Part 10 : ORANG JAHAT?

197 39 65
                                    

WARNING! : Dimohon untuk tidak melakukan copy atau plagiat untuk menjaga karya asli milik penulis.


Aku memandang sekitarku. Ruangan ini benar-benar dipenuhi oleh para preman menyeramkan.
Sejujurnya tubuhku benar-benar gemetar ketakutan, tapi aku mencoba untuk tetap tenang dan berusaha berbicara.

"Hehe, om."

Sialan, kenapa malah ngomong begitu, sih?!

Salah seorang preman mulai mendekat ke arahku.
Senyumnya benar-benar membuatku ingin menendangnya.

"Baiklah, mau kita apakan adik kecil ini ya?"

Aku berusaha menjaga jarak dan preman itu mencoba menyentuh rambutku.
Pandanganku tiba-tiba tak menentu, terasa sesak di dada yang tak mampu diungkapkan. Aku merasa dejavu.

"Merepotkan."

Satu kata yang menciptakan keheningan sesaat.
Ketua kelompok mereka turun dari meja dan berkata.

"Ini bukan waktunya bersenang-senang, lebih baik kau pimpin yang lain dan mulai mengumpulkan persediaan makanan."

"Hei, kita kan baru mulai. Aku akan mengumpulkan itu besok, oke?"
Si preman di hadapanku ini nampaknya enggan melewatkan kesenangannya.

Ketua kelompok itu kembali berbicara.

"Sejak tadi kau terus bersikap seperti sampah, jangan melewati batas."

"Apa? Sampah?!"

"Kau tidak lihat kelompok lain sudah mulai bergerak? Masih mau diam saja di sana? Kau mau kujadikan patung sungguhan?"

"Sial, mentang-mentang ketua kau!.."
Ucapan preman itu tertahan, wajahnya yang sangar seketika menjadi ciut.

"Aish! Ayo kita ke kantin!"

Preman itu beranjak pergi menuju pintu keluar diikuti sebagian preman lainnya. Samar-samar masih terdengar gerutu preman sangar itu.

"Aku sangat benci dia, mentang-mentang ketua dia bertingkah seenaknya padaku! Lihat saja, aku akan menghabisinya nanti."

"Kau bahkan tidak berani menentang perintahnya."

"Berisik!"

Walaupun ia tau sedang dibicarakan, ia sepertinya tidak peduli.

Kini seisi ruangan terasa begitu hening. Yang tersisa hanya aku, ketua kelompok bermata amber ini dan beberapa anggota preman yang sibuk dengan urusan mereka.

"Kau tahu aku tidak berniat untuk membantumu."
Pria bermata amber itu berjalan mendekatiku.

Aku mengerutkan kening.

"Kupikir kau orang baik."

Ia tersenyum sinis, memutar mata dan kembali menatapku.

"Kau salah besar jika berpikir begitu, aku yakin kau sudah mendengar kalau aku mantan narapidana di penjara anak."

"Menjadi mantan narapidana tidak membuatmu mendapatkan gelar orang jahat, menjadi jahat adalah pilihanmu sendiri."

Senyum sinisnya memudar sesaat setelah mendengarkan ucapanku.

"Begitukah? Tapi aku lebih suka menjadi orang jahat."

"Kenapa?"
Aku bertanya keheranan mendengar apa yang ia sampaikan.

"Orang baik selalu mengutamakan orang lain, menganggap bahwa semua akan baik-baik saja jika ia bersikap baik kepada orang lain. Orang baik punya banyak hal untuk dilindungi, itu yang membuat mereka menjadi lemah."

Aku menyela ucapannya.

"Aku yakin orang jahat juga memiliki sesuatu yang ingin mereka lindungi."

Sekali lagi ia menatapku.

"Bahkan orang baik pun bisa melakukan sesuatu yang jahat, orang yang jahat juga dapat melakukan sesuatu yang baik. Itu semua tergantung pada pilihan mereka."

Kali ini ia lebih fokus mendengarku.

"Jika kau berfikir bahwa orang baik adalah mereka yang bersikap baik kepada semua orang, mereka yang selalu mengutamakan dan menolong orang lain terlebih dahulu dibandingkan dirinya sendiri, lalu seperti apa orang jahat? Apa mereka yang berbicara ketus kepada semua orang? Ataukah mereka yang memilih tidak menolong orang lain dan mementingkan dirinya sendiri? Ataukah menurutmu orang jahat adalah mereka yang menjadi mantan narapidana?"

Kali ini ia menjawab.

"Orang jahat adalah racun untuk orang di sekitarnya."

"Lalu bagaimana dengan orang baik yang mengutamakan orang lain dibandingkan dirinya? Mungkin ia adalah obat untuk orang lain, tapi ia telah membuat dirinya menjadi racun mematikan untuk dirinya sendiri."

Ia terdiam sesaat, kemudian kembali bertanya.

"Jadi apa maksudmu?"

"Jadi.. orang begitu mudah memberikan label jahat dan baik kepada orang lain. Mungkin kau memutuskan untuk menjadi jahat karena suatu alasan, tapi apapun alasan itu, jangan pernah menjadi racun untuk orang lain dan jangan pernah menjadi racun untuk dirimu sendiri."

Ia menatapku lagi.

"Banyak cara yang bisa kau lakukan untuk menjadi baik tanpa harus menjadi racun untuk dirimu sendiri. Jadilah baik agar tidak menjadi racun untuk sesuatu yang ingin kau lindungi, jadilah jahat agar tidak menjadi racun untuk dirimu sendiri."

Sesaat terasa keheningan yang menyelimuti sekelilingku.
Astaga! Apa aku terlalu banyak bicara?!

"Hahahaha!!"
Tawanya terdengar memenuhi keheningan.

Aku terkejut mendengar ia tertawa, kenapa ia tertawa? Sepertinya aku tidak sedang bercanda.

Ia menghentikan tawanya lalu maju lebih dekat ke arahku. Mencondongkan tubuhnya dan berbisik pelan di telinga kananku.

"Baiklah, saat semua orang tertidur, pergilah sejauh mungkin dari sini. Aku tidak peduli kemana kau akan pergi, yang pasti kau harus pergi sebelum anggotaku kembali."

Setelah mengatakan itu ia langsung mundur dan menjauh dariku. Mendengar ucapannya aku tak berbicara apapun.
Walaupun sedikit bingung karena ia tiba-tiba berkata seperti itu, aku cukup paham dan memutuskan untuk pergi saat semua orang tertidur.

30 menit berlalu, aku hanya duduk meringkuk di salah satu pojok ruangan.
Aku menatap sekeliling, sebagian besar orang sudah tertidur, termasuk ketua kelompok itu.

Tak lama setelahnya salah satu preman mencoba memasak beberapa bungkus mie instan, namun ia meninggal panci listrik begitu saja dan buru-buru menuju toilet.

Melihat kuah panas dari mie yang mulai mendidih, aku seperti terpikirkan sesuatu sebelum kabur.
Aku berjalan perlahan mendekati sepanci penuh mie instan yang terlihat tidak sehat.

Mengeluarkan bungkusan kecil dari saku celanaku.
Aku membuka bungkusan di tanganku, beberapa pil berwarna putih yang biasa kuminum saat sembelit.

Satu.. dua.. lebih dari 8 pil.
Aku memutuskan memasukkan semua pil itu ke dalam kuah mie yang mendidih.
Mengaduknya dan segera meninggalkan ruangan.

Aku bersembunyi di sebelah toilet umum yang berada tepat di samping ruangan mereka.
Tak lama setelahnya, kelompok preman yang semula pergi sekarang telah kembali membawa beberapa bungkus makanan.

Jantungku berdegup kencang, aku berharap rencana yang kupikirkan secara spontan ini akan berhasil. Aku tahu aku tak akan bisa bertahan jika sendirian.

To be continue..

My Battleground Tahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon