Bab 06

23 18 0
                                    

Kebiasaan ku kedua jika sedang lelah dengan skripsi, selain ke cafe dan memesan kopi, aku juga hobi jalan-jalan ke mall sendirian, berbelanja sesuka hati, makan, lihat-lihat baju yang sedang diskon, dan lain sebagainya. Terlebih nya lagi, terkadang aku suka singgah lebih lama di Gramedia untuk membaca buku-buku Self Improvement favorit ku. Selain menambah pengetahuan tentang bagaimana menyikapi hidup, buku-buku Self Improvement yang aku baca juga dapat membuat ku menjadi pribadi yang lebih berkembang dan meningkatkan kesadaran diri serta identitas diri dari segala kegiatan yang meliputi.

Ah iya, kali ini aku tidak sendirian jalan-jalan ke mall, aku ditemani oleh Namika. Sudah hampir setengah jam kami berjalan-jalan di dalam mall, namun belum ada satupun barang yang kami beli. Aku dan Namika hanya baru saja membeli jus buah jambu, mengingat saat diperjalanan tadi begitu melelahkan, aku dan Namika memilih untuk membeli yang segar-segar terlebih dahulu.

Tujuan aku dan Namika kini mencari tempat makan yang pas, maksud dari kata "pas" adalah, kami berdua sama-sama suka pecel lele, maka dari itu, aku dan Namika sama-sama mencari tempat makan yang menyediakan menu pecel lele. Memang mustahil, sih, mencarinya di dalam mall, terbilang jarang ada pecel lele disini. Tapi beberapa tahun yang lalu aku pernah makan pecel lele disini, kok, entah tempatnya sudah tutup atau belum, aku akan terus mencarinya. Oh iya, pecel lele di mall biasanya premium loh, makannya bukan pakai kertas nasi uduk, tapi piring kaca.

"Nam, masih buka ternyata," kata ku sembari menunjuk tempat pecel lele yang jaraknya sudah tak jauh lagi dari kami berdua.

"Seriously?" tanya Namika memastikan, sembari melihat-lihat apakah benar tempatnya masih buka. "Anjir, iya dong! Ayo, Rat, buru!"

Namika menarik tangan ku lebih kencang, aku dan Namika berlari kecil menghampiri tempat pecel lele tersebut. Setelah sampai, aku dan Namika segera memilih tempat duduk, tidak lama kemudian kami mendapatkannya. Aku tersenyum lebar, begitu juga dengan Namika. Tempatnya sudah tak begitu ramai, dulu, beberapa tahun yang lalu tempat ini ramai sekali. Mungkin karena sekarang minim peminat? Bisa jadi. Zaman semakin maju, begitu pun dengan makanan dan minumannya.

"Eh, iya, Rat" celetuk Namika. Aku menoleh padanya, satu alis ku terangkat. "Problematika lo sama Jeev udah kelar? Apa masih bad mood tuh anak?" tanya Namika yang membuat mood ku seketika sedikit menurun.

Aku menggelengkan kepala. "Belum, Nam. Masih bad mood si Jeev. Kayak tadi aja contohnya, gue ajak dia ke mall biar jalan bareng sama kita, tapi chat gue cuma di read doang dari kemarin, gak dibales sama sekali sampe sekarang, kan sialan banget," kata ku dengan nada kesal.

"Hahaha. Sabar, Rat, Sabar." Namika tertawa kecil, sedangkan aku masih dengan mood yang tidak terkondisikan. Gara-gara anak itu, Jeevika, aku juga ikutan kesal dan bad mood karena sikapnya.

Jeevika memang begitu, beberapa hari ini bisa saja ia sedang mengurung dirinya dirumah, tidak keluar, dan sengaja memutus komunikasi dengan teman-teman seperti aku dan Namika. Padahal maksud kami baik. Aku dan Namika pun angkat tangan jika Jeevika sudah kelewat bad mood, padahal perihal hal kecil.

"Nih, Rat, gue kasih tau. Si Jeev tuh udah terlanjur sukaaaa bangettt sama si Angkara. Cinta kali tuh anak, padahal belum sampe sebulan si Jeev kenal Angkara gara-gara kakaknya, si Bagas, tapi bisa-bisanya jatuh cinta pandangan pertama," jelas Namika tiba-tiba.

Aku menyunggingkan senyum. "Tanpa lo kasih tau, gue tuh bisa ngebaca gelagatnya si Jeev, Nam. Apa lagi pas gue tanyain soal Angkara, perihal itu doang loh. Ya, memang, sih, pertanyaannya kayak gak masuk akal, seakan-akan si Jeev tau seluk-beluk si Angkara, gue juga keceplosan nanya begitu. Tapi, gak gitu juga lah si Jeev, gue jadi ikutan kesel, Nam."

"Gue jadi ikutan jengkel dengernya, hahaha," balas Namika yang membuat ku tersenyum. Seketika tatapan mata Namika beralih, ia sibuk melihat ke arah belakang ku, sedangkan aku penasaran dengan apa yang anak itu lihat. "Rat, Rat, Rat, Rat." Namika menepuk bahu ku.

"Apa, sihhh, Nam?" tanya ku.

"Kakaknya si Jeev, Rat, si Bagas, dia ada disini sama..."

"Sama siapa?" Aku melihat ke arah belakang.

"Sama Angkara!"

Glek.

Anak itu lagi?

"Tutup muka lo bego!" titah Namika. Loh, ada apa dengannya? Toh, cuma Kak Bagas dan Angkara, kan?

"Dih, maksud lo apa, sih, Nam?" tanya ku yang sama sekali tidak mengerti.

"Kak Bagas itu..."

"Eh, Ratu! Namika!" sapa Kak Bagas dari kejauhan. Namika terlihat mengusap wajahnya, mengambil napas dalam-dalam dan menghembuskannya. Namika tersenyum kaku, merasa terpaksa menatap Kak Bagas dan Angkara.

"Eh, Kak Bagas, A-angkara..." sapa ku balik dengan suara kecil, yang mungkin saja tidak terdengar oleh mereka berdua.

Kak Bagas terlihat mendongak melihat papan yang bertuliskan pecel lele Mpok Lela. "Kalian suka pecel lele juga?" tanya Kak Bagas sembari menghampiri aku dan Namika.

Aku mengangguk kaku. "I-iya, Kak. Ratu sama Namika sama-sama suka pecel lele." Kak Bagas dan Angkara mengambil posisi duduk.

Aku tiba-tiba terkejut, sebelum Kak Bagas mengambil posisi duduk disamping ku, ia mengelus bahu ku. Apa-apaan ini? Aku merasa geli! Ah iya, sedangkan Angkara mengambil posisi duduk disamping Namika.

"Kalian udah pesan?" tanya Kak Bagas. Aku dan Namika dengan kompak menggelengkan kepala.

"Mas!" panggil Kak Bagas pada salah satu pelayan.

Pelayan itu menghampiri kami berempat sambil membawa menu dan kertas catatan. "Iya, Kak. Mau pesan apa?"

"Pecel lelenya empat, es teh manisnya empat juga, ya," ujar Kak Bagas.

"Baik, Kak. Ditunggu, ya!" Pelayan itu tersenyum, lalu kembali berjalan ke belakang menuju dapur.

Aku sekilas melirik Angkara.

Ya, Tuhan, apa-apaan lagi ini? Ia menatap ku kembali!

Namun sepersekian detik, Angkara membuang wajahnya dari ku. Dasar, laki-laki bermasker itu benar-benar pendiam sejak pertama kali bertemu dengan ku. Padahal aku tidak ada salah sama sekali padanya, ada apa dengan dirinya coba?

Aku sekilas melihat Angkara yang kini sedang menyilangkan kedua tangannya di dada, lalu menatap ke arah samping kanan.

"Rat," panggil Kak Bagas tiba-tiba. "Bengong mulu, mikirin apa, sih?" tanyanya. Aku? Bengong? Tidak, aku tidak bengong! "Tatapannya kosong, lagi gak apa-apa, kan?"

Angkara seketika menoleh dengan cepat ke arah ku, lalu beralih menatap Kak Bagas. Aku dengan cepat menggelengkan kepala.

"Rat," panggil Kak Bagas sekali lagi, aku kini menatapnya.

"Iya?" jawab ku.

"Sini," katanya. Ku lihat, Kak Bagas mendekat pada diri ku. Semakin dekat, semakin dekat, sedangkan aku reflek mundur dan menjauh. Apa-apaan lagi ini?!

"Sini, Rat!" Aku seketika terkejut mendengar kalimat tegas dari Kak Bagas. Akhirnya tubuhku seratus persen terasa kaku dan diam di tempat.

"Udah gede, masih kayak anak kecil aja, minum jusnya belepotan," ujar Kak Bagas. Jari-jarinya mengusap pipi ku, lalu mengambil tisu dan mengelapnya. Ya, Tuhan! Sudah suudzon saja diri ku ini. Dasar Ratu bodoh!

"Dah, gitu, kan, rapi jadinya." Kak Bagas tersenyum pada ku, lalu mengusap pipi ku sekali lagi, memastikan agar benar-benar bersih.

Jantung ku terasa berdetak lebih cepat, seketika aku kaku di tempat. "M-makasih, Kak Bagas," ucap ku pelan.

"Sama-sama, cantik," balasnya.

Namika terlihat membuang muka, ia tersenyum kecil sembari mengusap-usap wajahnya. Apa maksudnya coba?

Sedangkan Angkara, laki-laki itu... tatapannya tak lepas dari ku dan Kak Bagas.

To be continued.

Angkara Ratudala (TERBIT)Where stories live. Discover now