Bab 14

33 13 0
                                    

Namika menggenggam erat jari-jari Ratu, lalu menatapnya dengan sangat dalam. "Liat muka gue, menurut lo apa yang gue sembunyiin? Gak ada, Rat. Gue gak se munafik itu..."

Angkara menelan salivanya, kedua jari-jarinya sedikit bergetar. "Saya gak ngerti apa yang kamu maksud, Rat. Kita kenal aja baru-baru ini, memang apa yang harus saya sembunyikan dari kamu?"

Namika menganggukkan kepalanya. "Lagian kenapa lo bisa nanya begitu ke gue sama Angkara, sih? Emang apa hubungannya gue sama dia? Gak ada, Rat."

"Gue curiga sama kalian berdua, tapi gue lebih curiga sama Angkara." Ratu menatap Angkara begitu tajam, jarinya menunjuk laki-laki itu.

"Rat..." Namika semakin erat menggenggam jari-jemari Ratu, sedangkan Angkara mulai terlihat kebingungan.

"Stop," ucap Ratu. "Kalo kalian berdua gak sembunyiin sesuatu dari gue, kenapa pas jawab pertanyaan gue tadi jawaban kalian seakan-akan gak ingin terlihat mencurigakan? Kalian menjawab pertanyaan gue dengan gesit, tapi lancar, seakan-akan udah direncanain."

Namika terlihat membuang napasnya, mendengus kesal. "Rat, udah gue bilang, loh."

"Bilang apa?" balas Ratu cepat. "Kayaknya lo berdua beneran punya hubungan, ya?"

"Rat, kamu salah paham. Saya dan Namika aja gak terlalu dekat," ujar Angkara menenangkan. "Lagian kenapa kamu bisa punya prasangka kayak gitu?"

"Ya, karena kertas lusuh dan surat di amplop yang lo kasih ke gue!"

Namika membelalakkan matanya lebar-lebar. "Angkara! Jadi lo udah kasih it..."

"Maksud lo, Nam?" Ratu mengeryit kebingungan.

Angkara menunduk, seperti tak mau ikut campur lagi.

"S-saya mau ke bawah sebentar."

"Eits, gak ada. Lo duduk sini dulu!" titah Ratu.

Dari arah belakang, diam-diam Namika mencubit Angkara dengan begitu kencang, sehingga terdengar suara erangan dari Angkara. Meskipun terasa sakit, Angkara memilih diam dan tidak berteriak, agar tidak menimbulkan suasana yang lebih tegang.

"Maksud lo apa, Nam?" tanya Ratu sekali lagi. "Apa maksud dari kalimat lo yang bilang, "Angkara! Jadi lo udah kasih it..." Hah?" Ratu menaikkan kedua alisnya.

"B-bukan apa-apa, Rat. Sumpah." Namika berani bersumpah, bahwa apa yang dia katakan benar-benar tidak ada maksudnya.

Ratu kini beralih tatap ke Angkara, wajahnya lagi-lagi memerah, napasnya memburu, bibirnya bergetar hebat seperti ingin mengucapkan sesuatu.

"Rat, please... jangan lagi, ya?" Namika mencoba menenangkan Ratu, ia mengelus-elus punggung belakang Ratu.

"Lo!" Ratu menunjuk-nunjuk Angkara. "Ngaku lo! Lo pasti Nakula, kan?!"

Angkara menggeleng kaku, raut wajahnya mulai kebingungan dan ketakutan, ia menelan salivanya terus menerus.

"Kalo bukan, kenapa lo punya amplop itu dan kertas lusuh itu, hah?!" Ratu menaikkan nada bicaranya. "Apa maksud dan tujuan lo kasih amplop itu ke gue? Apa maksud semuanya? Apa yang lo pengin dari gue, Nakula? Lo pengin gue sakit hati? Lo pengin gue merasa di khianati? Lo pengin gue pusing terus?"

"JAWAB! JAWAB KALO LO GAK BISU, ANJING!"

"RAT, UDAH, RAT! STOP!" Namika menahan Ratu yang hampir ingin menampar Angkara. "Lo kayak gini terus gak ada gunanya!"

"GAK ADA GUNANYA APA MAKSUD LO, NAM? LO PIKIR GUE BODOH? KALIAN PIKIR GUE TOLOL? GUE BELASAN TAHUN SEKOLAH GAK CUMA BUAT PINTER DI MATA PELAJARAN, TAPI JUGA PINTER DALAM MENGANDALKAN AKAL DAN PERASAAN!"

"Rat... stop, please..." lirih Namika.

PLAK!

"Argh..."

Dengan kencang, Ratu menampar pipi Angkara, amarah yang sudah tidak tertahan lagi kini terlepas begitu saja.

"GUE SUMPAHIN LO! DASAR LAKI-LAKI BISU!" Khilaf, Ratu kali ini benar-benar khilaf.

"RATU! ISTIGHFAR, RAT!" Namika membuwa Ratu ke dalam dekapannya, ia memeluk Ratu sekencang-kencangnya.

"GAK! BIARIN SETAN YANG ADA DI TUBUH GUE KELUAR! GUE UDAH MUAK SAMA SEMUANYA? GUE MUAAAKKK!"

Namika menatap Angkara, Angkara juga menatap Namika dengan begitu pasrah. Namika seperti memberi kode pada Angkara, akhirnya Namika melepas Ratu dari dekapannya.

"ARGHHHHH!" teriak Ratu.

"Rat..." Angkara perlahan menghampiri Ratu.

"Ngapain lo?" ketus Ratu.

"Peluk saya, Rat. Saya Nakula," ucap Angkara yang membuat Ratu seketika terdiam. Air matanya mulai berhenti mengalir, Ratu sedikit demi sedikit menyekanya, tatapan matanya kosong, namun hanya tertuju pada Angkara.

"Ini saya, Rat, Nakula..." Angkara perlahan memeluk Ratu, pelukan yang begitu erat, sangat-sangat erat.

Sampai Ratu berucap, "Nakula...? Kamu Nakula...?"

Angkara menganggukkan kepalanya. "Peluk saya yang erat, ya?" Ratu ikut menganggukkan kepalanya, ia menurut, menurut seperti anak kecil yang sedang disuapi makan oleh ibunya.

"Nakula..." panggil Ratu.

"Iya?" balas Angkara.

"Jangan tinggalin aku lagi..." lirih Ratu memohon.

"Engga, Rat..." ucap Angkara. Dalam hitungan detik, Angkara merasakan tubuh Ratu yang melemas di pelukannya, perlahan Angkara menidurkan kembali Ratu ke atas ranjang, ia kembali tak sadarkan diri.

"Maaf..." lirih Angkara, ia mengusap wajahnya dengan gusar, merasa benar-benar bersalah.

༺❀

Seminggu kemudian...

Ada dua yang membuat kehidupan di dunia ini menyeramkan. Satu, kehilangan seseorang, dua, kembalinya seseorang itu.

Maksud ku, bukan berarti orang yang sudah mati dapat hidup kembali. Ini hanya tentang seseorang yang telah hilang, dengan sosok yang kembali ada, namun jiwa yang sangat enggan berada. Sosok itu kembali muncul, namun kepribadiannya sangatlah berbeda, hampir 360 derajat. Sampai-sampai membuat ku kebingungan.

Beberapa orang mungkin menganggap bicara ku adalah belaka, namun bagi ku ini nyata. Aku mengalami sakit belakangan ini, bukan, bukan sakit hati yang kalian maksud. Kalian tau? Sakit itu... sakit yang tidak dapat dijabarkan oleh sepatah katapun.

Seminggu ini aku hanya diam dirumah, mengambil istirahat dengan jangka yang lumayan panjang, menetralisir kan pikiran dan hati, serta menghindari "kecapekan" yang membuat ku sering kali pingsan.

Seminggu ini juga aku menjaga jarak dan tidak berkomunikasi dengan teman-teman, termasuk Jeevika, Namika, Angkara dan Kak Bagas. Bukan maksud ku adalah memusuhi atau memiliki rasa marah, tidak. Aku hanya sedang menjaga jarak dan menghindari hal-hal yang tidak diinginkan pada diri ku.

Ah, aku ingat satu hal. Betapa bodohnya aku ketika setengah sadar, bukannya sepenuhnya sadar kembali, malah melantur. Yaa, kalian tau, tempo hari aku berteriak dan memarahi Angkara. Kata Namika juga aku memeluk Angkara dan mengiranya itu adalah Nakula, sampai akhirnya entah aku kembali pingsan atau tertidur. Sungguh memalukan. Dan kata-kata terakhir yang ku dengar dari Angkara adalah maaf. Aku tahu, dia berbohong.

Kalian tau? Aku terkejut dengan diri ku sendiri, ketika amarah ku sedang meluap, Angkara memeluk ku, dan dengan mudahnya aku tenang begitu saja. Pelukan itu, seperti pelukan hangat yang Nakula berikan pada ku waktu kami masih bertemu setiap hari, waktu kami masih saling membagi kasih, sebelum akhirnya Nakula terjatuh sakit.

Tuhan, jika memang kehilangan ada nyatanya, maka hanya Engkau yang bisa mengembalikannya. Aku tahu raga yang telah mati tidak dapat dihidupkan kembali, tapi aku tahu sosok yang telah hilang dapat hadir kembali walaupun dengan jiwa yang enggan.

To be continued.

Angkara Ratudala (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang