"Enggak, kalian ngomong berdua aja," kata Rara tegas.

Alzena menghela nafas gusar, pasrah tidak mau berdebat dengan Rara.

Di sudut lain Rayno menarik napas dalam-dalam, mengungkapkan apa yang meluap di hati.

"Kenapa enggak dibales? Lo enggak kangen gue."

Hening. Tidak ada jawaban dari Alzena. Benar-benar berubah padahal dulu Alzena paling sering berbicara terlebih dahulu dan tidak bisa jauh dari Rayno.

"Zen, gue sebenarnya suka sama lo dari kecil dan gue harap lo timbangin perasaan gue sebelum nikah besok, gue rela masuk Islam karena lo."

"Lo mau masuk Islam karena gue? Jangan jadiin agama mainan. Lo harus ikhlas jangan karena gue! Cinta Allah itu lebih berharga dibandingkan cinta manusia."

"Jadi lo masih enggak mau nikah sama gue ya, Zen?"

"Iya. Ilmu agama gue masih setipis tisu Ray. Gue butuh Azizan yang ilmunya seluas lautan buat jadi nahkoda ke surga."

"Lo enggak ada rasa sedikit aja buat gue?"

"Enggak ada Ray, maaf. Lo seseorang yang nemenin di masa kecil gue. Kalaupun ada tasbih yang gue pegang sekarang dan kalung salib yang selalu lo pakai enggak akan bisa bersatu."

Perasaan rindu keduanya terurai dalam keheningan. Takdir telah memisahkan mereka, dan hari ini, Rayno mungkin untuk terakhir kalinya berbincang dengan seseorang yang berharga dari kecil yang telah menemani masa kanak-kanak di pelataran komplek Jakarta yang dulu menjadi saksi akur mereka.

Hati tercabik, jiwa genting Rayno kikis debu masa lalu.

Selesai mengakhiri panggilannya.

Alzena murung di kamar. Takut sekali jika ucapannya menyakiti hati Rayno. Tapi mau bagaimana lagi? Memang ini jalan takdirnya.

"Zena," panggil Rara melangkahkan kakinya menuju putrinya.

"Ya. Bun?" sahut Alzena sekalian mengembalikkan ponsel.

"Tadi ngobrol apa aja sama Rayno?" tanya Rara penasaran.

"Sesuatu," jelas Alzena tidak ingin Rara tahu.

"Ada masalah kalian? Masa berantem padahal baru aja ngobrol," ujar Rara semakin curiga.

"Enggak berantem," balas Alzena sungguh-sungguh.

***

Di malam hari bukannya istirahat Alzam baru selesai membantu untuk acara besok memilih pergi ke kamar kakaknya.

"Gimana rasanya mau nikah, Bang?" tanya Alzam rasa penasarannya begitu tinggi.

"Campur aduk," balas Azizan sekenanya.

"Kayak kecap sama saos?" guraunya diiringi tawa.

"Mungkin." Singkat. Padat. Jelas. Itu jawaban yang Alzam dengar dari Azizan.

"Bang," panggil Alzam sambil melirik.

"Kenapa hmm?" tanya Azizan menatap adiknya.

"Saran salon dong mau potong rambut selesai abang nikah," ujar Alzam penuh tanda tanya.

KEPASTIAN DENGAN GUSNơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ