67

15K 3.4K 741
                                    


thr nya triple publish yh



67.







Malam itu mereka duduk berdua di depan api unggun yang Pak Seto buat.


Ikara kembali murung sejak mamahnya datang dan langsung pergi 2 hari lalu.



Suasana tidak hening, meski keduanya sama-sama diam. Ada suara api di atas kayu-kayu, dan musik yang Pak Seto setel dari dalam villa. Disusul suara percikan minyak karena Mba Yeni sedang membakar sosis.



"Kiraiin gue udah jadi orang yang paling kesulitan, tapi ternyata ada yang lebih parah." ucap Ikara dengan tatapan kosong. "Gue bahkan nggak bisa hubungin Mamah karena lagi sembunyi."

Leo menoleh. "Sorry,"

"Buat apa?"

"Gue denger obrolan kalian," katanya. "Kayaknya temen yang dia maksud nyokap gue."

"Tante Dilla?"

"Hm,"

"Kok?"

"Mamah pernah bilang mereka temenan dulu."

"Mamah lo juga ngalamin hal yang sulit berarti,"

Leo mengangguk. "Semua orang punya kesulitan mereka masing-masing. Tapi kadang walaupun punya kesulitan, mereka tetep ngurusin kesulitan orang lain. Nyokap lo tetep berjuang buat lo, nyokap gue tetep berjuang buat anak-anaknya."

"Mereka terlalu baik buat kita."

Leo menatap Ikara tanpa ekspresi. Ia kemudian menunduk sambil mendengus geli membuat Ikara menaikan alis. "Kenapa?"

"Nggak papa."

"Kenapa ih?"

Leo menggeleng sambil meneguk minumannya.

Hanya saja, Ikara dewasa. Itu daya tarik terbesarnya. Leo tau soal gimana perlakuan papahnya juga bukan dari Ikara, dia sendiri yang menangkap basah. Ikara nggak pernah umbar kejahatan papahnya, bahkan terkadang menutupi aib mereka. Ikara nggak pernah dendam sama mamahnya, malah merasa bersalah. Padahal selama ini dia nggak tau apa-apa. Ikara nggak pernah menghakimi orang.


"Sorry gue agak kasar sebelumnya," ucap Ikara membuat Leo menoleh.

"Kadang gue lebih kasar," Leo mengangkat bahu.

"Lo nggak perlu bayar sewa."

Leo menahan senyum. "Telat ngomongnya,"

Ikara menunduk sambil terkekeh. "Yaudah buat bulan ini nggak papa."

"Tai,"

Ikara tertawa kecil. "Salah sendiri buru-buru."

"Lo yang bawaannya pengen ngusir."

"Lagian nekat," Ikara memutar bola matanya. "Ke sini udah ijin? Kuliah lo gimana? Orang rumah gimana?"

"Nggak usah mikirin itu,"

"Lo minta orang kayak gue buat nggak mikir? Salah."

"Yaudah sih," Leo membuka botol soda yang baru. "Gue tau apa yang lagi gue lakuiin."

"Tetep harus mikir resikonya, tau siapa yang lagi dihadepin."

"Hm," Leo cuma ngangguk pasrah doang.

"Sekarang gue tanya, kenapa lo dateng ke sini nemenin gue?"


Suasana hening.


My Frenemy ( AS 10 )Where stories live. Discover now