Mama Matcha || Bab 7

1K 62 0
                                    

Waktu sore tadi gue rasa syukur gue terus mengalir lantaran Dion nggak ikut masuk ke rumah gue. Sekarang, dia berada dalam rumah gue, di dapur gue, di meja makan gue, dan ikut makan bareng keluarga gue. Apa-apaan banget ini. Kedatangannya memang nggak tepat.

Macam sebuah kesalahan pula. Dua insan kanan-kiri gue kayak musuh bebuyutan.

Males banget Ya Tuhan lihat kak Ratih pasang muka judes sepanjang kami makan malam. Mas Pandji Sampai terheran-heran istrinya yang tiba-tiba hilang mood mendadak. Sedangkan ayah dan ibu nggak menyadari perubahan di wajah kakak gue.

Gue pura-pura makan dengan hikmat aja, deh.

Ayah, ibu, bahkan mas Pandji tampak dibuat kagum oleh Dion Permana. Lelaki itu memang pandai mengambil hati orang.

"Nak Dion istrinya ke mana? Nggak maksud apa-apa ya Dion, Sabrina," sungut ibu kemudian melanjutkan, "tante cuma nanya."

"Mama aku udah meninggal, nek," sahut Sabrina dengan santai.

Gue bahkan ikut melongo mendengar pernyataan itu. Ternyata Katrina sudah meninggal. Tapi, kapan?Pantas saja anaknya ngebet pengen punya mama baru.

"Aduh maaf, ya nenek nggak maksud gitu."

"Nggak apa-apa kok, nek. Ibu meninggal juga udah lama, kok." Dion mengelus surai legam Sabrina mungkin dia bangga anaknya bisa setegar ini.

"Jadi, nak Dion ini dokter bedah, kan? Praktik di mana?" ayah mengalihkan.

"Di rumah sakit Pelita, pak," Dion menjawab sekenanya.

"Wah bagus itu," celetuk ibu. Gue yang ngerti maksud ibu cuma bisa memicing mata memohon pada ibu. Tolong jangan bilang macam-macam, ibuuu.

"Bagus kenapa bu?"

Kak Ratih beranjak dari kursinya ketika Aura menangis di atas sana. Mas Pandji menoleh ke istrinya. Dia hanya pamit sekenanya. Gue yang mengerti pun ikut bangkit pura-pura ngikutin kak Ratih buat nenangin anaknya.

Samar-samar gue dengar ibu ngomong, "Marsya orangnya gitu. Telaten banget emang sama anak kecil. Pandai ngambil hati anak-anak pula. Itu juga alasan Marsya ngambil jurusan pendidikan dia. Supaya bisa dekat anak-anak katanya."

Aduh ibu menyebarkan kalimat yang penuh kebohongan besar. Mana ada gue masuk jurusan pendidikan biar bisa dekat dengan anak-anak. Tetap motivasi nomor satu gue masuk jurusan pendidikan adalah supaya bisa pulang bareng anak-anak sekolah.

Samapi ke kamar ternyata sudah tidur lagi. Kayaknya tadi cuma ngigau.

"Lo nggak bilang kalau temen yang lo maksud itu Dion. Ngapain dia muncul lagi," bentak kak Ratih. Dia sesekali melirik anaknya kalau-kalau terbangun lagi.

"Ya ini juga kebetulan kak. Kapan lalu gue ketemu anaknya di Gramedia. Gue bantu anaknya cari buku. Setelah itu kita ketemu lagi di nasgornya mang Usman. Dia jelasin kalau lagi butuh guru bimbel," tangan gue turut serta menjelaskan.

"Gue nggak suka dia ke sini lagi," tukasnya. "Kalau anaknya ada perlu sama lo, sudah berhenti sampai di sini. Lo sudi ngajarin anaknya cewe yang sudah merebut dia dari lo?"

Gue nggak bisa jawab. Tapi itu, kan masa lalu? Gue hanya menggeleng.

"Bilang aja ke anaknya kalau training lo jadwalnya padat banget. Atau kalo lo nggak tega lo cariin teman lo yang bisa handle anaknya," kedua tangan kak Ratih berada di pinggangnya.

"Nggak enak gue kak. Masa gue batalin janji gue gitu aja. Lagian gue juga sorenya nganggur. Sayang juga ilmu matematika gue kalo lama-lama nggak di asah," mohon gue.

Mama MatchaWhere stories live. Discover now