Mama Matcha || Bab 16

1K 32 7
                                    

Happy reading~

Marsya

Gue nggak tahu apa yang membuat gue mengalihkan ingatan pada kenangan beberapa tahun lalu. Benar kata orang, apapun makanannya minumnya ludah sendiri. Gue selalu menekankan diri bahwa gue nggak perlu mengingat masa lalu gue bersama Dion. Buat apa juga? Dion lebih banyak meninggalkan kenangan yang pahit dikenang, daripada manis diingat ulang. Namun, sedikit dari manis itu terputar kembali di kepala gue.

Entah siapa yang salah? Sabrina yang selepas sesi belajarnya meninggalkan gue hanya berdua seruangan dengan Dion, kalimat sakral yang tiba-tiba keluar dari mulut Dion atau tangan Dion yang perlahan menggerayangi punggung tangan gue ? Entahlah. Bisa jadi jawabannya hanya sekedar dopamin yang sedang aktif bekerja di dalam tubuh.

Ketika itu gue masih duduk di bangku Sekolah Menengah Atas. Minggu itu adalah minggu terberat gue karena ulangan harian memborbardir para murid. Selayaknya anak sekolahan biasa, gue pun dulu 'sangat tidak menyukai matematika'. Siapa pun akan sepakat dengan gue, bahwa PR bahasa Inggris masih lebih baik daripada matematika yang tidak bisa gue karang jawabannya.

Seperti biasa, kebiasaan yang wajib gue lakukan saban malam setiap minggu—selama ulangan harian— adalah mengeluh kepada pacar. Inilah enaknya punya cowo kayak Dion, dia mau-mau saja gue jadikan tong sampah cerita nggak mutu gue. Selalu begitu. Sampai dikatain anak alay segala macam sama Kak Ratih namun, pendirian gue tidak goyah kalau mengenai ini. Gue rela menghabiskan sisa pulsa yang diisi oleh Ayah hanya untuk mendumel dan meratapi nasib untuk besok hari ketika gue harus menghadapi ujian matematika.

"Dion kamu nggak tidur, kan? Kamu masih dengerin aku cerita?" Gue memastikan karena sepanjang cerita gue, Dion tidak bersuara.

"Ketimbang cerita ini pantas disebut ajang kamu mendumel sih," sahut Dion.

"Ya habisnya, aku parno banget setiap ulangan matematika. Terakhir kali nilai aku dapat kursi terbalik," gue menggerutu dengan mengerucutkan bibir.

Kekehan samar terdengar di seberang sana. "Don't worry be okay, ya? Matematika nggak sesulit dan semenakutkan itu," Dion meyakinkan yang bikin gue kontan bermuka masam.

"Kata seseorang yang suka hitung-hitungan dari zaman orok," cibir gue. "Kamu nggak akan paham bagaimana bingungnya aku ketika disuruh guru sebutin rumus-rumus turunan fungsi Trigonometri."

"Loh kenapa? Bukannya tempo lalu kamu hapal rumusnya?"

"Aku hapal kalau secara tertulis, Dion. Tapi kalau disebutin mana bisa aku nyebutinnya. Aku nggak paham bahasa matematika soalnya. Yang aku paham kan cuman bahasa cintanya kamu," gue meledeknya.

"Bisaan," cibirnya. "Kamu tuh ya, kalau ada ulangan bukannya terpacu untuk belajar lebih keras malah berkeluh kesah ke aku. Aku nggak akan ada di samping kamu saat ujian, Marsyaaa," katanya merengek.

"Aku juga tauuu, Diooon," aku membalas serupa dengan nadanya tadi.

"Kalau tau terus kenapa sekarang nggak belajar?"

"Katanya manusia itu diciptakan dengan kemampuan otak yang berbeda-beda, Dion. Kamu kan calon dokter? Masa nggak tau otonomi manusia beserta kemampuannya? Aku bener apa bener?" Gue memburunya.

"Iyaaa, bener," kentara sekali Dion menjawabnya pasrah. "Kayaknya ngomong sama kamu selalu ada jawabannya, ya?" decaknya.

"Ya maaf," gue mencicit. Gue bisa membayangkan kalau dia tengah menggelengkan kepalanya. Kebiasaannya kalau menghadapi tingkah gue yang satu itu.

"Gini aja, kamu bakalan aku kasih reward kalau bisa dapat nilai matematika di atas delapan," tawarnya yang menggiurkan membuat mata gue cepat melotot.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jul 03, 2023 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Mama MatchaWhere stories live. Discover now