Bab 19

21 13 0
                                    

Aku berjalan menyusuri pantai, kaki ku menginjak pasir-pasir yang begitu lembut, sepasang sepatu berwarna putih ku pegang dengan tangan kiri ku. Aku bersenandung pelan, lalu mengambil sebatang kayu yang terhampar diantara pasir-pasir.

Lagi-lagi, aku membuat bentuk hati, lalu aku tulis nama ku disana. Ratudala Anvaya. Aku tersenyum kecil, dan berdecak kagum ketika bentuk hati yang ku buat begitu sempurna.

Beberapa detik kemudian, air laut menyapu bentuk hati yang sudah ku buat, aku sedikit merasa sedih, tapi tak apa, aku bisa membuatnya kembali.

Kini, aku sedikit berjauhan dengan air laut, agar bentuk hati yang ku buat tidak lagi tersapu sang Ombak.

Semilir angin sore membuat helai-helaian rambut ku berterbangan, udaranya begitu dingin, hingga menusuk relung jiwa ku. Aku mulai bernyanyi lagu Gemar Sekali karya Raissa Anggiani, sembari menikmati suasana pantai sore ini.

Bagaikan sungai yang tak punya malu
Mengalir meskipun terancam surut
Lalu kakimu melangkah ke rumahku
Setengah melirik, mencoba rayu

Apa yang kau inginkan
Dari senyumku, ya Tuan?

Gemar sekali kau lukiskan bintang untukku
Sungguh lihai tanganmu menata kembali hati
Yang hampir mati
'Kan ku letakkan hangat di tengah dekap kita

Jangan biarkan ku pulang
Ke rumah yang bukan engkau

Du-du-du
Ah-du-du-du-du-oh

Bicarakan tentang seisi dunia
Perlahan mendekat, bisikkan cinta
Membuatku terlena
Ke dalam pesona sukma yang begitu indah

Apa yang kau inginkan
Dari senyumku, ya Tuan? Oh

Gemar sekali kau lukiskan bintang untukku
Sungguh lihai tanganmu menata kembali hati
Yang hampir mati
'Kan ku letakkan hangat di tengah dekap kita

Jangan biarkan ku pulang
Ke rumah yang bukan engkau

Jika mampu ku menjelajahi langit
'Kan ku petik pelangi 'tuk warnai harimu
Jangan khawatir, masih ada aku
Jangan khawatir, masih ada aku

Gemas sekali kau lukiskan bintang untukku
Sungguh lihai tanganmu menata kembali hati
Yang hampir mati
'Kan ku letakkan hangat di tengah dekap kita

'Kan aku persilahkan kau menetap di sini

Aku tak lupa dengan janji Angkara yang katanya akan menemui ku dipantai pada pukul 4 sore. Ku lihat jam tangan yang terpasang dipergelangan tangan kiri ku, sudah menunjukkan pukul 4 lewat 10 menit. Kemana Angkara? Kenapa dia belum kunjung datang? Atau dia tidak melihat ku? Hati ku bertanya-tanya.

Entah apa yang ingin manusia satu itu jelaskan, aku hanya menurut dan mengikuti apa yang dia katakan saja. Mungkin penjelasan dari dia nanti, bisa menjadi salah satu petunjuk dari banyak pertanyaan yang bercabang di kepala ku.

Kalian tahu? Saat kemarin Angkara memeluk ku dirumah kakek? Amarah ku seketika lenyap, sungguh, emosi ku pada saat itu sangat tinggi, dikarenakan kehadiran Angkara yang notabene karena aku membencinya. Aku sangat-sangat tidak bisa menahan rasa marah ku pada saat itu, tapi Angkara, dalam sekejap, dapat menenangkan ku hanya dengan memeluk dan mengusap kepala ku, sungguh ajaib!

Soal percakapan Angkara dan Namika tempo hari, aku memang sengaja menguntit mereka dan mendengarkannya. Aku benar-benar terkejut karena baru tahu kalau selama ini Angkara dan Namika adalah adik-kakak namun tiri. Namun, satu yang menjadi pertanyaan ku, mengapa Namika membenci Angkara? Padahal Angkara adalah saudaranya, yaa, walaupun tiri, tapi kenapa, ya? Ah, aku terlalu kepo! Padahal itu adalah urusan pribadi mereka berdua. Aku tidak berhak ikut campur, dan lagi pula, itu tidak ada kaitannya dengan masalah hilangnya Nakula.

Angkara Ratudala (TERBIT)Where stories live. Discover now