0.9

3.4K 233 14
                                    

H a p p y  R e a d i n g

"Papa bau asem."

Celetukan Yasha yang tiba-tiba mampu membuat Agus seketika tertawa. Menaruh sendoknya kembali ke piring, Agus dengan gemas merangkul Yasha sehigga kini wajah Yasha tepat di ketiaknya.

"Baum hm?" tanya Agus sambil mengeratkan rangkulannya.

Membawa Yasha pada pelukannya, dan membuat Yasha semakin mencium aroma tak sedap itu.

Yasha yang sudah tidak tahan pun memukul-mukul tangan Agus pelan. Wajahnya sudah memerah entah karena tidak tahan dengan baunya atau karena kesulitan bernafas.

"Papa lepas! Bau! Papa belum mandi!" kesal Yasha yang tetap dihiraukan oleh Agus.

"Idih, emang adek udah mandi?" tanya Agus.

"Udahlah! Yasha kan bukan Papa yang jorok!" Agus memutar bola matanya malas. Mengendurkan pelukannya dari sang anak dan membawa kepala Yasha agar menyender dibahunya.

"Iya deh, Papa kan bau belum mandi. Tapi nanti aja mandinya, makan bolu dulu." Agus mengambil sendok yang tadi ia taruh dan kembali menyuapkan bolu lada Yasha.

Yasha tidak menolak, ia menyenderkan kepalanya di bahu Agus dan menerima suapan dari Agus dengan santai.

Melupakan bahwa ada tiga orang lainnya yang kini mencoba menyibukkan diri mereka masing-masing. Juga melupakan apa yang tadi dikatakan oleh ketiga saudara beda satu ayah tentang sang Papa.

"Adek besok pertama kali masuk sekolah kan?" tanya Agus yang langsung dijawab anggukan oleh Yasha karena sang empu yang masih sibuk mengunyah.

"Besok Papa antar ya?" lagi, Yasha hanya mengangguk menjawab pertanyaan sang Papa.

"Besok, Panda sama Papa, mau?" tanya Agus yang kini beralih pada putri bungsunya dan juga Lastri.

Panda mengangguk dengan semangat dengan tersenyum bahagia.

"Kenapa gak semua aja pergi bareng, Mas?" tanya Lastri yang baru datang entah dari mana.

Mereka kompak menoleh ke arah Lastri, sementara sang empu kini duduk di samping Manda setelah mengusap rambut ketiga anaknya.

"Boleh, jadi kita besok berangkat bareng, oke!" ketiga orang lainnya mengangguk secara bersamaan.

Agus menoleh ke arah Yasha karena tidak merasakan pergerakan dari bahunya. Ternyata, Yasha hanya diam dan menatap sayu ke arah piring yang hanya terisi remahan bolu sisa dari potongan bolu yang tadi ia makan.

"Yaudah, Ayah mau ke atas dulu. Mau mandi, Yasha juga kayaknya udah ngantuk." Agus bangkit dan menggendong Yasha ala koala. Lagi, Yasha hanya diam tanpa mengeluarkan sepatu katapun.

Karena bukan apa, ia hanya canggung jika berada di keluarga barunya itu. Apalagi ini adalah hari pertama ia tinggal bareng mereka dan ini adalah pertama kalinya ia hidup jauh dari sang Mama.

Untung saja, kedua orang tua Agus telah pulang ke rumah mereka sendiri hingga membuat Yasha tidak perlu canggung untuk keluar kamar.

Sementara itu, Agus berjalan dengan santai, menaiki tangga satu persatu dengan Yasha yang masih menyenderkan kepalanya di bahu Agus.

Meninggalkan keempat orang yang kini tersenyum miris melihat hal itu.

"Kapan Panda bisa kayak gitu sama, Ayah?" tanya Panda tiba-tiba.

Memecahkan keheningan yang terjadi pada mereka berempat. Pertanyaan yang membuat hati seorang Ibu hanya bisa tersenyum miris.

"Nanti juga Panda bisa kayak gitu sama, Ayah. Percaya sama, Bunda. Nanti Bunda bilang ya, sama, Ayah." Lastri tersenyum manis pada putri bungsunya itu.

Berharap agar Panda tidak terlalu sedih karena perlakuan Agus.

Sementara Nanda, ia menatap benci ke arah tangga dimana tadi sang Ayah dan adik tirinya itu menghilang dari pandangannya.

Mengepalkan tangan dengan kuat, Nanda langsung bangkit dan berjalan menuju kamarnya yang juga berada di lantai dua.

"Nan-" ucapan Lastri seketika terhenti saat Manda nenggelengkan kepalanya tanda jangan mencegah Nanda.

Lastri menoleh nafas kasar, ia tersenyum pada putri sulungnya itu.

"Ajak adek ke kamar, ya? Biar Bunda bujuk Nanda," ucap Lastri dengan lembut.

Manda mengangguk, lalu membawa Panda yang kini hanya diam menunduk di tempatnya.

"Ayo ke kamar dulu."

Lastri menoleh nafas pelan saat melihat kedua putrinya yang sudah pergi menuju kamar masing-masing. Membersihkan piring-piring bekas makan bolu tadi untuk di taruh di wastafel.

Setelah menaruh piring kotor itu, Lastri dengan cepat berjalan menuju lantai dua dimana kamar sang anak berada.

***

Nanda berjalan dengan emosi menuju kamarnya, tangannya masih terkepal siap untuk meninju apa saja. Jujur, ia sangat sakit hati saat mendengar pertanyaan yang terdengar menyakitkan dari anak bungsunya itu.

"Dasar perebut! Anak pelakor! bangsat! Babi!" umpat Nanda dengan terus berjalan.

Saat ia melewati sebuah kamar yang berada di samping kamarnya. Tanpa sengaja ia menoleh ke dalam, karena memang pintu kamar itu tidak tertutup.

Lagi, apa yang ia lihat saat ini kembali menyakiti hatinya lagi.

Melihat bagaimana sang Ayah yang selama ino avuh tak acuh pada mereka bertiga kini sedang tertawa bahagia dengan anak hasil selingkuhannya.

Ia berdiri dengan diam di depan pintu kamar, menyaksikan tontonan di depannya walau ia tau itu hanya akan semakin menyakitkan hatinya.

Ia terlalu fokus melihat bagaimana bahagianya sang Ayah dengan anak pelakor itu hingga tidak menyadari bahwa Lastri sudah berdiri tepat di belakang dirinya.

Pulk...

Nanda menoleh dengan rasa terkejut saat seseorang menepuk punggungnya. Untung saja ia tidak mempunyai penyakit jantung, jika punya berabe ceritanya.

"Ngapain?" tanya Lastri.

Nanda menggeleng, lalu memilih untuk memasuki kamarnya. Lastri yang melihat itu tentu saja bingung.

Dengan rasa penasaran yang tinggi, Lastri menoleh ke arah apa yang dilihat oleh Nanda tadi.

"Ku kira cuma aku yang kamu benci, Mas." Lastri bergumam saat melihat apa yang terjadi di depannya.

Pantas saja sang anak memilih untuk tetap diam. Pasti ia sangat sakit hati.

-t b c-.

Je gaje 😃

Yasha And His New StoryWhere stories live. Discover now