesal, membanting komik ke sofa, kemudian berjalan menuju kamar mandi dengan langkah malas.

Suara tawa Shankara dan Bima menggelegar, bersamaan dengan bunyi adu telapak tangan yang mereka lakukan karena merasa puas berhasil mengusik Dion.

"Ngomong-ngomong, kenapa pada ngumpul di sini tanpa ngabarin?" tanya Bima sambil melihat Soleh yang saat ini berdiri di depannya.

"Dia ajakin." Soleh menunjuk Shankara dengan seluruh jari tangan kanannya.

Bima melihat ke kanan, menatap pemuda berkemeja biru muda di sana dengan sedikit menaikkan dagu.

"Kabur dari rumah?"

"Hm." Shankara menjawab seraya mengangguk dan mengunyah keripik yang sejak tadi dimakannya.

"Lagi?" Bima menimpali dengan meringis kecil di belakang katanya tersebut.

"Iya. Kayak hari-hari biasanya," sahut Shankara santai.

"Kali ini kenapa?"

"Biasalah, Bim. Orang tua aku berantem lagi. Dengan alasan yang sama pula. Enek banget di rumah rasanya."

Soleh mengangguk beberapa kali, lantas mengelus pundak Shankara. "Sabar, ya. Tenang aja, rumah Bima selalu terbuka buat kamu, kok, Shan."

"Kok jadi rumah aku, sih!" Bima mengerutkan keningnya.

"Lah! Kamu keluarga cemara, Bim. Rumah kamu udah kayak istana bagi kami bertiga. Kalo Shan nginap di rumahku atau Dion, itu enggak bisa lama-lama." Soleh berargumen, lantas menurunkan lengan kemeja cokelat yang dikenakan.

"Enggak ada yang beres keluarga temen-temenku, Dion anak pertama dari keluarga yang enggak punya bapak, kedua ada Soleh yang ibunya nikah terus cerai dan nikah lagi, terakhir Shankara yang keluarganya banyak drama," keluh Bima seraya memijat kening, seketika merasakan pening menyerang kepalanya.

"Santai, Bim. Jangan merasa tertekan, ibuku aja yang punya anak mukanya enggak ada yang mirip enggak merasa tertekan sama sekali." Soleh mengelus pundak Bima, diikuti oleh Shankara yang menepuk-nepuk pelan bahu sahabat berambut panjangnya tersebut.

Kenangan Bersama Hujan [Tamat]Where stories live. Discover now