Bab 07

25 18 1
                                    

Aku melangkah pelan memasuki sebuah TPU, atau biasa disebut Tempat Pemakaman Umum. Mungkin kalian bertanya-tanya, untuk apa aku kesini? Yaa, apa lagi kalau bukan melayat. Entah, semilir angin sore membawa ku kesini, aku tiba-tiba merasa rindu dengan almarhumah nenek ku yang sudah tiada 4 tahun yang lalu.

Biasanya, jika ingin ke kuburan nenek, aku pasti mengajak mama, karena mama adalah anak dari nenek. Tapi kali ini tidak, aku memilih datang sendiri setelah mengerjakan revisi skripsi di cafe siang tadi. Aku merasa, aku membutuhkan waktu lebih lama disini untuk mengobrol dengan nenek, dan tentu saja sendirian agar lebih khusyuk.

Aku mengucapkan, "Assalamualaikum," ketika melangkah masuk ke dalam Tempat Pemakaman Umum. Aku mulai menghampiri kuburan nenek. Aku ingat sekali tempatnya dimana, tepat di sebelah kanan dari awal masuk dibawah pohon besar. Aku tersenyum sembari membawa bunga melati.

"Assalamualaikum, Nenek," ucap ku pelan. Aku mulai menundukkan tubuh ku.

Aku mulai menabur kan beberapa bunga melati ke atas kuburan nenek, sambil membaca surat Alfatihah. "Nenek, Ratu kangennn banget," kata ku.

"Nek, Ratu pengin cerita deh." Semilir angin sore berhembus membuat helai-helaian rambut ku berterbangan, bulu kuduk lu berdiri, sedikit merasa merinding. Aku mengambil napas lalu menghembuskannya. Suasana Tempat Pemakaman Umum begitu sepi, aku melihat sekitar, ternyata hanya ada aku.

"Nek, Ratu lupa cerita. Biasanya Ratu kalo kesini sama mama cuma bisa nangis-nangis aja, gak kuat ngomong, apa lagi sampe cerita karena sangking kangennya. Tapi kali ini Ratu mau cerita panjang lebar, Nek." Aku sedikit terbatuk, lalu kembali fokus untuk bercerita.

"Nek, selain sama nenek, Ratu juga kangennn banget sama seseorang yang aku cinta. Nenek pasti tau, kan? Iya, Nakula, Nek. Nenek tau, kan? Seminggu sebelum pengumuman SNMPTN, Nakula pamit ke luar negeri buat sembuhin penyakitnya. Eh, seminggu kemudian nenek malah nyusul, sedihnya Ratu dua kali lipat, deh, Nek, hehe." Setetes dua tetes air mata mulai mengalir di wajah ku.

"Nek, sakit banget rasanya kehilangan orang yang kita sayang. Ratu kangen nenek, Ratu juga kangen Nakula, Nek. Ah iya, seminggu kemudian, alhamdulilah aku keterima SNMPTN, loh, Nek, Ratu senang sekaligus sedih, sedih karena nenek sama Nakula gak dengar langsung kalau Ratu lolos jalur undangan." Aku menahan sesak di dada, raut wajah ku mulai tak terkondisikan.

"Ratu ngejalanin hari-hari Ratu sebagai anak kuliahan tuh berattt banget, Nek. Walaupun rasanya bahagia banget keterima di kampus favorit, tapi kehilangan dua orang sekaligus di hidup Ratu, benar-benar buat Ratu down. Mama pun udah semangatin Ratu sampe mampus, hehe, tapi gak mempan juga sampe sekarang." Aku menyeka air mata yang terus-menerus mengalir hebat.

"Nek, tapi tau ga? Akhirnya aku berhasil sampai dititik ini, walaupun skripsi ku masih terus ditolak sama dosen, aku tetep hebat kan, Nek?" monolog ku.

"Oh, iya, Nek. Satu lagi," kata ku. Kini aku kembali dalam mode serius, air mata yang masih berjatuhan aku usap sampai benar-benar tidak keluar lagi.

"Ada laki-laki yang miriiip banget sama Nakula, Nek. Namanya Angkara. Dia seakan-akan dateng gitu aja, Nek, ke hidup Ratu. Kayak, tiba-tiba Ratu sama dia ketemu aja. Awalnya gara-gara temen Ratu ngenalin, Nek. Tapi, kan, siapa sangka? Ratu ketemu dia pas sama-sama mau ke rumah Jeevika, Nek." Aku kembali menaburkan bunga melati ke atas kuburan nenek.

"Gelagatnya juga aneh banget kalau ada Ratu, kalau ketemu Ratu. Kata Jeevika, beda 180 derajat kalau sama dia, apa lagi sama Kak Bagas. Dia bener-bener aneh, Nek. Selalu ngeliatin Ratu, selalu ambil kesempatan buat ngelirik Ratu, apa lagi kalau lagi sama Kak Bagas." Aku baru tersadar, bunga melati yang ku bawa, kini sudah habis ku tebarkan ke kuburan nenek.

"Nek, Angkara itu... seakan-akan punya sangkut-pautnya sama Nakula tau, Ratu penasaran, dia sebenarnya siapa, ya? Soalnya diemmm aja dari kemarin, gak ada ngomong apa-apa kalau didepan Ratu."

Aku seketika terdiam selama beberapa saat. Air mata yang mengalir kini mulai mengering. Aku mulai termenung, mengingat saat-saat bersama dengan nenek ketika beliau masih hidup. Huftt, andai nenek masih hidup... mungkin aku tidak sesedih ini.

Pluk.

Tiba-tiba, telapak tangan dingin menyentuh bahu ku. Aku sedikit terkejut, lalu dengan cepat menoleh ke belakang. Aku yang sedang berjongkok, otomatis mendongakkan kepala untuk melihat siapa yang hadir dibelakang ku. Aku melihat dari bawah, ia memakai sepatu berwarna putih dengan celana jeans-nya, dengan salah satu tangan yang ia masukkan ke dalam saku celana.

Tunggu, sepertinya aku tahu ini...

Angkara?!

"Turut berduka cita atas 4 tahun kepergiannya," katanya tiba-tiba.

Hah? Tunggu, aku sedikit lemot. Aku mulai berdiri, merapikan pakaian ku yang sedikit berantakan.

Kini, aku berhadapan dengan Angkara.

"A-angkara?" ucap ku dengan bibir bergetar.

"Hm." Hanya itu? Balasannya? Sok singkat sekali!

"N-ngapain disini?" tanya ku.

Angkara hanya diam saja. Oh ayolah, sejak pertama kali bertemu ia hanya diam, diam dan diam saja, tidak ada yang diucapkannya sama sekali.

"Kok lo tau kalau..." Belum sempat satu kalimat ku ucap kan, ia melenggang pergi. Aku masih diam ditempat, melihat kemana Angkara akan pergi.

Baiklah, aku melihat dirinya menghampiri salah satu makam. Makam tersebut hanya seonggok tanah, tidak ada keramiknya, dan disekitarnya pun sudah dikelilingi tanaman-tanaman liar. Aku gagal fokus juga dengan bunga melati yang ia bawa, sebelum menaburkannya, ia menatap ku dari kejauhan, aku pun ikut menatapnya.

Seakan-akan menyuruhku untuk menghampirinya, akhirnya aku melangkah untuk menyusul Angkara ke makam yang ia hampiri.

Entah apa yang ada dipikiran anak itu, maksudnya, aku kebingungan, kenapa ia tahu bahwa kepergian nenek ku sudah 4 tahun? Dan, untuk apa dia menepuk bahu ku? Seakan-akan memberitahu kehadirannya? Dan, apa arti tatapannya saat menatap ku?

Setelah sampai di makam yang dihampiri oleh Angkara, aku ikut mengambil posisi jongkok, dan membacakan surat Alfatihah sejenak. Saat aku melihat batu nisan yang terpasang, lagi-lagi aku gagal fokus dengan nama yang tertera disana.

Adiwiyata Laksamana, 1960-2021.

Tunggu,

Laksamana?

Tiba-tiba, Angkara berdiri dari duduknya, lalu merogoh sesuatu dari saku kiri celananya. Aku pun reflek ikut berdiri, berhadapan dengannya.

"Ini." Angkara memberi selembar surat berwarna cokelat, aku pun dengan rasa penasaran yang tinggi, dan tentunya dengan kebingungan yang membara, akhirnya memilih untuk mengambil pemberian tersebut.

"Ini apa?" tanya ku.

Angkara hanya diam saja, lalu ia kembali berjongkok dan menaburkan bunga melati ke makam tersebut.

Aneh.

To be continued.

Angkara Ratudala (TERBIT)Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt