Mama Matcha || Bab 4

1.2K 75 0
                                    

Happy reading~

Ya begitulah hari ini berakhir. Nggak banyak percakapan yang terlontar baik dari gue maupun Dion. Justru yang banyak mengoceh malah Sabrina. Padahal gadis itu terlihat kikuk bicara waktu gue menemaninya buat nyariin buku. Mungkin dia mau mencairkan suasana.

Tapi satu yang pasti. Dion belum mengganti nomornya dengan nomor yang sama sepuluh tahun lalu. Nomor yang gue pinta pas main truth or dare bareng sepupu gue, Laksita. Boro-boro gue ngecek nomornya masih aktif apa nggak, orang gue sudah lebih dulu memblokir nomornya. Beneran marahnya cewe bisa lebih menyeramkan dari tidur di atas balok es.

Gue melihat daftar blokiran lebih tepatnya ke arah satu nama terpampang di antara nomor-nomor yang tidak gue simpan—nomor gadungan atau penipuan. Nomornya terdiri dari angka cantik. Mudah mengingatnya, sekarang pun gue masih ingat kalau harus dites. Walau ragu gue menekan pada kalimat 'Buka blokir'.

Ini pilihan benar. Gue yakin. Gue bahkan hampir melupakannya. Seharusnya gue nggak berlarut-larut dalam kemarahan. War is over kalau kata rakyat Twitter yang pernah gue baca.

Gue melemparkan ponsel ke atas tempat tidur lalu melihat lembaran kertas yang dirangkap jadi satu menggunakan klip. Tertulis daftar serentetan jadwal training. Mau tahu apa yang memotivasi gue ngambil jurusan pendidikan? Bisa pulang kerja bareng anak-anak sekolah, yah paling-paling telat dikit. Jadwal liburan sama dengan siswa sekolah. Nggak kayak kak Ratih yang kerja seharian di kantor. Bahkan dia lebih sering hampir menginap di kantornya. Akibatnya dia nggak bisa memberi waktu lebih untuk anaknya. Kalau yang gue temuin dia beberapa hari lalu sih, nggak lebih dari sekedar beruntung pulang cepat.

Ngomong-ngomong hari ini gue sendirian di rumah. Ayah ada urusan kerjaan di luar kota sedangkan ibu nginap di apartemen kak Ratih. Ibu sudah menjelaskan ke kak Ratih kalau gue ikutan training jadi model. Ibu bilang kak Ratih ketawa, malah ladas banget kata ibu. Habisnya kak Ratih nggak habis pikir katanya dari sarjana pendidikan malah belok jadi model. Jangan salahkan gue, hell, ibu yang minta loh. Toh, ujungnya dia pun memaklumi. Dan sebagai gantinya kayaknya ibu bakalan sering menginap di apartemen kakak gue.

Gue melirik jam di dinding pukul delapan lewat. Pantesan perut gue bunyi terus jam makan malam ternyata. Gue ke dapur niatnya mau masak mie instan kalau-kalau ibu nggak masak. Eh selain ibu yang betulan nggak ninggalin masakannya di dapur mie instan yang biasanya ibu jejerin di rak atas pun kosong. Waduh, alamat gue harus keluar rumah kalau gini ceritanya.

Gue niatnya mau beli nasi goreng depan lorong. Sebenarnya nggak pernah gue beli di sana. Tapi tiap kali pulang aroma yang menguar dari tempat itu beh harumnya bukan main. Enak banget kayaknya kalau meneliti dati baunya. Makanya sekarang gue sudah memesan nasi goreng spesial. Sembari dibikinin mamangnya gue duduk dan mainin kuku. Lupa handphone soalnya.

"Tante matcha?"

Nggak mungkin anaknya kak Ratih ada di sini dan manggil gue. Lagian nasgor sini kejauhan dari apartemennya dia.

Gue noleh tahu-tahu saja Sabrina err, anaknya Dion ada di hadapan gue. Semenjak gue tahu fakta kalau Sabrina anaknya Dion gue jadi rada sensi deh sama gadis berambut panjang ini. Gimana ya, gue hanya nggak habis pikir, soalnya kan, dia anaknya wanita yang dulu pernah ngerusak hubungan gue sama Dion..

"Tante kok ngelamun. Tante beli nasi goreng juga?" tanyanya sopan.

Gue mengangguk sekenanya. Sepertinya anaknya Dion ini pinter turunan lelaki itu banget. Mudah peka. Dia menelisik air muka gue terang-terangan. Gila coy baru kali ini gue deg-degan dilihatin anak-anak.

"Tante matcha kenapa?" cetusnya kemudian. "Perasaan tante agak berubah semenjak ketemu sama papa aku. Tante sama papa saling kenal ya?"

Ya ampun ini bocah. Jiwa intelijennya ngalah-ngalahin kak Ratih waktu tahu mas Pandji punya teman wanita baru di kantornya.

Mama MatchaWhere stories live. Discover now