Bab 05

29 18 0
                                    

Jujur saja, pasti kalian bosan mendengar ku sibuk mengurus skripsi, ya kan? Hari-hari skripsi, hari-hari skripsi, aku juga sebenarnya sudah muak untuk mengerjakannya, padahal si skripsi itu tidak ada salah, tapi kenapa harus di "kerjain"? Ayo lah, para dosen ku tercinta, apa kalian tidak bisa sekali saja approve skripsi ku? Hanya perihal judul kalian menolak? Sudah hampir berkali-kali, loh?

Baiklah, tidak ada faedahnya jika mengeluh, yang harus ku lakukan sekarang adalah fokus dan mulai kerjakan lagi tugas akhir satu ini yang gak kelar-kelar.

Tunggu...

Seperti ada sesuatu yang kurang. Apa, ya?

Ah iya, sialan, aku lupa memesan kopi! Bisa-bisanya aku pikun padahal umur ku baru 22 tahun. Lalu, apa yang sejak tadi aku lakukan selain mengerjakan skripsi? Terbengong-bengong? Sepertinya aku tidak menyadarinya. Ya, memang tidak menyadarinya, sih.

"Oke... Sekarang apa yang harus gue cari dari referensi satu ini," kata ku sembari membuka tiap lembar buku yang sangat tebal. "Oh, iya! Kopiiii, gue lupa pesen kopiii." Aku menepuk jidat, lalu mendengus kesal, kesal dengan diri sendiri.

"Kak!" panggil ku, salah satu barista menoleh, lalu mulai menghampiri ku.

Eh, tunggu!

Aku seperti kenal dengan barista itu...

Dia seperti,

"Mau pesan ap-" Kalimat yang ingin diucapkan si barista terpotong ketika ia melihat wajah ku. Aku juga seketika ikut merasa gugup.

Walaupun barista itu memakai masker, aku tahu bagaimana raut wajahnya yang terkejut menatap diri ku. Matanya lagi-lagi membelalak lebar, kedua alisnya mengkerut. Harus seperti itu kah ekspresi yang ia pasang ketika bertemu dengan ku? Seperti, aku ini seakan-akan adalah orang yang penampilannya paling buruk di dunia. Ah, terlalu lebay, Ratu. Lalu, apa ada debu di wajah ku? Tidak juga. Riasan ku juga sudah benar, pikir ku.

"M-mau pesan apa?" tanyanya.

"Kopi satu, K-kak," jawab ku gugup.

"B-baik," balas barista itu dengan sama gugupnya.

Barista itu berjalan dengan cepat, secepat kilat sampai aku menoleh ke arah lain dan kembali menoleh ke arahnya, ia sudah tidak terlihat lagi.

Aku mengambil napas, lalu menghembuskannya. Masih ada rasa gugup dalam hati ku, tapi seketika aku tertawa kecil karena melihat gelagat aneh barista tadi.

Angkara, oh, Angkara. Sudah pasti itu dia. Aku tidak terkejut lagi ketika melihatnya. Masker duckbill hitam yang biasa ia pakai, model rambut Comma Hair, kaos hitam, persisi seperti yang ia pakai saat ke rumah Jeevika kemarin. Aku sekarang mengerti dengan apa yang dikatakan Jeevika beberapa hari yang lalu saat ia pertama kali memperkenalkan diri ku pada Angkara lewat foto di handphonenya. Jeevika berkata, "Rat! Kalau lo dengerin cerita gue tadi, pasti lo bakal semangat dateng ke cafe ini setiap hari gara-gara-" Hanya itu yang ku dengar, sih, setelahnya aku melenggang pergi dari cafe.

Huh, memang apa yang spesial dari laki-laki itu? Si Angkara? Dia hanya menang tampang saja, selebihnya, memang aku tidak tahu, sih. Tapi menurut ku dia memang tidak spesial. Mungkin kalau Jeevika ke cafe ini, hanya dirinya yang bersemangat karena ada Angkara yang bekerja disini.

Angkara memang mirip sekali dengan Nakula, dari segi mana pun. Tapi percayalah, saat aku melihatnya, dia seperti orang asing yang tiba-tiba muncul di hidup ku, tidak ada spesial-spesialnya seperti Nakula yang jago bermain basket, bulu tangkis, memasak, balapan, dan lain sebagainya.

Heum... lagi-lagi aku merindukannya.

Melihat laki-laki itu, Angkara, persis sekali seperti aku melihat Nakula, tidak ada yang dibuang. Namun, hanya sikapnya saja yang berbeda. Angkara terlihat lebih dingin dan sedikit cuek, sedangkan Nakula adalah orang yang ramah dan humble.

Angkara Ratudala (TERBIT)Where stories live. Discover now