Bab 17

24 15 0
                                    

"Angkara?" gumam ku pelan. Angkara? Untuk apa dia disini? Tapi, benar ini dia? Gak mungkin, kan, aku salah orang? Mata ku tidak buram, pandangan ku jelas, tidak ada yang salah, kan?

Angkara menggunakan baju pantai dengan celana pendek, disertai topi berwarna hitam. Tunggu, baju itu... baju yang mirip sekali dengan yang dipakai oleh Nakula beberapa tahun yang lalu...

Aku seketika termenung, melihat Angkara memakai style pantai hari ini, mengingatkan ku pada seseorang. Topi yang ia pakai... aku juga tidak merasa asing.

"Angkara!" Loh, suara siapa itu? Yang memanggil Angkara?

"Angkara, lo..."

"Namika?" gumam ku lagi-lagi. Namika? Kenapa dia ada disini? Bersama Angkara? Kok, bisa?!

"Loh, Rat...?" Namika menatap ku terkejut. Ia menelan salivanya dengan gugup, sesekali menatap ku dan menatap Angkara.

"Angkara, lo kenapa kesini, sih?" desis Namika yang tak sengaja ku dengar.

"Nam?" Aku menatap Namika yang kini juga menatap ku. Matanya seketika membelalak.

"I-iya, Rat?"

Sungguh, aku tidak bisa berkata-kata, rasanya ingin mengucapkan sesuatu pun susah, sangking terkejutnya melihat kehadiran Angkara dan Namika secara bersamaan. Banyak pertanyaan-pertanyaan yang kini muncul dipikiran ku, lagi-lagi. Ada hubungan apa Namika dengan Angkara? Kenapa mereka bisa ada disini? Tepatnya di pantai? Apa yang sebenarnya terjadi? Apa yang sebenarnya mereka sembunyikan dari ku? Apa yang salah dari ku sehingga aku merasa dikhianati dan dipermainkan oleh mereka berdua?

"A-angkara," panggil Namika dengan nada pelan. Ia terlihat mendekatkan bibirnya ke telinga Angkara, lalu membisikkan sesuatu yang tidak aku ketahui.

Kedua alis ku mengkerut, dahi ku mengeryit. Ekspresi ku seperti, "ada apa ini? Apa yang mereka bicarakan?"

"Rat, g-gue duluan," pamit Namika. Terlihat Angkara berjalan ke sebelah kanan, sedangkan Namika berpisah dengan mengambil jalan sebelah kiri. Kenapa? Kenapa mereka tidak berjalan bersama? Mengapa mesti terpisah?

Ku lihat, telapak tangan kanan ku sedikit berdarah karena terkena goresan dari batang kayu yang ku genggam, sedangkan telapak tangan kiri ku memerah akibat tekanan yang ku lakukan untuk menahan tubuh agar tidak jatuh, alhasil pergelangan tangan ku sedikit sakit, dan sepertinya... kaki ku sedikit keseleo.

Aku terbangun dengan tertatih, menahan rasa sakit yang ku rasakan.

"Argh... " erang ku. Bentuk hati dan tulisan yang ku buat diatas pasir hancur karena aku duduki, aku hendak membuatnya ulang, tapi sayangnya tenaga tubuh ku tak memadai.

Aku mengambil handphone dari dalam saku celana, hendak mengabari kakek. Aku mengambil handphone, lalu membuka aplikasi kontak, mencari kontak kakek, dan menekan tombol telepon.

Drrrttt. Drrrttt. Drrrttt.

"Iya, Nak. Kenapa?"

"Anu, Kek... Ratu jatuh di pantai, kesenggol orang, kenceng banget jatuhnya," jelas ku.

"Astagfirullah, Nak. Terus gimana? Kamu gak kenapa-kenapa, kan?" tanya kakek khawatir.

"Kenapa-kenapa, sih, Kek. Tangan Ratu berdarah sedikit, sebelah merah, pergelangan tangan Ratu sakit, terus kayaknya... kaki Ratu keseleo." Aku menggaruk tengkuk leher.

"Aduhhh, gimana, sih, kamu!"

"Maaf, Kek..."

"Udah, udah, pulang kamu!" titah kakek.

"Sebentar, Kek... Ratu mau tanya, bibi ada dirumah?"

"Ada."

"Ratu minta tolong bikinin minyak buat luka Ratu, Kek," pinta ku.

Angkara Ratudala (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang