Part 57

1.6K 136 2
                                    

Sudah beberapa hari ini Aini terus berada di rumah sakit, dia bahkan izin sekolah untuk menjaga mamanya, Remo juga ke sana sesekali untuk melihat keadaan Livy tetapi dia sama sekali tidak bicara kepada Aini, dia seolah menganggap anak itu tidak ada. Kean dan Kris kadang menemani Aini tetapi mereka akan pulang jika Kris akan berkerja dan Kean akan ke sekolah. Kalau tentang Leon dia juga beberapa kali kesana untuk menemui Aini, meski rasanya tidak rela membiarkan anaknya disana tapi Leon tidak boleh egois, Galen sudah cerita semuanya kepadanya, hubungan mereka kembali membaik sejak Aini kembali dan dari cerita Galen Leon menjadi tau bahwa keinginan anaknya itu hanyalah hidup tenang seperti dulu jadilah dia juga akan berusaha menerima semuanya sekarang.

Saat ini hari sudah siang, di dalam ruangan Livy hanya ada Aini yang sedang membersihkan tubuh mamanya dengan kain yang ia basahi dengan air hangat. Aini membersihkan tubuh mamanya dengan telaten hingga selesai, setelah selesai ia memandangi wajah mamanya itu kemudian mengusap wajahnya lembut.

"Mama harus cepet bangun, aku selalu disini nungguin mama" ucap Aini lirih kemudian keluar dari ruangan itu.

"Aini"

"Bunda?"

Aini menghampiri Siren yang ternyata sedang menunggunya di luar ruangan Livy, Siren tersenyum melihat Aini berjalan ke arahnya.

"Ayo makan siang sama bunda, kamu belum makan siang kan?"

Aini mengangguk mendengar pertanyaan Siren.

"Ayo bunda aku juga udah laper"

Siren tersenyum kemudian merangkul bahu Aini sayang dan berjalan bersama anak itu menuju ruangannya. Sesampainya di ruangan Siren Aini malah menatap bundanya itu bingung.

"Loh bunda, kok kita kesini? Bukannya kalau mau makan itu di kantin ya?"

"Kita makan disini aja, bunda bawa bekal tadi sekalian buat kamu juga" ucap Siren dan Aini hanya beroh ria saja.

"Bunda mau makan berdua sama anak bunda, kalau di kantin kan rame jadi bunda buat bekal deh"

"Yaudah ayo makan bunda aku udah lapar banget ini" ucap Aini sambil meringis memegangi perutnya.

Siren terkekeh gemas kemudian mengacak rambut Aini pelan.

"Ayo duduk disana, bunda siapin dulu makanannya"

Aini mengangguk kemudian mendudukkan dirinya di sofa yang ada di sana sementara Siren ia mengambil bekal yang ia bawa kemudian menatanya di meja.

"Wahh kayaknya semuanya makanan ini kesukaan aku ya?" Ucap Aini semangat melihat beberapa makanan di depannya itu.

"Jelas dong, ini kan bunda buat memang khusus buat kamu"

"Makasih bunda"

"Iya, dimakan sayang"

Siren memberikan sepiring nasi yang sudah ia isi dengan beberapa lauk kepada Aini yang kemudian diterima oleh gadis itu. Setelah Aini mengambil piringnya Siren berganti mengambil makanan miliknya juga, baru saja mereka makan beberapa suap seseorang di depan pintu ruangan Siren terdengar mengetuk pintu.

"Masuk" ucap Siren menginstrupsi orang di balik pintu itu.

"Bunda-"

"Wahh lagi makan gak ngajak-ajak nih" ucap Aga yang ternyata orang yang mengetuk pintu ruangan Siren tadi.

"Ayo sini gabung Ga" ucap Siren kemudian mengambil satu piring untuk Aga, ia sengaja membawa piring lebih memang untuk Aga jika dokter muda itu juga ingin ikut makan.

"Ini pasti Aini niat mau makan semuanya kan, makanya aku gak diajak" ucap Aga berniat menjahili Aini, sementara Aini ia hanya fokus memakan makanannya tanpa menghiraukan ucapan Aga sedikitpun.

"Jangan ganggu adik kamu Ga, dia lagi makan"

"Hehehe maaf bunda"

Mereka bertiga berakhir makan bersama dengan Aga yang sesekali menjahili Aini yang berakhir membuat gadis itu kesal kepadanya.

•••

Aini terkejut saat dia masuk ke dalam ruangan mamanya disana ia melihat kakeknya sedang menangis sambil memegangi tangan mamanya. Kakeknya sepertinya sedang berbicara dengan mamanya yang masih tidak sadarkan diri itu, saking sibuknya dia berbicara dia sampai tidak menyadari bahwa seseorang telah memasuki ruangan itu. Baru saja Aini hendak menghampiri kakeknya tetapi Remo langsung menyadari keberadaannya dan menoleh kepadanya. Pria yang sudah berumur itu langsung menghapus air matanya kasar saat melihat keberadaan Aini disana.

Remo berjalan keluar dan melewati Aini begitu saja tanpa menegur gadis itu sama sekali, Aini yang melihat itu langsung mengejar kakeknya, dia tidak mau kakeknya terus marah kepadanya seperti ini.

"Kakek tunggu!" Ucap Aini saat Remo sudah berjalan pergi.

Remo berhenti tetapi ia tidak menoleh, saat ini ia membelakangi Aini.

"Aku mau minta maaf Kek, aku tau mama kayak gini gara-gara aku" ucap Aini sambil menatap punggung kakeknya sendu.

"Kakek akan bawa mama kamu kembali ke Belanda, dia akan mendapatkan perawatan disana" ucap Remo masih membelakangi Aini, nada bicaranya sudah tidak seperti saat ia marah waktu itu tetapi Aini merasa kakeknya masih sangat dingin kepadanya.

Aini terdiam sekarang, apakah ini berarti dia harus kembali meninggalkan papanya dan orang-orang tersayangnya?

"Terserah kamu mau ikut atau tidak" ucap Remo kemudian hendak pergi tetapi langkahnya terhenti ketika mendengar suara Aini.

"Aku ikut"

"Aku bakal ikut mama ke Belanda, aku bakal nemenin dia sampai dia sembuh, bener kata kakek aku anak gak tau terimakasih. Sama seperti aku yang anak satu-satunya bagi mama, mama juga anak satu-satunya bagi kakek, mama sayang banget sama aku sampai dia rela lakuin apapun buat aku bisa tinggal sama dia dan waktu Kakek marah sama aku hari itu aku ngerti kalau Kakek marah sama aku karena aku udah buat anak kesayangan kakek sakit. Aku belum ngelakuin apapun buat mama jadi aku bakal ikut dia dan nemenin dia"

"Tapi kek, kakek ataupun mama gak akan bisa larangan aku lagi buat ketemu papa, sama seperti mama yang sayang sama aku, kakek yang sayang sama mama, papa juga sayang sama aku sebesar rasa sayang kalian. Mungkin aku masih terlalu kecil untuk bilang ini ke kakek tapi rasa sayang itu kadang buat seseorang  menjadi buta dan berakhir ngelakuin apapun buat orang yang mereka sayangi"

"Aku juga sayang sama kakek dan selamanya akan seperti itu, maaf karena aku gak bisa jadi cucu yang baik buat Kakek" ucap Aini sambil tersenyum kecil kemudian kembali memasuki ruangan mamanya.

Setelah kepergian Aini tanpa sepengetahuan gadis itu Remo menangis mendengar semua ucapannya. Dia juga merasa bersalah karena sudah menampar cucunya hari itu, Remo membenarkan semua yang diucapkan Aini, semua yang diucapkan anak itu benar. Dia hanyalah seorang ayah yang takut kehilangan anak satu-satunya, karena ketakutannya itu dia menyakiti cucunya yang sebenarnya tidak tau apa-apa.

Cucu kecilnya benar-benar sudah tumbuh menjadi gadis dewasa sekarang, anak itu bahkan mampu berpikir apa yang tidak dipikirkannya sama sekali. Mungkin semua rasa sakit yang dilalui anak itu selama ini membuatnya menjadi mempunyai pemikiran yang dewasa, Remo tersenyum kecil memikirkan itu, seseorang yang tumbuh dengan penderitaan bisa mempunyai pikiran yang dewasa sedangkan dirinya yang selama ini memberikan penderitaan itu hanya seperti orang bodoh sekarang.

"Kau sepertinya mewarisi sifat dari pria itu Aini" ucap Remo setelah itu benar-benar pergi dari sana untuk menyiapkan keberangkatan Livy ke Belanda.

TBC.

Agraini || After Daimmer Opowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz