Part 23 : SERTIFIKAT

182 36 57
                                    

WARNING! : Dimohon untuk tidak melakukan copy atau plagiat untuk menjaga karya asli milik penulis.



Dua orang masing-masing memegang kanan dan kiri tanganku, sedangkan pria tirus dengan bekas luka di wajahnya ini berada tepat di hadapanku. Aku sekuat tenaga mengatupkan rahangku agar dia tak bisa memasukkan obat itu, namun cengkeramannya melebihi perkiraanku sehingga aku tak bisa melawan lagi.
Pada titik ini, yang ada di pikiranku hanyalah semoga saja Taki bisa membawa VIP itu naik ke lantai dua dan Juno bisa kembali dengan selamat. Sungguh, aku tidak berharap lebih.

Aku menatap Juno dari ujung mataku, ia sudah tersungkur ke lantai dengan beberapa bagian tubuhnya terluka, termasuk kepala dan tangan.
Ia masih terus berusaha bicara walaupun suaranya tak lagi jelas terdengar, ia masih mencoba mengangkat tangannya walaupun sudah gemetar.
Air mata mengalir dari ujung mataku, aku tak bisa membayangkan bagaimana nasibku selanjutnya.

Pria asing di hadapanku itu berhasil memasukkan setengah dari bubuk yang ada di tangannya. Sekali lagi aku memberontak dan menumpahkan sisanya.

"Apa yang kau lakukan? Itu sangat berharga, lho!" bentaknya kemudian memukulku hingga terjatuh.

Aku terbatuk-batuk, berusaha tidak menelan bubuk aneh itu lebih banyak lagi.
Aku menyeret tubuhku yang sudah lemas mendekati Juno yang mulai kehilangan kesadarannya.

"Tolong... Bertahan sedikit lagi.." gumamku.

Aku merasa kepalaku berputar dengan hebat, rasa melayang dan pandangan yang tidak menentu, aku yakin ini reaksi obat itu.
Aku berusaha bangun tapi gagal, aku menepuk-nepuk wajahku dengan keras, menjambak rambut dan berteriak berharap aku tetap waras.
Samar-samar aku mendengar mereka semua tertawa, beberapa di antaranya menendang-nendang kakiku.
Aku tidak bisa lagi menahan rasa aneh ini, kesadaranku mulai bercampur dengan halusinasi.

Dari sisa-sisa pandanganku, aku melihat orang-orang yang tadinya mengelilingiku terjatuh ke lantai, beberapa berlari maju dan terjatuh lagi. Walaupun aku tidak dapat melihat jelas, aku sangat tahu bahwa ada yang datang dan berkelahi dengan mereka.

Beberapa saat kemudian seseorang menggoncang tubuhnya dengan keras, berusaha menyadarkanku.
Aku sekuat tenaga memperjelas pandanganku, aku melihat siluet seseorang berwarna putih, makin jelas dan makin jelas.
Saat itulah aku melihatnya, pria jangkung dengan rambut putih dan mata ambernya, Reygis Arsen.

"Syukurlah..." ucapku sesaat sebelum akhirnya terjatuh ke belakang.

Dari sisa-sisa kesadaranku, aku merasa tubuhku melayang. Reygis mengangkatku dengan satu tangan dan tangan lainnya memegang senjatanya yang berbentuk tongkat itu, sedikit tergoncang seakan sedang berlari namun tetap stabil.

Aku berusaha berbicara walaupun hanya terdengar seperti bergumam, "Juno, dia juga-"

"Bagaimana caranya aku membopong dua orang? Tanganku cuma dua," tukas Reygis.

"Dia juga butuh bantuan," gumamku lagi.

"Dan aku harus tinggalkan kau di sana? Jumlahnya terlalu banyak, aku tidak bisa membawa dua orang sambil menghadapi mereka," tukasnya lagi.

Kali ini aku berharap kesadaranku hilang saja, tapi sialnya justru aku tetap terjaga dengan kesadaran bercampur halusinasi ini.
Aku hanya bisa merasakan Reygis terus berlari dan kemudian menaiki tangga. Ia berlari cukup lama sampai akhir berhenti dan mengetuk pintu.

My Battleground Where stories live. Discover now