Mama Matcha || Bab 10

905 49 2
                                    

Gue nahan kebelet pipis sesudah menghabiskan seporsi makan yang disediakan rumah sakit. Gue mikir, apa tiang infusnya gue bawa masuk ke toilet juga, ya? Karena udah nggak tahan, tanpa pikir panjang gue menuruni ranjang lalu menarik tiang infusan dengan tergesa.

Kayaknya bunyi  geretan membuat Dion terbangun. Dia mendekati gue.

"Coba bangunin aku kalo ada perlu," tukasnya, kemudian membantu gue menggeret tiang infusan.

Bau anyir darah menusuk dalam hidung gue. Gue memerhatikan sekilas ke arah kemejanya. Ada sedikit bercak darah yang telah mengering. Mungkin hari ini dia ada operasi.

"Nggak perlu lah, aku bisa sendiri. Lagian nanti Sabrina kebangun kalo denger aku manggil-manggil," kata gue.

"Ini infusnya gimana? Mau dibawa masuk juga?"

"Iya. Atau sekalian kamu mau aku ikut masuk juga," godanya.

"Dasar mesum," sungut gue.

Gue cepat menyelesaikan apa yang sedari tadi gue tahan. Setelah keluar, rupanya Dion masih menunggu.

"Nggak enak jadi ngerepotin," ujar gue dengan tersenyum kikuk.

"No need lah. Justru kayaknya kami lebih banyak ngerepotin kamu."

"Kami?"

"Iya.. maksudnya aku dan Sabrina."

"Ohh.. klo mau bahas bimbel lagi, nggak perlu merasa sungkan lah sama aku. Kayak sama siapa aja."

Gue sudah duduk lagi di atas bangsal rumah sakit.

"Kamu sama Sabrina kayaknya lebih baik pulang aja deh. Kasihan Sabrina tidur di sini." Dagu gue menunjuk ke arah gadis yang terlelap di sofa ruangan ini. "Kamu juga.. pasti belom mandi kan, dari tadi?"

Dia menghirup di sekitar ketiaknya. "Perasaan nggak bau-bau amat deh."

"Ya ampun. Maksud aku bukan gitu. Baju kamu kotor gitu, bekas darah menempel. Nggak risih emang?"

"Ohh ini. Saking udah biasanya, kayaknya aku udah terbiasa dengan bau semacam ini." Dia terkekeh.

Gue menghembuskan napas.

"Kenapa?"

"Kalo kamu nggak mikirin diri kamu harusnya kamu pikir anak kamu dong. Sabrina kasihan tau. Besok kan, dia sekolah," gue memerhatikan gadis itu lagi.

Dia menarik kursi mendekat ke arah bangsal gue.

"Kamu peduli banget sama anak aku. Makasih ya.." Gue memalingkan wajah. "Besok sabtu, Sabrina nggak sekolah tau," sambungnya.

"Tapi tetep aja—"

"Kamu mau ngusir aku ya? Kamu merasa risih kalo aku jagain kamu di sini. Kalo gitu kamu bilang aja, nanti aku panggil perawat buar dia yang jaga kamu," Dion memotong cepat. Dia tersinggung.

"Ihh, maksud aku bukan gitu," gue cemberut. "Aku.. aku malah seneng kamu di sini," cicit gue. Kulihat dia tersenyum kecil.

"Terus, kenapa dari tadi kamu kayak yang pengen banget aku pulang gitu?" tuduhnya.

"Aku takut kalo nanti kak Ratih bakal jenguk terus ketemu sama kamu di sini," gue berujar dengan kepala tertunduk.

Dion menghela napasnya panjang. "Kak Ratih benci banget ya sama aku?"

Gue mengangkat kepala. Terus menggeleng cepat. "Bukannya benci dia cuman nggak suka, aku deket-deket lagi sama kamu."

"Maafin aku ya.." kini giliran dia yang tertunduk.

Mama MatchaWhere stories live. Discover now