Part 30 : PENEBUSAN DOSA

168 37 121
                                    

WARNING! : Dimohon untuk tidak melakukan copy atau plagiat untuk menjaga karya asli milik penulis.


Suara ketikan dari keyboard memenuhi seisi ruangan, bahkan matahari belum menampakkan keanggunan paginya.
Kesunyian seakan menyelimuti, ditambah dengan pencahayaan yang hanya bersumber dari layar monitor, menambah kesesakan atmosfer di ruangan itu.

Entah sudah berapa lama Taki tidak merebahkan tubuhnya di atas ranjang, masih berkutat di depan layar monitor dengan jari-jemari yang terus menekan satu-persatu tombol keyboard dengan gesit. Kantung mata terlihat jelas pada wajahnya, rambut cokelat terang yang nyaris merah terlihat kusut seakan sudah berhari-hari tidak menyentuh air, tubuhnya yang ramping nampak semakin kurus akhir-akhir ini.
Ia menghela napas, menoleh perlahan ke arah jendela yang tertutup rapat oleh gorden panjang.
'Kenapa lama sekali matahari muncul?' pikirnya.

Dua minggu berlalu sejak pemakaman Felia dan fonis hukuman dijatuhkan pada profesor Holland.
Sejak saat itu, Taki tidak pernah lagi masuk kuliah, jangankan untuk berkuliah, menampakkan ujung hidungnya ke luar rumah pun tidak.
Taki seakan hidup di balik bayang-bayang penyesalan, pemikiran bahwa bisa saja Felia selamat apabila ia cukup peka dan menjawab telepon gadis itu.
Pemikiran-pemikiran negatif terus muncul dibarengi oleh kesunyian tak berujung, Taki seakan tercekik di antara hidup dan mati.
Setiap kali menutup mata, bayangan sosok terakhir Felia selalu terlintas di benaknya.
Ia tidak lagi bisa tertidur pulas, sebab mimpi buruk seakan mengantri untuk masuk menemani malamnya. Membuat Taki selalu menunggu matahari terbit sambil menyibukkan diri dengan pemrograman. Ia selalu menolak undangan perkumpulan, seminar, bahkan tawaran kerja sama yang dulu sangat diincarnya.

Di saat itulah ia teringat ucapan terakhir Brian, 'bukankah tidak nyaman jika kau yang harusnya dapat menyelamatkan Felia justru hidup bebas tanpa beban?'
Taki tidak lagi mengerti, apakah kondisinya saat ini diakibatkan oleh ucapan Brian ataukah oleh penyesalan di dalam hatinya.
Yang jelas, ia merasa tidak nyaman dan perlu untuk membalas kesalahannya.
Tapi penebusan dosa seperti apa yang harus ia lakukan?

Pada akhirnya Taki merebahkan tubuhnya di atas ranjang, menghela napas panjang dan terus berpikir. Perasaan bersalah tidak pernah hilang dari dalam dirinya, membuatnya gelisah sepanjang waktu. Ia tidak lagi menemukan kenyamanan, fokus, bahkan impian.

"Bagaimana hidupku sekarang?" gumamnya pelan.

Ia meletakkan lengan kanannya menutupi wajah, terus berpikir apa yang harus ia lakukan sekarang.
Seberapa kerasnya ia berpikir, dirinya hanya kembali di bawa pada pemikiran bahwa ia harus menebus dosanya. Memunculkan anggapan bahwa satu-satunya tujuan hidupnya saat itu hanyalah untuk melakukan penebusan dosa.
Setidaknya dengan itulah ia bisa tetap hidup.

Sejak hari itu, Taki memutuskan untuk keluar dan mencari tahu apa yang bisa ia lakukan untuk menghilangkan kegelisahannya.
Berbagai cara telah ia lakukan, mencurahkan kemampuannya untuk membantu orang lain, berusaha membangkitkan semangat, menyibukkan diri dengan kegiatan, bekerja tanpa digaji, mencari keahlian baru, bahkan memberikan apa yang ia punya pada orang lain dengan sepenuh hati. Namun, perasaan itu tetap tidak dapat hilang, justru kini Taki lebih melarat dibanding sebelumnya.
Pada akhirnya, Taki kembali pada rutinitasnya dengan begadang dan berkutat di depan monitor. Ia takut untuk memejamkan mata dan tertidur, jika itu terjadi, mimpi buruk akan kembali datang. Hal ini membuatnya jadi menderita gangguan tidur yang parah.

Malam hari itu, Taki keluar untuk membeli persediaan mie instan yang sudah habis di dapurnya.
Ia masuk ke salah satu minimarket 24 jam, mengambil beberapa bungkus mie dan pergi ke kasir untuk membayar.

"Apakah ada lagi yang dibutuhkan?" ucap pria berseragam kasir saat menyadari langkah kaki Taki mendekat tanpa melihatnya.

"Tidak," balasnya singkat.

My Battleground Where stories live. Discover now