Crush; 27

119 24 5
                                    

Adena memaki dalam hati, karena ia ditinggal berdua dengan Daffa.

Lagi-lagi ia terjebak dalam perangkap yang sama. Dan bodohnya, ia selalu termakan jebakan yang dibuat oleh teman-temannya.

Ia tadi datang bersama Azzura, tapi Irga lebih dulu menaiki motor Azzura dan mengatakan mereka akan melanjutkan jalan-jalan mereka. Sebelumnya, Irga nebeng di motor Sean.

Sedangkan Sean sudah membawa kabur Sera lebih dulu tanpa pamit.

Hana juga pamit, katanya ada panggilan dari Ibunya, memintanya untuk langsung pulang tanpa mampir, membuat Adena yang awalnya ingin nebeng, tidak jadi.

Theo juga pergi tanpa pamit. Bahkan ia membawa motornya dengan kecepatan di atas rata-rata, ia seperti dikejar sesuatu, kata Sean sih, sebelumnya Theo mendapat kabar kalau hamster peliharaannya mati.

Yasmine dan Jelita, katanya mereka akan double date dengan kekasih mereka yang sekarang berteman akrab.

Bukannya Yasmine sudah putus? Katanya, baru saja Kak Mika mengabari, ingin bertemu, memberi penjelasan dan ajakan balikan, dan Yasmine menyetujuinya.

Pembohong! Pembual! Penipu!

Adena tahu, itu semua hanya rencana jahat mereka. Adena yang sedari awal nebeng, tidak bisa apa-apa, tidak bisa pergi duluan.

"Jadi, lo mau bareng gue atau minta jemputan?" tanya Daffa.

Ah, iya! Adena punya supir yang ditugaskan oleh orang tuanya untuk menjemputnya kapan saja dan di mana saja.

Adena membuka totebagnya. Kosong. Hanya ada dompet, yang juga kosong. Bahkan tadi, makanannya dibayar oleh Irga.

Sial!

Adena tersenyum masam, menatap Daffa yang sedari tadi tak mengalihkan pandangannya dari gadis itu.

Adena tidak menyadari, kegiatan mencak-mencaknya sedari tadi, dilihat Daffa.

"Gak ngerepotin?" cicit Adena pelan.

Duh, kira-kira Daffa bakal berpikiran apa, ya? Bagaimana jika lelaki itu berpikiran buruk? Bagaimana jika lelaki itu berpikir kalau ia mencoba menggodanya, dengan alasan ditinggal teman-teman dan ketinggalan ponsel?

Shit! Hancur sudah citranya.

"Ayo. Gak papa," sahut Daffa.

Adena menggosok lehernya yang tiba-tiba merinding.

"Bentar."

Adena tidak jadi naik, karena ucapan Daffa, bahkan lelaki itu kembali turun dari motornya.

Duh, apalagi, nih?

"Lo, gak bawa jaket atau apa gitu?" tanya Daffa.

Adena mengernyit. Cuaca sedang terik, bukan mendung apalagi hujan deras. "Buat?"

Daffa tampak menghela napas, membuat Adena kikuk.

"Berarti pas berangkat tadi, lo cuma gitu di atas motor?" tanya Daffa lagi, Adena mengangguk patah-patah.

'Gitu', gimana maksudnya? Adena tidak paham.

Suasananya, tiba-tiba seram, cuy! Jujur, Adena agak takut sekarang. Ini Daffa tidak lagi kerasukan, kan?

Tidak lucu, kalau Adena pulang diantar setan. Raganya sih, emang punya Daffa, tapi jiwanya lagi dikuasai setan.

Daffa melepaskan jaketnya, memperlihatkan kaos hitam polosnya, membuat Adena menahan napas.

Adena rasanya ingin menegur Daffa untuk jangan sering-sering memakai kaos hitam. Bahaya untuk jantung kaum mudi-mudi kurang belaian, apalagi dirinya.

"Nih, pake," ucap Daffa.

Adena mengambilnya, tapi bingung, untuk apa memakai jaket?

"Nutupin baju sama celana lo yang kurang bahan!" ucapnya lalu kembali menaiki motor.

"O-oh." Adena menggaruk tengkuknya grogi. Ia mengikat jaket Daffa dipinggangnya, lalu duduk di jok belakang, seraya membenarkan posisi jaket milik Daffa, agar mentutup pahanya dengan baik.

"Kalo mau make baju gitu, paling enggak bawa jaket, buat jaga-jaga," ucap Daffa.

Adena tersenyum kikuk. "Thanks, sarannya."

"Tapi, ada baiknya jangan make baju terlalu kebuka gitu lagi. Apalagi lo pake buat keluar, naik motor lagi."

Adena menahan napas, duh ditegur doi, nusuknya bukan main, cuy.

"Thanks juga, nasihatnya."

"Kalo gue bilang itu perintah, lo turutin?"

"Hah?"

***

Adena turun dari motor Daffa, mengembalikan jaket milik lelaki itu juga. Ia terus-menerus memaki dalam hati, karena setelah kepergian mereka setelah ucapan Daffa, hanya Adena yang merasa canggung, sedangkan Daffa nampak cuek-cuek saja, seperti tidak terjadi apapun, sebelumnya.

"Makasih, tumpangannya. Sorry, ngerepotin."

"Sans. Lagian, searah."

"ASTAGA ADENA! HABIS NGEJABLAY DI MANA, KAMU?"

Adena menutup matanya, sedikit melirik Daffa yang tersenyum geli.

Duh, Mama. Malu-maluin aja!

"Eh, ada Daffa ternyata? Habis jalan-jalan, kalian?"

Adena menggigit pipi dalamnya, pertanyaan Ibunya seperti...

Ah! Ia sampai tidak bisa menjelaskannya.

"Iya, Tante. Sama temen-temen juga, terus sekalian nganterin Adena, karena searah," jelas Daffa.

"Oh, begitu ...."

Adena membutuhkan sesuatu untuk menutupi wajahnya sekarang.

"Kalo gitu, saya permisi Tante."

"Oh, iya. Silakan."

"Gue duluan, Na," pamit Daffa.

Adena mencoba tersenyum, "Hati-hati, Daf. Sekali lagi, makasih."

Setelah kepergian Daffa, Adena menghentak-hentakan kakinya kesal, menghampiri Ibunya.

"Mama, ah. Cukup temen-temen aja yang sering permaluin aku depan Daffa. Mama, gak usah ikut-ikutan!"

"Permaluin apanya? Lebay, deh. Buruan masuk, udah mau senja. Kamu juga ditelepon, kenapa gak diangkat? Padahal nyambung!"

"HP aku kayanya ketinggalan di kamar Zura."

"Ada-ada aja, makanya jangan Daffa terus yang kamu pikirin, untung di rumah temen. Kalo di tempat lain, terus hilang gimana? Kamu pikir harga HP cuma ceban?"

"Ma!"

"Apa?"

"Mama ngeselin! Aku mau sama Papa, aja."

"Dih? Silakan, sana-sana! Dasar anak Papa!"

"PAPAAAAA! DUIT JAJAN ADENA HABIS!"

"JANGAN TERIAK, ADENA!"

"MAMA JUGA TERIAK!"

"Anak, Ibu, sama aja. Ini di rumah bukan di hutan!"

"Ih, Papa. Justru, kalo di hutan harus diem. Kalo teriak di hutan bahaya, tau. Mengundang hewan buas atau makhluk tak kasat mata buat dateng!"

"Lah? Iya, juga?"

"Anaknya, Papanya, sama aja!"











tbc...

Crush✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang