Bab 15

24 14 0
                                    

Aku menyantap roti selai keju dengan sangat lesu, pagi ku hari ini terasa begitu suram. Tidak ada kegiatan, tidak berkomunikasi dengan siapapun, bahkan untuk olahraga pun sekarang aku jarang, sampai-sampai untuk menonton televisi pun rasanya sudah malas. Entahlah, aku memang menyadari beberapa perubahan yang terjadi pada diri ku seminggu lebih ini, tapi terkadang aku bisa sampai lepas amarah dan mencelakai diri ku sendiri, contohnya bekas-bekas luka yang ada di lengan kiri ku.

Tidak ada satu pun hal yang dapat membuat ku bahagia, bahkan yang dapat membuat ku senang akan hal-hal kecil.

Kecuali,

pelukan itu...

Entah, tiba-tiba saja aku merindukan pelukan yang Angkara berikan pada ku, merindukan usapan lembut tangannya pada kepala ku, rasanya persis sekali seperti sedang dibelai dan didekap oleh Nakula. Biasanya aku hanya merindukan kenangan-kenangannya saja, tapi kali ini aku rindu bagaimana Nakula memperlakukan ku. Rasanya ingin dipeluk lagi olehnya... tapi tidak mungkin, bukan? Bahkan sekarang saja aku sudah membenci dirinya, iya, Angkara. Sebenarnya aku juga merasa benci pada diri ku sendiri, bagaimana aku mempercayai Angkara yang mengaku bahwa dirinya adalah Nakula, dan Angkara yang diam saja saat ku bertanya.

Banyak masalah yang belum terpecahkan menurut ku, dan untuk sekarang ini, tidak ada yang benar-benar dapat membantu ku selain diri ku sendiri. Bagaimana bisa? Yang ingin ku minta bantuan adalah orang-orang yang terlibat masalah tersebut, jika aku meminta bantuan pada mereka, sama saja hasilnya, nihil, mereka tidak akan bahkan tidak ingin menolong ku menuntaskan masalah ini.

Tentang siapa sebenarnya Angkara, siapa yang menulis surat tersebut, mengapa kertas lusuh milikku bertahun-tahun yang lalu ada pada Angkara, sampai siapakah Adiwiyata Laksamana itu, yang nama belakangnya persis dengan nama Nakula, dan tentang mengapa Angkara mengunjungi mendiang makamnya. Ah, satu lagi, gelagat aneh Namika yang seakan-akan ada hubungannya dengan Angkara, dan lagi-lagi nama Adiwiyata Laksamana yang tertulis dibelakang bingkai foto nenek ku bersama laki-laki lain. Banyak pertanyaan yang harus ku cari jawabannya sendiri, bukan?

Percayalah, diposisi ku sangat-amat melelahkan. Aku harus menjalankan ini semua sendirian, tanpa seorang partner, tanpa petunjuk apapun, bahkan sedikit jawaban tentang ini semua. Aku kalut, bingung, pikiran ku amburadul, acak-acakan, berkecamuk, aku merasa stress, dan tidak bisa mempercayai diri ku untuk menyelesaikan ini semua. Berat, bukan?

Tatapan ku kini beralih pada mama yang sedari tadi masih sibuk didepan kompor karena sedang memasak nasi goreng sosis kesukaannya. Aku tersenyum menatap punggung mama dari belakang, beruntung lah aku masih punya mama, orang satu-satunya yang ku percayai dan benar-benar ku sayangi, lebih dari aku mencintai diri ku.

Oh, Tuhan, aku teringat satu hal! Bagaimana jika aku menanyakan tentang bingkai foto nenek yang ada dirumah kakek? Siapa tahu mama tau, bukan? Siapa tahu mama tau laki-laki yang berswafoto dengan nenek.

"Ma," panggil ku, aku berbalik tubuh.

"Iya, Rat? Kenapa? Sebentar, ya," ujar mama. Ku lihat, mama sudah selesai memasak nasi goreng sosisnya, mama lalu memindahkannya ke atas piring, mengambil sendok, lalu mengambil posisi duduk tepat disamping ku.

"Ma, beberapa minggu yang lalu, kan, kita ke rumah kakek, ya," kata ku membuka percakapan.

"Iya, terus?" Mama mengambil sesendok nasi goreng, lalu melahapnya.

"Ratu, kan, disuruh ke kamar nenek buat ambil baju sama kakek. Terus Ratu gak sengaja..." Aduh, aku harus bilang apa, ya, soal bingkai? Mama tahu gak, ya, kira-kira tentang bingkai foto itu? Aku jadi ragu.

"Gak sengaja apa?" tanya mama penasaran.

"Ratu gak sengaja lihat bingkai foto nenek sama seseorang, bingkai itu... ada dibawah ranjang, Ma," jelas ku.

"Foto nenek sama seseorang? Foto nenek sama kakek kali," alih mama.

Aku menggelengkan kepala. "B-bukan, ma. Ratu tau kali wajah kakek gimana, soalnya pas Ratu liat bingkai itu, Ratu gak kenal wajah seseorang itu. Kayak asing, Ma. Ratu gak pernah liat."

Mama mengangguk-angguk. "Kamu liat bingkai itu ada dimana?"

"Dibawah ranjang, Ma," jawab ku.

"Dibawah ranjang, yaa..." Mama terlihat seperti sedang mengingat sesuatu, aku menganggukkan kepala dengan mantap.

"Seseorang itu laki-laki atau perempuan?"

"Laki-laki," jawab ku cepat.

"Pakai baju?" tanya mama sekali lagi.

"Tentara gitu, Ma, seragam hijau TNI gitu," kata ku.

Mama seketika terdiam, kedua alisnya mengkerut, dahinya mengeryit, matanya sedikit membelalak.

"Kenapa, Ma?" Aku tersadar akan perubahan raut wajah mama. "Ma?" Mama tetap diam.

"Itu..." Mama mengusap wajahnya, ku lihat begitu gusar. "Duh, gimana, ya..." gumam mama yang tak sengaja ku dengar. "Maksud mama..."

"Apa, Ma?" tanya ku yang sudah tidak tahan. "Siapa laki-laki itu? Kok bisa foto sama nenek?" Sebenarnya aku juga ingin bilang ke mama perihal Angkara, yang mengunjungi entah makam siapanya dengan nama Adiwiyata Laksamana yang tertulis disana. Tapi tidak mungkin, mama saja tidak mengenal Angkara, masa iya aku tanyakan hal itu? Tapi kalau tidak... pasti mama berpikir tidak ada gunanya dan tidak ada hubungannya dengan ku jika bertanya seperti itu, toh itu masalah masa lalu kakek, nenek, dan laki-laki itu. Tapi bagi ku, ini penting.

"Mama... gak tau, Rat, hehe," kata mama akhirnya dengan cengiran kudanya. Aku mendengus kesal, tidak mendapatkan jawaban sesuai ekspektasi yang membuat ku puas. Aku melipat tangan di dada, lalu mengalihkan wajah ku dari mama.

"Maaf, yaa, sayang. Mama gak tau, kalau mama tau pun..."

"Apa? Kalau mama tau pun, mama juga gak bakal jawab," sambung ku. Aku mengambil satu roti keju, lalu melangkah beranjak dari kursi menuju kamar.

Aku sedikit merasa kesal, aku mendengus, tangan ku masih terlipat di dada. Bilang saja lah aku masih seperti anak kecil, sungguh, tidak apa-apa, meski umurku sudah kepala 2, aku menyadari akan hal itu.

Satu lagi, sekarang... aku sungguh merasa tidak enak pada Namika. Aku tidak berkomunikasi dengan dia selama seminggu lebih, padahal Namika tidak salah apa-apa, hanya saja aku yang terlalu terbawa emosi. Apa aku harus menghubungi Namika? Lalu meminta maaf? Rasanya... bukan aku juga yang salah, tapi Namika juga yang terlalu merahasiakan hal itu pada ku.

Entahlah, aku rasa aku harus menikmati kesendirian ku dulu beberapa hari ke depan, selain untuk menetralisir hati dan pikiran, aku juga akan berusaha memecahkan masalah-masalah yang ada, tentunya secara perlahan dan bertahap. Sungguh, karena hal itu saja, tidur ku susah dan tidak nyenyak.

To be continued.

Angkara Ratudala (TERBIT)Where stories live. Discover now