Cerita Bintang yang Pergi

56 17 0
                                    

Seorang pemuda berjalan menuju gerbang sekolah menengah pertama. Dia tersenyum lebar, membuat mata kecilnya hilang ditelan pipi sedikit gembilnya saat remaja berseragam putih biru berlari menghampiri dengan melambaikan tangan.

"Kak Bintang!" teriak remaja lelaki di sana.

Pemuda berseragam putih abu-abu itu menepuk kepala adik lelakinya. "Ayo, pulang, Shan," ajak sosok yang dipanggil Bintang tersebut.

Setelah melihat sang adik mengangguk, Bintang berjalan lebih dulu, diikuti Shankara yang berlari kecil untuk menyusul di sampingnya.

"Gimana hasil ujian kakak?"

Bintang berhenti mendadak, membuat Shankara juga begitu. Pemuda berseragam putih abu-abu itu menoleh ke kiri, menatap sang adik, lalu tersenyum sangat tipis, nyaris tidak terlihat.

"Kayak biasa," ujar Bintang, kemudian mengelus puncak kepala Shankara.

"Kak Bintang selalu keren, aku jadi iri!" Shankara memajukan bibir, membuatnya hampir menyerupai bebek.

Karena melihat reaksi gemas sang adik, Bintang tertawa pelan, mengacak rambut Shankara, kemudian kembali melangkah ke depan.

Mereka terus berjalan beriringan, sampai akhirnya berhenti di samping jalan untuk menunggunlampu lalu lintas. Halte berada di seberang, jadi Shankara dan Bintang terpaksa menunggu beberapa saat bersama para pengguna jalan yang lain.

"Shan," panggil Bintang sambil menatap orang di sampingnya dengan sedikit menurunkan pandangan.

"Hm," sahut Shankara tanpa menoleh.

"Jangan pernah jadi kayak kakak, ya." Bintang meraih pergelangan tangan sang adik menggenggam erat, membuat si lawan bicara menatapnya dengan sedikit mengangkat kepala.

"Kenapa? Bagi aku, Kakak itu keren. Aku mau pintar kayak Kakak dan selalu dibanggain sama ibu karena dapat selalu dapat nilai sempurna," sahut Shankara, kemudian berusaha menarik pelan tangan agar lepas dari genggaman sang kakak.

"Oya, Kak! Aku lupa mau beli buku catatan baru di toko yang kita lewati tadi. Kakak jangan nyebrang duluan, ya. Tungguin Shan. Kalo gitu, Shan pergi dulu," ujar Shankara, lantas tersenyum setelah berhasil menyelamatkan tangannya dari Bintang.

Shankara berlari menjauh dari kerumunan orang-orang yang ingin menyeberang. Namun, belum sampai sepuluh meter, suara klakson diikuti tabrakan membuat murid sekolah menengah pertama itu berbalik cepat. 

Tampak orang-orang di sana mengerumuni tempat yang tidak jauh di depan mobil truk merah di sana. Shankara refleks mengedarkan pandangan, mencari sosok tinggi bermata kecil yang beberapa saat lalu berjalan dengannya.

Shankara berlari cepat menuju kerumunan orang-orang. Kaki remaja tanggung itu terhenti ketika menatap aspal yang bersimbah darah. Dia mematung ketika berada di belakang beberapa pejalan kaki yang sibuk meminta pertolongan untuk seorang siswa berseragam putih abu-abu yang saat ini sudah tidak sadarkan diri.

"Kakak!" teriak Shankara seraya memecah keramaian.

Shankara duduk di samping raga tidak berdaya Bintang yang terkulai dengan darah terus keluar dari kepala, mengotori wajah tampan, serta baju putih yang dikenakan.

"Kakak! Kakak! Kakak!"

Shankara mengguncang tubuh di depannya sekarang, menangis sampai mata terasa kabur untuk melihat semua orang yang berdiri mengerumuni dirinya dan Bintang.

"Tadi aku lihat murid itu emang sengaja lompat ke jalan padahal lampu belum merah."

"Dia sengaja lompat? Berarti itu bunuh diri."

"Kayaknya itu adiknya, deh."

Samar-samar kalimat bisikan itu masuk ke pendengaran Shankara. Remaja tanggung tersebut sedikit menengadah, menatap orang-orang di sekeliling. Dia merasa pusing menyerang kepala secara mendadak, hingga pada detik selanjutnya kesadaran Shankara pun hilang. Dia pingsan bersebelahan dengan sang kakak, bersamaan para petugas ambulans yang menghampiri dan memecah keramaian yang menyelimuti dua tubuh di sana.

Suara pintu ruangan himpunan yang dibuka menyadarkan Shankara dari lamunan. Dia mengalihkan atensi dari kotak makan di meja ke arah orang yang baru saja masuk. Tampak seorang pemuda berambut sedikit bergelombang yang dikuncir tersenyum tipis.

"Yo, Bro," sapa Bima, kemudian mendekati Shankara.

"Hm, abis dari mana, Bima? Lama banget baliknya." Shankara mengambil botol minum yang berisi jus buah naga yang diberikan Amaya beberapa saat lalu, kemudian menenggak hingga sisa setengah.

"Kamu ke luar waktu aku baru aja masuk tadi," imbuh Shankara, lantas mengelap sisi bibir dengan punggung tangan.

"Biasa, diare."

Bima mengambil posisi duduk di kursi yang berseberangan dengan Shankara, menyandarkan punggung, kemudian menutup wajah dengan buku yang ada di meja.

"Udah dibilang jangan suka nyolong makanan orang. Makanya diare, tuh," sahut Shankara asal.

"Diem, deh! Orang kayak kamu yang suka makan makanan orang lain enggak berhak kasih nasihat kayak gitu." Bima mengintip dari bawah buku, melihat Shankara yang terlihat sedikit terkikik.

"Kamu baik-baik aja?" Bima membetulkan posisi duduk, membuat buku yang menutupi wajah turun begitu saja ke pangkuannya. Dia melihat Shankara yang tengah merapikan semua alat makan ke dalam paper bag.

"Yang diare itu kamu, kenapa malah tanya aku baik-baik aja atau enggak?" ujar Shankara, kemudian menautkan kedua alis sambil melihat si alwan bicara.

"Cuma mau tanya aja."

"Aneh kamu. Kalo gitu, aku pergi dulu, ada kelas. Kata Soleh, nanti dia dan Dion ke sini." Shankara menaikkan kedua bahu, lantas pergi dengan membawa ransel dan paper bag.

Bima memutar kursi, melihat pintu yang baru saja dilewati oleh Shankara dengan pandangan yang sulit diartikan. Dia menghela napas sedikit lebih banyak, lantas kembali menyandarkan punggung ke belakang.

"Apa dia beneran baik-baik aja?" gumamnya, lalu memindahkan lengan untuk menutup kedua mata.

***
Suara kuku jari mengenai meja memenuhi perpustakaan fakultas teknik. Terlihat Amaya menopang dagu dengan sebelah tangan sambil terus menatap kosong layar laptop di depannya. Dia memajukan bibir sedikit, lantas meniup poni tipisnya dengan sekali embusan ke atas.

"Jadi, Shan nyelamatin kamu malam itu. Terus nangis sampe sesenggukan dan bilang 'jangan mati' berulang kali. Sebenernya, aku enggak tau ini boleh aku bilang atau enggak, Amaya. Dulu, waktu dia kelas tiga SMP, Shan lihat kakaknya kecelakaan di jalan raya tepat di dekat lampu lalu lintas. Saksi mata bilang kalo itu bukan kecelakaan, tapi aksi bunuh diri dari kakak Shan. Mungkin secara enggak sadar, Shan takut hal itu terjadi lagi."

Penjelasan dari Bima beberapa saat lalu terngiang di dalam pikiran Amaya, membuat gadis itu sampai terpaksa meletakkan kepala di atas meja karena merasa sedikit berat di tengkuk.

"Aku tau kita enggak pernah banyak ngobrol, hanya sebatas tau nama karena seangkatan. Mungkin kamu juga kurang nyaman tau tentang ini dari aku, Amaya. Tapi, aku mau minta sesuatu dari kamu, tolong kamu enggak usah tanyain apa pun mengenai yang terjadi malam itu sama Shan. Aku cuma khawatir itu bakal buka luka lama dia."

Lagi, seakan-akan seperti kaset yang berputar secara otomatis, perkataan Bima kembali masuk ke dalam pikiran Amaya tanpa perintah sama sekali. Gadis itu menutup mata rapat, kemudian membuka secara perlahan.

"Saya jadi merasa makin enggak enak sama si bodoh itu," gumamnya pelan.



.
.
Hai para Kuaci tercinta 😗
Apa hari kalian menyenangkan?
Aku harap, iya. Meski tidak, aku harap kalian akan terus semangat untuk esok yang lebih baik lagi pastinya 🥰
Terima kasih banyak sudah memberikan apresiasi ke ceritaku, aku harap kalian akan terus menikmati karya yang aku tulis
.
.

Kenangan Bersama Hujan [Tamat]Where stories live. Discover now