Mama Matcha || Bab 8

993 59 2
                                    

Happy reading~

Yak. Kita mulai pagi ini dengan pilates bersama. Apalagi kalau bukan agenda training gue. Dari jam tujuh sampai jam sembilan gue sibuk gantung macam koala, terus kayang sana sini pula. Udah berasa kayak idol Korea yang majangin foto kegiatan pilates mereka di feeds IG.

Gue ngusap bulir-bulir keringat yang menetes di wajah pakai handuk kecil yang disediakan. Duduk mau ambil handphone buat scroll medsos bentar. Sialnya saat gue buka Instagram, muncul terus iklan makanan cepat saji dengan logo "M", buka Twitter orang pada jualan makanan manis begitu. Itu dua aplikasi, kayanya kompak banget ngingetin kalau gue belum makan.

Kan, perut gue jadi bunyi.

Baru aja gue mau ke dapur, mau lihat-lihat ada makanan apa aja di sana, tau-tau dipanggil sama mas Ken.

"Kenapa, mas?"

"Latihan belum selesai. Jangan pergi dulu. Kita lanjut kegiatan selanjutnya," titah mas Ken.

"Iya, mas," pasrah gue.

***

"Ini mereka beneran ngajak kita lari, ya? Nggak salah, nih?" tanya rekan training di antara gerombolan.

"Beneran. Gue aja nggak nyangka. Padahal pilates aja kayaknya udah bikin perut gue tambah langsing," tukas gue dengan ngos-ngosan karena berlari.

"Sesi hari ini kayaknya kita digempur dengan semua cabang olahrga," sahut yang lain, bermaksud sarkas.

"Katanya, sih lari ini juga disponsori gitu. Apalagi ada media lokal menyoroti," yang lain nimbrung.

"Ayo semuanya semangat! Jangan banyak mengobrol!" teriak mas Ken di depan sana. Dia jadi pemandu acara lari pagi kami.

"Kira-kira kita lari sampe mana dan sampe kapan, yah?" tanya mereka lagi.

"Hanya Tuhan yang tau," jawab gadis dengan rambut ikalnya.

***

"Kamu kenapa mepet terus, sih?" aku menggerutu. "Di sana masih ada bangku kosong, Rafli."

"Ya, gue maunya di sini emang nggak boleh? Bukan bangku lo juga kan," kening cowo itu mengkerut.

"Dasar ketua kelas ter-nggak jelas," sungutku. Aku kembali makan mie instan yang kupesan.

" Makan mie instan mulu nggak sehat," katanya sok perhatian.

"Biarin," jawabku.

"Situ mentang-mentang bapaknya dokter, ya. Lagaknya," Rafli berdecak.

"Pantesan aja, lo gue minta temenin ke kantor nggak mau. Sibuk di kantin rupanya," Aldhi- teman kelasku dan juga Rafli- dia menyambar sebuah roti di atas meja sekaligus duduk di depanku. Kami melongo. "Laper juga abis diomelin bu Neli."

"Salah lo, sih nggak ngapalin yang diperintah bu Neli,"  balas Rafli.

"Kamu jadinya setoran Pasal-Pasal di kantor, ya Di?" selaku penasaran.

"Hooh. Mana hapalan gue ditambah pula. Malangnya nasib gue," Aldhi berakting sedih.

"Kalau hidup lo Malang pindah aja ke Bogor."

"Yeu, bukan Malang yang itu, pak ketua kelas."

"Garing, sih," aku mencibir. Aldhi kulihat terkekeh. Rafli justru merengut.

"Oiya gue perhatiin sg lo, kayaknya lagi gencar banget ya persiapan UN-nya. Terakhir gue lihat lagi nyari guru private mtk, udah ketemu?" tanya Aldhi.

"Ngapain lo nge-stalk Sabrina?"

"Ngambis lah. Dia kan, panutan gue banget buat belajar."

"Basi," umpat Rafli kesal.

Mama MatchaWhere stories live. Discover now