Mama Matcha || Bab 12

761 41 0
                                    

Happy reading~

Total tiga hari dua malam gue dirawat di rumah sakit. Badan gue kini terasa sudah baik.

Ternyata perkataan ayah soal membuat gue berhenti dari training terlaksanakan di belakang gue.

Sekarang gue menganggur. Lagi.

Tapi, kata ayah ibu lebih baik melihat gue di rumah 24/7 daripada lihat gue semaput di rumah sakit saban hari.

Dan sekarang waktunya gue lamar kerjaan sana sini.

Gue jadi inget, kalau belum bahas lebih lanjut soal guru private baru buat Sabrina. Enaknya gue chat dulu deh, Sabrinanya. Gue lihat jam di dinding pun menampilkan angka 7. Sabrina kayaknya belum tidur jam segini. Isi pesan gue singkat aja. Supaya kita ketemuan di kafe dekat sekolahnya aja.

From: Sabrina anaknya Dion
Tapi apa nggak ngerepotin tante? Tante, kan habis sakit.

To: Sabrina anaknya Dion
Tante biasa aja kok. Kalo badan tante nggak digerakin takutnya malah keropos.

From: Sabrina anaknya Dion
Tante bisa aja😅

Sabrina ini ekspresif juga ya. Chattan-nya pakai emoji gitu.

To: Sabrina anaknya Dion
Yaudah tante tunggu besok ya.

From: Sabrina anaknya Dion
Ok tante Matcha 😻

Gue jadi inget kemarin deh. Waktu kak Ratih jenguk gue di hari kedua. Dia menyempatkan waktunya sebelum pergi kerja. Dari matahari belum terbit dia udah muncul di sini.

Terus selesai kak Ratih nanya-nanya gue sakit apa dan sejenisnya. Setelah itu, dia nanyain kenapa gue ketemuan sama anaknya Dion kemarin lusa.

Gue jawab aja cuma ketemu-ketemu doang, soalnya Sabrina itu enak buat diajak hangout gitu-gituan. Gue udah yakin seribu persen kalau muka dan jawaban gue sangat mendukung buat berbohong. Ternyata kak Ratih itu kepekaannya memang berbanding terbalik dengan suaminya, mas Pandji.

Kak Ratih langsung menentang omongan gue dan bilang, "nggak usah bohong dengan gue. Nggak mempan."

Gue yang dibilang gitu otomatis kicep.

"Lo rela sakit begini demi ngajarin anaknya Dion. Nggak salah?" sarkas kak Ratih.

"Bukan karena Sabrina. Itu karena jadwal training gue kali," jawab gue nggak kalah nyolot.

"Katakan emang bukan salah anaknya. Toh, lo juga pingsang sebelum ngajarin anaknya. Tapi kali ini plis dengerin gue. Lo nggak usah peduliin lagi Dion, anaknya atau siapapun yang berhubungan dengan pria itu. Gue nggak suka," terangnya memelas yang justru buat gue tambah sebal. Kenapa sih, dia mesti kekeuh banget buat benci Dion. Itu masalah juga udah lama banget.

"Sabrina punya nama, jangan cuma sebut anaknya anaknya. Itu buat dia berasa nggak ada loh, kak," pembelaan gue bikin dia memutarkan matanya. "Keputusan gue mau ngajarin Sabrina itu mutlak hak gue. Mau gue ngajarin kek, mau nggak kek. Kakak nggak berhak ngatur-ngatur gue. Gue udah gede tau."

Seolah menganggap cerocosan gue kayak angin lalu, kak Ratih malah mendudukkan dirinya di sofa di sisi lain ruangan. Dia memainkan handphone-nya. Gue baru aja mau protes sampai dia memecahkan keheningan lagi.

"Awas aja kalo lo nangis-nangis lagi gara Dion."

Kalimat itu berhasil membungkam gue. Mengantarkan gue pada ingatan lama.

***

Dari skala satu sampai sepuluh nih ya, aku bakal pilih angka sembilan buat bilang kalau janji papa itu beneran nggak bisa dipegang. Waktu sarapan tadi pagi, bilangnya nanti nggak bisa anterin aku bimbel. Dua jam setelah aku di sekolah papa kirim pesan nanti dia bisa nganterin. Eh pas aku mau pulang sekolah kirim pesan lagi kalau nggak jadi nganterin. Ya udah deh, tadinya terpaksa mau nunggu taksi, nah yang aku bilang kalau omongan papa nggak bisa dipegang itu ya kayak sekarang. Papa muncul depan aku yang lagi nungguin taksi online yang kupesan.

Mama MatchaWhere stories live. Discover now